Semua berlangsung begitu cepat, dokter dan perawat serta Vanessa hilir mudik di ruangan itu untuk memeriksa keadaannya. Serena merasa sudah baikan, hanya sedikit mual dan demamnya sudah turun, tapi entah kenapa Vanessa bersikeras agar dia tetap di rawat inap di rumah sakit ini. Sebenarnya dia sakit apa? Serena mulai bertanya-tanya.
Rafi sudah berpamitan tadi, diantar oleh dokter Vanessa, mengatakan akan mempersiapkan kepergian mereka ke Jerman, kemungkinan dua minggu lagi. Dan saat Serena sendirian, pikirannya melayang. Dimana Damian? Apakah dia di rawat di rumah sakit ini? Bagaimana kondisinya? Kenapa Damian tidak menemuinya? Pemikiran-pemikiran itu membuatnya terlelap lagi.
Ketika bangun hari sudah sore, suasana kamar tampak remang-remang karena lagi-lagi hujan turun di luar membuat langit kelihatan gelap, Serena menatap hujan di jendela dan mendesah.
"Sudah enakan?" suara itu terdengar lembut dan tiba-tiba sehingga Serena terlonjak kaget, dia menoleh dan mendapati Damian duduk di ranjang, di sampingnya. Lelaki itu begitu diam, Serena mengernyit, pantas dia tidak menyadari kehadirannya.
"Maaf aku mengagetkanmu," Damian tersenyum samar, lalu menyentuh dahi Serena, "sudah tidak panas lagi. Syukurlah. Kau masih memuntahkan makananmu?"
Serena menggelengkan kepalanya, masih belum mampu berkata-kata.
"Aku... Aku sudah bisa menelan sup panas dari rumah sakit tadi."
Damian mengangguk dan tersenyum.
"Aku sudah berbicara dengan Rafi, Serena," Damian segera berseru ketika melihat Serena akan menyela kata-katanya, "apapun yang akan kau katakan, aku tidak akan pernah melepaskanmu. Aku sudah mendapat kesempatan ini jadi tidak akan kusia-siakan, kau tidak akan dan tidak boleh menolakku atau melepaskan diri dariku." suara Damian tegas dan penuh ancaman, matanya menyala-nyala.
Dalam hati Serena merasa geli, ini Damiannya yang biasa. Tidak berubah meski mencintainya, tetap saja arogan dan terbiasa mengungkapkan keinginannya dengan mengancam. Tapi bagaimanapun juga ini Damian yang sama yang dicintainya.
"Ya Damian." jawabnya dalam senyum.
Jawaban sederhana itu membuat Damian yang begitu tegang karena antisipasi penolakan yang mungkin dilakukan Serena, terpana.
"Apa?" Damian bertanya seperti orang bodoh.
Serena tersenyum lembut, otomatis tangannya bergerak menyentuh dahi Damian yang berkerut bingung, mengelusnya lembut, menghilangkan kerut yang ada di sana.
"Ya Damian, aku tidak akan melepaskan diri darimu."
Damian seolah kesulitan mencerna jawaban sederhana Serena, tetapi ketika dia bisa memahaminya, seketika itu juga Damian merengkuh Serena, memeluknya erat-erat.
"Demi Tuhan... Aku sepertinya masih butuh berkali-kali diyakinkan olehmu," bisiknya serak di rambut Serena, "Kau selalu membuatku bertanya-tanya, dengan mata lebarmu yang selalu tersenyum, dengan kelembutanmu, kau selalu membuatku bertanya-tanya apakah kau mencintaiku."
Serena membalas pelukan Damian dengan lembut.
"Aku mencintaimu."
"Katakan lagi," Damian mengerang, memejamkan matanya, mengetatkan pelukannya, "aku butuh diyakinkan."
"Aku mencintaimu." ulang Serena patuh.
Damian melepaskan pelukannya lalu mengusap rambut Serena lembut, kemudian meraih tangannya, mengernyit ketika melihat Serena masih memakai cincin dari Rafi, bersebelahan dengan cincin darinya.
Dengan lembut disentuhnya tangan Serena, disentuhnya cincin Rafi disana.
"Boleh aku melepaskannya?"
Damian tetap akan melepaskannya meskipun Serena menggeleng, Serena tahu itu. Tapi Serena menghargai Damian yang menyempatkan diri bertanya kepadanya.
Dengan lembut ia mengangguk.
Hati-hati Damian melepaskan cincin pertunangan Serena dengan Rafi, lalu meletakkannya di meja. Setelah itu dikecupnya jemari Serena yang memakai cincin pemberiannya.
"Aku ingin kau menikah denganku, segera."
Sekali lagi Serena tersenyum, lamaran khas ala Damian. Bukannya bertanya 'maukah kau menikah denganku?' lelaki ini malah menyatakan keinginannya dengan arogansi yang tak terbantahkan. Tiba-tiba Serena mengerutkan keningnya mencerna kalimat Damian.
"Kenapa harus segera?"
an entah kenapa pertanyaannya itu membuat pipi Damian memerah. Serena jadi bertanya-tanya apa yang salah dengan pertanyaannya.
"Kau... Eh, mungkin kau tidak menyadari perubahan tubuhmu...." Damian
tampak kesulitan menyusun kata-kata. Tapi pada akhirnya dia
melemparkan kebenaran itu, "Kau... Sedang mengandung anakku"
Kata-kata itu membuat Serena ternganga, itu adalah kebenaran yang sama sekali tidak disangka-sangkanya. Damian sangat hati-hati kalau bercinta dengannya. Bahkan dalam kondisi berhasratpun dia selalu ingat untuk memakai pelindung, jadi Serena tak mungkin hamil. Karena itulah meskipun tubuh Serena menunjukkan gejala seperti perempuan hamil, tidak datang bulan, mual, kram di perut dan sebagainya, tidak pernah sedikitpun terlintas di benaknya kalau dia sedang mengandung.
Kemudian kesadaran itu melintas di benaknya, Serena tidak mungkin mengandung, kecuali kalau Damian menginginkannya, Serena tidak mungkin mengandung, kecuali kalau Damian sengaja....
"Kau selalu menggunakan pelindung," gumam Serena menatap Damian dengan waspada, "Malam itu kau tidak memakainya."
Pipi Damian agak memerah tapi dia menatap mata Serena tanpa penyesalan.
"Aku memang sengaja, semua yang terjadi malam itu memang sudah kurencanakan," dengan angkuh Damian mengangkat dagunya, "aku ingin kau memilihku."
Pipi Serena memucat sedikit marah.
"Kau berencana menjebakku dengan kehamilan?"
Damian menggenggam tangan Serena erat-erat memejamkan matanya penuh kepedihan.
"Aku memang brengsek dan licik, tapi itu semua kulakukan karena aku hampir gila putus asa ingin memilikimu, aku mencintaimu dan menderita karenanya, aku bersedia minta maaf kalau kau menginginkannya, tapi aku tidak pernah menyesal sudah membuatmu hamil..."
Kata-kata itu, yang diungkapkan dengan sepenuh hari, melelehkan kemarahan Serena, dengan lembut diraihnya kepala Damian dan dipeluknya. Lama mereka berpelukan dalam diam.
"Karena itu kau mencium perutku." gumam Serena, teringat keanehan perilaku Damian saat itu.
"Ya," Damian tersenyum bangga, "saat itu aku yakin dia sedang terbentuk, aku memerintahkannya supaya tumbuh sehat agar aku bisa memiliki ibunya," Damian mengangkat bahu, "aku konyol sekali ya."
Serena tertawa mendengarnya, sisi santai Damian yang jarang diperlihatkannya ini juga sudah membuatnya jatuh cinta. Ya, dia benar-benar mencintai lelaki ini, dengan segala arogansinya, dengan segala kekeras kepalaannya, sekaligus dengan segala kasih sayangnya yang Serena tahu, melimpah untuknya.
Dengan lembut Serena mengelus perutnya, menyadari bahwa buah cinta mereka sedang bertumbuh di perutnya, semakin lama semakin kuat, hingga akhirnya nanti akan terlahir ke dunia.
Mata Damian mengikuti gerakan Serena. Lalu tangannya mengikuti Serena, mengusap perutnya lembut.
"Dia kuat dan baik-baik saja di sana." gumam Damian setengah berbisik.
"Ya." Serena berbisik juga.
"Mungkin nanti dia akan mulai menendang-nendang." dahi Damian berkerut, mengingat isi buku-buku referensi kehamilan yang mulai dibacanya.
Serena, mengangguk, tersenyum simpul.
"Pasti, seperti pemain sepakbola."
"Aku lebih suka dia seperti CEO handal." dahi Damian tetap berkerut.
Serena terkekeh.
"Ya, seperti CEO handal," suara Serena berubah seperti bisikan, "Seperti ayahnya."
Mereka bertatapan, mata Serena berkaca-kaca, mata Damian berkilauan penuh perasaan. Diantara tatapan mereka terjalin setiap impian orang tua tentang anaknya di masa depan.
Lalu Damian mengecup dahi Serena.
"Terimakasih sudah hadir di hidupku," bisiknya serak penuh perasaan, "Terimakasih sudah mengajari aku mencintai dengan begitu dalam, terimakasih sudah menyentuh hatiku yang gelap dan jahat sehingga bisa merasakan indahnya mencintai seseorang, dan yang terpenting terimakasih sudah mau mencintaiku." lalu dia meraih dagu Serena dan mengecup bibirnya lembut, kecupan penuh kasih sayang yang dengan segera berubah menjadi panas dan bergairah.
Lama kemudian Damian baru mengangkat kepalanya, meninggalkan bibir Serena yang panas dan basah, matanya berkilat-kilat penuh gairah, tetapi dia menahan diri dan mencoba tersenyum, mengusap rambut Serena dengan lembut.
"Nanti, setelah kau sehat," janjinya penuh arti, membuat pipi Serena memerah, lalu memeluk Serena lagi, "Aku mencintaimu Serena, dan aku berjanji akan membuatmu serta anak-anak kita nanti bahagia, kau boleh pegang janjiku itu."
Serena tersenyum mendengar tekad kuat dalam suara Damian.
"Aku tahu Damian, aku juga mencintaimu."
Mereka tetap berpelukan, dipenuhi perasaan cinta yang hangat. Hanya ada mereka berdua dan kebersamaan mereka, Serena dengan Damiannya yang akhirnya menyerahkan hatinya untuk termiliki satu sama lain. Yang pada akhirnya bisa saling memiliki satu sama lain.
THE END
Jangan lupa like dan komen
Share this novel