33

Romance Completed 2969

Ruangan itu gelap.

Gelap dan sunyi, hingga bunyi klik ketika Serena menutup pintu terdengar begitu keras.

Dengan gugup Serena menelan ludah.

Kenapa sepi? Kemana Damian?

Apa Damian mungkin pulang ke rumahnya? Apa mungkin dia tidak tahu kalau Serena belum pulang? Syukurlah kalau begitu kejadiannya.

Serena berusaha menenangkan dirinya, tapi tetap saja tidak bisa menyembunyikan rasa gugupnya menghadapi apa yang akan terjadi, seperti hitungan mundur penantian sebuah bom yang akan meledak saja.

Dan bom itu memang meledak.

Dalam hitungan beberapa menit pintu depan terbuka, tidak, bukan terbuka, tapi terdorong dengan kasarnya, lampu-lampu menyala.

Damian tampak begitu menakutkan, matanya menyala-nyala, rambutnya acakacakan, bahkan pakaiannya yang biasanya selalu elegan dan rapi tampak kusut masai. Yang pasti, lelaki itu kelihatan begitu murka mendapati Serena berdiri di ruang tamu apartemen itu, hanya menatapnya.

Dengan gerakan kasar dia meraih pundak Serena dan mengguncangnya begitu keras sampai Serena merasa pusing,

"Kemana saja KAU?????!!!", teriak Damian, lepas kendali.

Serena berusaha menjawab, tetapi kepalanya terasa pusing karena Damian masih mengguncangnya.

"Aku mencarimu ke segala penjuru, kau tahu????!!! ", Damian masih berteriak.

"Semua rumah sakit bersalin di kota ini aku datangi satu persatu, tapi tidak ada kamu!!!! Kemana saja KAU????"

"Damian, kalau kau terus mengguncangnya seperti itu, dia akan muntah sebentar lagi", sebuah suara tenang terdengar di belakang Damian, membuat lelaki itu terpaku, seolah-olah baru menyadari kehadiran sosok di belakangnya.

Freddy berdiri dengan santai sambil menyandarkan tubuhnya di dinding dekat pintu, sepertinya menikmati pemandangan Serena yang didamprat oleh Damian.

Damian menarik napas dalam-dalam beberapa kali, berusaha mengontrol emosinya.

Sialan benar Serena!!! Sialan benar gadis ini!!! Tidak tahukah dia begitu cemas tadi ketika sampai malam Serena tidak juga pulang?? Tak tahukah dia betapa hati Damian dicengkeram ketakutan yang amat sangat ketika mencoba menghubungi Serena dan menemukan bahwa ponselnya mati???

Beribu pikiran buruk tadi berkecamuk di dalam benak Damian, bagaimana kalau Serena kecelakaan? Atau dia menjadi korban kejahatan???!!!! Bagaimana kalau gadis itu terluka parah dan tidak dapat datang kepadanya untuk meminta pertolongan???

Dan sekarang, menemukan gadis itu berdiri di ruang tamu apartemennya, tanpa kekurangan suatu apapun, membuat Damian dibanjiri perasaan lega yang amat sangat, lega sekaligus murka, murka karena gadis itu telah membuatnya kacau balau, murka karena gadis itu telah membuatnya berubah dari Damian yang tenang menjadi Damian yang kacau, murka karena gadis itu telah menumbuhkan sebentuk perasaan yang tidak dia kenal sebelumnya.

"Pro... Proses melahirkan temanku bermasalah.... Dia... Dia eh... Harus....

Dioperasi....", Serena masih berusaha mengumpulkan nafasnya, diguncang dengan begitu kerasnya membuat pandangannya berkunang-kunang.

Tangan Damian yang masih berada di pundaknya mencengkeramnya kuat.

"Kalau begitu, apa susahnya meneleponku??!!! Kenapa kau matikan ponselmu hah??!!",

Serena mengerjapkan matanya gugup. "Baterai ponselku... Habis..."

"Memangnya tidak ada cara lain buat menghubungiku?! Aku hampir gila memikirkan kau ada dimana!! Apa kau pikir aku tidak mencemaskanmu??? Kau tahu aku hampir melaporkan kehilanganmu ke kantor polisi!!! "

"Damian, sudahlah, toh dia sudah pulang dengan selamat", Freddy menyela, berusaha lagi meredakan kemarahan Damian.

Dengan tajam Damian menoleh kepada sahabatnya itu,

"Cukup Freddy, kau boleh pulang, terima kasih sudah menemaniku tadi."

Freddy hanya mengangkat bahu menghadapi pengusiran halus itu, dia menepuknepuk kemejanya yang juga kusut, lalu melangkah keluar pintu.

"Kau harus menenangkan otakmu, kalau kau seperti ini, makin lama aku makin tidak mengenalmu", kata-kata Freddy ditujukan kepada Damian, tapi matanya menatap tajam ke arah Serena, menyalahkan.

"Dan kau, Tuan Putri, lain kali belajarlah sedikit bertanggung jawab!", sambungnya dingin sebelum melangkah keluar dan menutup pintu di belakangnya.

Ruangan itu menjadi begitu hening sepeninggal Freddy. Damian diam. Dan Serena juga diam, menilai emosi Damian, takut salah berbicara atau

bertindak yang mungkin bisa menyulut emosi Damian semakin parah. Setelah mengamati dengan hati-hati, Serena menarik kesimpulan kalau kemarahan Damian sudah mulai mereda, matanya sudah tidak menyala lagi

seperti api biru, dan napasnya sudah teratur, hanya tatapan tajam dan bibirnya yang menipis itu yang menunjukkan masih ada sisa kemarahan di sana. "Maafkan aku," bisik Serena pelan, takut-takut. Sejenak Damian tampak akan mendampratnya lagi, tetapi lelaki itu menarik napas panjang, berusaha menahan diri. "Sudahlah", gumamnya, melangkah melewati Serena memasuki kamar. Dengan gugup Serena berusaha mengejar langkah Damian yang begitu cepat. "Maafkan aku, aku tidak berpikir kamu akan secemas itu", tersengal Serena berusaha menjajari langkah Damian menuju kamar. "Aku... aku terlalu terfokus pada operasi temanku lalu aku...Damian!!", Serena setengah berseru karena lelaki itu berjalan terus tanpa memperhatikannya.

Damian berhenti melangkah, menatap Serena, tampak begitu dingin. "Yang penting kau sudah pulang dengan selamat", jawabnya datar. "Damian.....?" Serena merasa ragu mendengar nada dingin di dalam suara Damian.

"Sudah! Aku mau tidur!" geram Damian marah sambil melangkah ke arah ranjang.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience