Malam itu hadir dengan keheningan yang penuh makna. Kediaman mewah keluarga Dato’ Rahman diterangi cahaya lampu kristal yang bergemerlapan di ruang tamu, memantul indah pada perabot klasik yang tersusun rapi. Di sebalik keheningan itu, jiwa Datin Seri Mirinda sedang bergetar dengan kebahagiaan yang tidak tertanggung. Berita yang dibawa Emir petang tadi masih terngiang-ngiang di telinganya. Berita bahawa Nabila, yang selama ini menjadi persoalan hatinya, akhirnya sudah membuka hati, melupakan bayangan Adam, dan memilih Emir sebagai masa depannya.
Air mata kegembiraan hampir menitis saat dia memandang wajah putera tunggalnya itu. Bertahun-tahun dia menanti saat ini, bimbang Emir terlalu larut dalam dunia kerja sehingga melupakan bahagia yang lebih hakiki. Dan kini, seakan langit sendiri merestui.Emir sudah bersedia untuk melangkah ke satu fasa baru dalam hidupnya. Fasa yang juga akan mengubah seluruh kehidupan keluarganya.
Di sisi sofa empuk berwarna gading, Dato’ Rahman duduk tenang. Lelaki berkarisma itu, yang selama ini lebih banyak berdiam daripada berbicara soal jodoh anaknya, malam ini turut memandang Emir dengan senyum puas. Sungguh, apa lagi yang lebih menggembirakan seorang ayah selain melihat anaknya bersedia melangkah ke alam rumah tangga?
Datin Seri Mirinda tidak dapat menahan dirinya. Dengan penuh semangat, dia membuka bicara.
"Emir, you have no idea how long I have been waiting for this day. Finally, you’ve told us that Nabila has chosen you. That girl, she’s the one. I can feel it. And I want nothing less than the most magnificent wedding for you, my dear."
Emir tersenyum kecil, seolah cuba menenangkan gelora semangat mamanya. Dia bersandar ke belakang, menatap wajah kedua ibu bapanya dengan penuh syukur.
"Mama, I know how much this means to you. But I don’t want the wedding to be just about grandeur. I want it to be meaningful, intimate, something that reflects who Nabila truly is. She is simple, Mama, and I don’t want her to feel overwhelmed."
Dato’ Rahman menyampuk dengan suara tenangnya yang penuh wibawa.
"Mirinda, listen to what Emir is saying. The girl is not from a family like ours. She might not be comfortable with extravagance. A balance must be struck. Elegance without excess."
Namun, Datin Seri tidak mudah mengalah. Matanya bersinar dengan cita-cita besar seorang ibu.
"I understand, but a wedding is not just for the two of you, Emir. It is also about family, about honour, about the future we present to society. People will come, relatives from near and far, business partners, colleagues. This is not merely an event; it is a statement. My son is marrying the woman he loves, and the world should see it."
Emir menarik nafas dalam-dalam. Dia tahu benar, mama selalu menginginkan yang terbaik, dan kadangkala "terbaik" menurutnya adalah sinonim dengan "paling gah". Namun, hatinya untuk Nabila tidak ingin membebankan gadis itu.
"Mama, I want her to feel at home, not like a guest at her own wedding. If we make this too extravagant, she might feel like she doesn’t belong. I love her for her sincerity, her quiet strength, not for how she looks in the eyes of society."
Datin Seri Mirinda menghela nafas panjang, lalu menoleh ke arah suaminya.
"Dear, help me here. I don’t want a plain ceremony. This is the first wedding in our family. My only chance to see such a day. Can you imagine, after all these years, finally… finally we have this moment?"
Dato’ Rahman tersenyum lembut, memandang isterinya dengan penuh pengertian.
"I can imagine, Mirinda. And I want you to have that moment too. But we must remember, this is their marriage. It is Emir’s heart and Nabila’s soul that we are joining. Not just two families, but two lives."
Datin Seri termenung seketika. Dia tahu suaminya benar, namun hati seorang ibu ingin memberikan segalanya. Dia bangun, berjalan ke arah meja kecil yang menempatkan album gambar lama. Dibukanya lembaran demi lembaran, melihat wajah Emir kecil, kemudian wajahnya saat graduasi, hingga kini, lelaki dewasa yang bakal memimpin sebuah keluarga. Air matanya bergenang.
"Emir, when you were a boy, I used to dream of this day. I used to imagine the woman who would stand by your side, the family you would build. And now that it is finally here, can you blame me for wanting it to be glorious? I just want the world to know how proud I am of you."
Emir bangkit, menghampiri mamanya lalu menggenggam tangannya dengan lembut.
"Mama, I know. And I promise you, it will be a day worth remembering. But let it be glorious in love, not just in splendour. Nabila deserves to feel like this is her day too, not just ours."
Dato’ Rahman menambah dengan bijaksana.
"Perhaps there is a middle path. A celebration that carries dignity, beauty, but also intimacy. We can host it in a grand hall, yes, but design it with warmth, with simplicity in mind. Instead of diamonds and chandeliers, let flowers and soft lights do the talking. Let the essence of love be the centrepiece.
Perbualan itu berlarutan hampir sejam. Datin Seri akhirnya akur dengan cadangan kompromi. Namun, sifatnya yang teliti menjadikan dia tidak berhenti menyusun idea.
"Fine. We can tone it down. But still, there must be elegance. I want her to wear something that truly reflects her beauty. A gown that speaks of grace. And Emir, you shall look every bit the gentleman you are."
"As long as she’s comfortable, Mama. That’s all that matters to me."
"And the guest list, we must invite the family from Penang, the relatives from London, even the business partners from Singapore. This is not just about us, but about showing unity. The merging of circles."
Dato’ Rahman tertawa kecil.
"You will end up turning this into a diplomatic summit, Mirinda."
"Oh hush, Rahman. You know how important appearances are. A wedding is a chance to strengthen bonds, to weave networks. I am not wasting that chance."
Emir hanya menggeleng sambil tersenyum. Dia tahu tiada yang dapat menghalang mamanya apabila sesuatu sudah berada dalam fikirannya. Namun dia juga tahu, mama dan papanya telah lama menunggu saat seperti ini setelah Dr Emir menolak berkali-kali dengan pelbagai alasan.Perkahwinan ini adalah suatu impian yang paling besar dalam hidup Dr Emir dan ianya tidak akan dipersiakan. Baginya kebahagiaan Nabila adalah lebih beeerti dari segala-galanya.
Malam semakin larut. Setelah panjang berbincang, mereka akhirnya mencapai kata sepakat. Datin Seri Mirinda tersandar di sofa dengan wajah lega, seakan sebuah beban besar sudah terangkat dari hatinya.
"Emir, I am so happy for you. And for her. You’ve chosen well. I may want the grandeur, but above all, I want you to be truly happy. That is my greatest joy as a mother."
Emir tersenyum, matanya berkaca.
"Mama, I am happy. And it’s because I know you’re with me in this. Thank you
for everything."
Dato’ Rahman menepuk bahu anaknya, menambah dengan penuh makna.
"Remember, Emir, a marriage is not about the day it begins, but the journey that follows. Start it with love, continue it with patience, and end it only with eternity."
Malam itu berakhir dengan ketenangan. Hati Datin Seri Mirinda penuh dengan pelbagai Rancangan. Jenis bunga yang ingin dipilih, warna tema yang akan menghiasi dewan, senarai tetamu yang sudah mula terbayang dalam benaknya. Namun di sebalik semua itu, ada sesuatu yang lebih berharga iaitu kebahagiaan yang tidak dilukiskan dengan kata-kata. Seorang ibu yang ingin melihat anaknya melangkah ke fasa hidup yang baru dengan restu dan cinta yang tulus.
Dan di sudut hatinya, dia berdoa moga perkahwinan itu bukan sahaja gilang-gemilang di mata dunia, tetapi juga abadi di bawah lindungan kasih Ilahi.
Share this novel