Malam jatuh perlahan seperti kelopak yang melayang ke bumi.
Di kedai bunga yang sudah pun sunyi dari suara pelanggan, Nabila masih duduk di sudut kegemarannya. Di bawah cahaya lampu kuning lembut, jari-jarinya melintasi papan kekunci, membuka aplikasi yang semakin menjadi ruang hatinya bernafas.
Adam sudah menulis lagi, seperti selalu.
“I don’t really know how to say this, but I feel safe when I talk to you. It’s odd, isn’t it? We’ve never met. We come from different worlds.”
Nabila diam seketika. Dia tahu perbualan ini akan menyentuh sesuatu yang lebih dalam. Dia menarik nafas, lalu menaip perlahan.
“Sometimes, the soul recognises sincerity before the eyes even meet. But yes, we are… very different.”
Adam membalas hampir serta-merta.
“Different, yes. And yet... here we are.”
“You know, Nabila, I’ve been reading a lot about Islam lately. It began out of curiosity, but now… I’m drawn to the peace it carries.”
Nabila terkedu membaca ayat itu.
Bukan kerana terkejut, tetapi kerana hatinya bergetar. Bukan dengan harapan, tapi dengan kehati-hatian. Lalu dia menjawab dengan jujur.
“Islam is a way of life, not a mere belief. It’s not something you come to because of someone. It’s something you come to because of truth.”
“That’s what I’m searching for,” balas Adam.
“And I won’t lie — meeting you, even just through words, made me want to understand your world better. But I’m not here to change who you are or ask you to change who I am. I just… want to know who we are beneath all these labels.”
Nabila membaca dan matanya berkaca.
Mereka memang jauh—berbeza bangsa, bahasa, dan sejarah.
Tapi dalam ruang maya ini, hanya jiwa yang berbicara, tanpa pasport atau visa.
Nabila menulis lagi,
“I don’t know where this is going, Adam. And I’ve always believed that the best thing is the one that brings us closer to our creator, not further.”
“Then let me walk beside you from afar, without touching, without rushing. Just learning. Just listening.”
Sunyi sejenak. Tapi sunyi itu tidak kosong. Ia penuh makna.
“I admire how you carry your faith. It’s not just something you wear — it’s how you speak, how you hold back, how you respect. That in itself teaches me.”
Nabila tersenyum kecil, walau jiwanya masih gusar.
Ini bukan kisah cinta picisan yang hanya bertahan di ruang pesanan.
Ini soal hati yang cuba mengimbangi iman dan rasa, logik dan harapan.
“If you’re truly seeking, then seek with humility. I will not promise you anything, Adam. But if Allah wills it, He will guide both our steps — whether together or apart.”
Adam membalas:
“Even if our paths don’t meet in this world, I want to be someone who once knew a woman who held onto her values with grace.”
“But if they do meet… I want to be worthy of standing beside her.”
Dan pada malam itu, Nabila tidak menangis.
Dia hanya memejamkan mata, menyandarkan diri pada dinding, dan membiarkan hatinya berbicara dengan Tuhannya yang Maha Mengetahui segala.
“Jika ini ujian, aku redha. Jika ini jalan, aku pinta petunjuk-Mu. Jika ini hanya bayang-bayang yang takkan menjadi nyata… maka padamkan ia dengan tenang, ya Allah.”
Namun jauh di sudut hatinya, satu cahaya kecil menyala.
Kerana mungkin… cinta yang sejati itu tidak datang dengan gendang dan gemerlap,
Tapi hadir sebagai sapaan lembut dari jiwa yang ingin mengenal Tuhannya, melalui seorang wanita yang tidak pernah minta untuk dicintai.
Share this novel