Sejak saat itu Damian seolah-olah menghilang dari kehidupan Serena, Serena merenung dalam mobil rumah sakit yang membawa mereka pulang ke apartemen.
Hari ini Rafi sudah boleh pulang dari rumah sakit, bersama Vanessa dan suster Ana mereka pulang ke apartemen. Suster Ana memutuskan untuk tinggal sementara membantu Serena, dan Vanessa sudah berjanji akan berkunjung setiap hari untuk mengecek kondisi rafi dan melakukan terapi rutin.
Kata Dokter Vanessa, Damian memutuskan mengambil tugas perjalanan ke eropa dan mungkin akan kembali dalam waktu yang lama.
Dada Serena terasa nyeri, ketika sekali lagi mengakui kenyataan itu kepada dirinya sendiri, Oh ya, dia merindukan Damian, sangat merindukannya. Ternyata cinta memang bisa tumbuh tanpa direncanakan. Serena mencintai Damian. Dia tidak tahu kapan perasaan ini bertumbuh. Dia hanya tahu dia mencintai Damian, itu saja.
"Aku tidak menyangka bosmu yang kelihatannya sombong itu bisa begitu baik, meminjamkan apartemennya", Rafi memecah keheningan, menatap Serena dengan sedikit menyelidik, dia bertanya-tanya karena akhir-akhir ini Serena begitu murung,
"Aku yang membujuknya", Vanessa yang duduk di kursi depan cepat-cepat menjawab, tahu bahwa Serena pasti kebingungan dengan pertanyaan Rafi itu, "Damian adalah sahabat suamiku, aku bilang merawatmu penting bagiku, karena kamu adalah salah seorang yang selamat dari kecelakaan yang menewaskan suamiku. Jadi Damian mau meminjamkan apartemen itu, toh apartemen itu tidak terpakai."
Diam-diam Serena dan suster Ana menarik napas lega mendengar kelihaian dokter Vanessa menjawab.
Mereka sampai di apartemen, dan Serena mendorong kursi roda Rafi memasuki ruangan itu.
Begitu mereka masuk tanpa sadar Serena mengernyit, semua kenangan itu seolah menghantamnya. Di sini, di apartemen ini dia menghabiskan waktu berdua dengan Damian, makan malam bersama, bercakap-cakap bersama....
"Apartemen yang sangat bagus, kita beruntung Serena, bos mu sangat baik." Rafi mendongakkan kepalanya ke belakang menatap Serena sambil tersenyum,
Mau tak mau Serena memaksakan senyuman di bibirnya. Kuatkah ia berada di sini? Apalagi di kamar itu... Serena melirik kamarnya, tempat Damian juga menghabiskan sebagian besar waktunya di sana. Tidak! dia tidak mau masuk lagi ke kamar itu!
Dengan cepat dan efisien mereka menyiapkan segalanya sehingga Rafi selesai di terapi dan beristirahat di kamarnya. Suster Ana menjaganya sebentar, lalu berpamitan untuk kembali ke rumah sakit, berjanji akan pulang dan menginap di sini nanti malam.
Setelah memastikan Rafi tertidur pulas, Vanessa menyeduh teh dan mengajak Serena duduk di ruang depan.
"Dia sudah kembali dari eropa." Vanessa membuka percakapan, menatap
Serena dari atas cangkir kopi yang diteguknya.
Seketika itu juga hati Serena melonjak, tahu siapa yang di isyaratkan sebagai "dia‟ itu.
"Apakah dia baik-baik saja?" Tanya Serena pelan.
Vanessa tersenyum miring mendengar kelembutan dalam suara Serena,
"Kau itu baik hati ya, sudah menerima arogansinya yang tidak tanggung-tanggung, tetapi masih saja mencemaskannya," dengan pelan Vanessa meletakkan cangkirnya, "Yah, dia baik-baik saja, sedikit kurus, terlalu memaksakan diri dan jadi pemarah seperti beruang terluka, tak ada yang berani menyinggungnya dan mendekatinya dalam radius 100 meter kalau dia sedang mengeluarkan aura pemarahnya, bahkan direktur keuangan memilih berhubungan dengannya via telepon," Vanessa terkekeh. Lalu wajahnya berubah serius melihat kesedihan Serena, "Yah.... dengan melupakan fakta kalau akhirakhir ini dia lebih seperti mayat hidup daripada manusia, sepertinya dia baik-baik saja."
Serena memalingkan wajahnya dengan pedih,
"Dia menderita Serena..." desah Vanessa kemudian, "Aku tidak pernah melihatnya seperti ini sebelumnya."
"Sudah..." Serena tidak tahan lagi mendengarnya, penderitaan Damian serasa mengiris-iris hatinya, "Sudah aku tidak mau mendengar lagi." Vanessa menarik napas, "Tapi tadi dia memintaku menyampaikan pesan kepadamu." Kata-kata Vanessa yang menggantung membuat Serena menoleh, tertarik, "Pesan?"
Vanessa menggangguk, "Ya, sebuah pesan... malam ini jam delapan, ditunggu di restourannya," lalu Vanessa menyebutkan nama sebuah hotel,
Dan Serena mengernyit, hotel tempat pertama kali dia bersama Damian. ***
Serena merasa tidak nyaman, pakaiannya terlalu biasa-biasa saja untuk ukuran
hotel yang mewah ini. Dia berdiri dengan kikuk di lobby, tak tahu harus berbuat
apa. Entah dorongan apa yang membuatnya datang menemui Damian malam ini. Dia tahu dia nekat, seperti memancing iblis untuk membakarnya. Tapi dia tidak bisa menahan diri. Dia ingin bertemu Damian, walaupun mungkin ini untuk terakhir kalinya.
"Bisa dibantu nona?" Lelaki petugas hotel itu datang menghampiri, sepertinya melihat kebingungan Serena,
"Eh saya...saya Serena...saya sudah ditunggu..." "Nona Serena," petugas itu berubah sopan dan membungkukkan tubuh, "silahkan, anda sudah ditunggu, mari saya antar."
Dengan ragu Serena melangkah mengikuti petugas hotel itu, memasuki
restaurant yang tertata dengan mewah dan elegan. Dan disanalah Damian, duduk dengan pakaian resminya, mata Damian sudah melihatnya ketika dia memasuki ruangan. Dan tidak lepas memandanginya dengan tajam setelahnya.
Ketika Serena mendekat, Damian berdiri dengan sopan lalu duduk lagi setelah Serena duduk, Hening sejenak, masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Terimakasih sudah datang." gumam Damian lembut, Serena mengangguk, matanya berkaca-kaca melihat kelembutan tatapan Damian.
"Mungkin ini untuk terakhir kalinya, mungkin setelah ini aku tidak akan datang lagi." gumam Serena pelan. Damian menggangguk,
"Setelah ini aku tidak akan pernah memintamu datang lagi." Hening lagi.
Sampai pelayan membawakan makanan pembuka, mereka makan malam dalam diam.
Sampai kemudian Damian menuangkan anggur ke gelas Serena, Serena mengernyit, "Aku tidak pernah minum alkohol." Damian tersenyum menggoda, senyum pertamanya malam itu, "Tenang saja, aku akan menjagamu. Kemungkinan terburuknya mungkin kau diperkosa saat mabuk." Pipi Serena langsung merona dan Damian terkekeh. Anggur itu mencairkan segalanya, suasana menjadi hangat, dan percakapan mereka mengalir lancar, Damian menceritakan tentang perjalanannya ke Eropa dan Serena mendengarkannya dengan penuh minat. Sampai kemudian, Damian menggenggam tangan Serena lalu mengecupnya,
"Aku ingin memelukmu." Hanya satu kalimat, tapi Serena mengerti. Dia menganggukkan kepalanya. Entah kenapa dia menyetujuinya. Mungkin karena anggur itu sudah mempengaruhi pikiran normalnya. Yang pasti Serena juga ingin merasakan pelukan Damian.
Dengan lembut Damian menghela Serena, melangkah ke lantai atas,
Ketika Damian membuka pintu kamar, Serena menatap Damian bingung, dan Damian tertawa menyadari kebingungan Serena,
"Yah... kamar yang sama... Kuakui... aku memang agak sedikit sentimental," Damian mengangkat bahu, pipinya sedikit merona, "Kupikir...
tempat saat pertama akan cocok untuk menjadi tempat saat terakhir kita."
Serena tersenyum lembut, dan membiarkan Damian membimbingnya memasuki kamar,
Mereka berdiri dengan canggung, sampai Damian mengeluarkan sebuah kotak dari sakunya,
"Aku membawa cincin keluargaku, cincin yang diberikan turun-temurun untuk pengantin perempuan," dengan tenang dia membuka kotak itu dan menunjukkan cincin dengan berlian biru yang mungil dan cantik, "Aku ingin memberikannya kepadamu."
"Tidak!!" Serena langsung berseru keras, menolak, "Jangan Damian, itu...
itu cincin yang sangat penting, itu untuk pengantin wanitamu!"
"Bagiku, kaulah pengantin wanitaku," Damian menarik tangan Serena, memaksa memasangkan cincin itu ketangannya, lalu menggenggamnya erat-erat ketika Serena berusaha melepaskan cincin itu, "Aku ingin kau memilikinya."
"Damian..." Serena merintih penuh penderitaan, penuh air mata, Dan
Damian mengusap air matanya lembut, mengecup air matanya lembut,
"Serena," bisiknya seolah kesakitan, lalu mencium bibirnya dengan lembut
dan penuh perasaan, "Astaga... Serena.... Serena... Betapa aku
merindukanmu..."
Ciumannya semakin dalam, semakin bergairah, semakin penuh kerinduan,
tak tertahankan....
Share this novel