PERTEMUAN YANG DIRINDUKAN

Romance Series 1533

Petang itu angin di kampung berhembus perlahan, seolah-olah ingin mengusik debar di hati Nabila. Daun-daun kelapa melambai perlahan, iramanya seakan menyambut kedatangan Adam. Di laman rumah yang sudah bertahun-tahun menjadi saksi suka duka keluarga, kini bakal terpahat sejarah baru. Seorang lelaki asing dari Benua Eropah akan tiba buat pertama kali, bukan sebagai tetamu biasa, tetapi sebagai insan yang telah mencuri hati si bongsu dalam keluarga.

Nabila berdiri di anjung rumah, bajunya warna lembut, jilbabnya dililit kemas Wajahnya dihiasi senyum yang cuba menutup gemuruh hati.

"Nab, mereka dah sampai ke?" tanya Kak Long dari dalam rumah sambil menyusun gelas di atas dulang.

"Belum lagi, Kak Long. Abang Long cakap dalam perjalanan dari KLIA… maybe half an hour more."

Wajah Kak Long mengangguk, matanya sempat meneliti adiknya. Nabila nampak berseri, tapi jelas debar itu tak mampu disembunyikan.

KLIA - Kampung

Adam memandang keluar dari tingkap kereta sambil menghela nafas perlahan. Pemandangan desa yang damai dan menghijau memberi ketenangan luar biasa. Di sebelahnya, Abang Long, tenang memandu dan sesekali bercerita tentang keluarga Nabila. Adam mendengar dengan tekun.

"Thank you, Abang Long. For fetching me. It means a lot," kata Adam sambil tersenyum sopan.

"You're most welcome. We’ve heard a lot about you. Nabila speaks fondly of you. She rarely opens her heart, you know?"

Adam senyum, kemudian memandang ke langit.

"She opens more than her heart, Abang. She opens a world I never thought I'd belong to."

Kampung - Saat Pertemuan

Kereta berhenti di hadapan rumah kampung berdinding papan, tapi bersih dan tersusun rapi. Wajah mak dan ayah menanti dari anjung, sementara Kak Long dan Abang Ngah sudah bersedia di ruang tamu.

Pintu kereta dibuka. Adam melangkah keluar, berkemeja putih bersih, berkaca mata hitam, rambut tersisir kemas.
Memiliki raut wajah yang memancarkan pesona Eropah,
tulang pipinya tinggi dan tersusun kemas,
membingkai wajahnya yang tampak maskulin dan agung.

Hidungnya mancung,
terpahat indah.
Matanya berwarna kelabu kehijauan,
bagai kabut pagi yang menyelubungi tasik di wilayah Lake District,
dalam dan menawan,
Rambutnya perang gelap keemasan,
tersisir rapi ke sisi,
lembut beralun seperti helai-helai dedaun yang menari di bawah angin petang.

Keningnya tebal dan teratur,
menambah karakter wajah yang penuh keyakinan.

Dagunya tegap dan berlekuk halus di tengah,
lambang ketegasan dan kelelakian yang tidak dibuat-buat.
Kulitnya cerah pucat seperti porselin Inggeris,
namun tetap memperlihatkan kehangatan dan kekuatan dari dalam.

Tubuhnya sederhana tinggi dan berbahu lebar,
dengan postur yang tegak dan anggun,
seperti seorang kesatria yang tidak memerlukan pedang
untuk memperlihatkan wibawa.

Lengannya berotot namun tidak berlebihan,
tanda seorang yang aktif dan menjaga diri,
tetapi tetap merendah dalam langkahnya.

Senyumnya.
Ah, senyuman itu,
memiliki pesona yang boleh meruntuhkan dinding beku hati

Inilah ketampanan Adam,
bukan sekadar rupa dari tanah asing,
tetapi jelmaan keindahan yang lahir dari keperibadian,
dan akhlak yang menenangkan pandangan.

Nabila menelan liur. Jantungnya hampir meledak.Melihat Adam yang penuh pesona. Ternyata wajah yang menghiasi profile Adam tidak seindah di alam nyata.

"Assalamu’alaikum," sapa Adam, menanggalkan kaca matanya dan menunduk sedikit sebagai tanda hormat.

Ayah mengangguk, membalas salam dengan tenang, walau dalam hatinya bergemuruh.

"Wa’alaikumussalam, Adam. Welcome to our humble home."

Mak tersenyum, menilik lelaki Inggeris ini. Tidak terlalu tinggi, tapi penuh karisma. Matanya lembut, wajahnya tenang.

"Thank you,.. for accepting me here. I feel truly honoured," balas Adam dengan sopan.

Di ruang tamu

Mereka duduk mengelilingi Adam, menanyakan pelbagai soalan. Tentang kerja, keluarganya di UK, bagaimana dia mengenali Nabila, dan tentang keislamannya.Mak dan ayah menggunakan khidmat kak long, abang long, abang ngah dan Nabila sebagai jurubahasa.

Adam menjawab dengan tenang dan jujur, menyelitkan sedikit jenaka dan ketulusan.

"I was once a man lost in the world, chasing things that glittered but never gave light… until I found Islam. And then I found Nabila, who guided me with gentleness, not force… like the moon guiding the tide."

Mak tersenyum dan menggenggam tangan Nabila.

"Dia bijak memilih. Bukan senang untuk memikat hati Nabila" bisik Mak perlahan.

Di bawah langit malam, Nabila dan Adam berbual di bangku kayu laman rumah

Bintang-bintang bergemerlapan, bulan penuh menggantung di langit. Angin membawa wangi pohon bunga kertas yang sedang mekar.

"Are you okay?" tanya Nabila, memandang Adam dengan mata berkaca.

Adam mengangguk perlahan.

"I am more than okay, Nabila. I'm home, though far from where I was born."

"You’ve touched my family’s heart. I can see it. My mother never smiled this much… unless she’s at peace."

Adam tersenyum, kemudian berkata perlahan, seolah-olah melafazkan bait puisi,

"I did not come to impress,
But to express,
The depth of a soul
That has wandered far,
Only to find
That your name was the compass
In every silent prayer."

Nabila tersenyum, matanya berkaca.

"I used to wonder… if you’d still come, if this bond would fade amidst our busy days. But you… you kept walking towards me, even in silence."

"Because silence is not absence, Nabila. It is often the most sacred space where prayers reside, where love matures,
quietly, sincerely."

Adam merenung Nabila dalam diam. Tapi mereka sentiasa menjaga jarak dan pandangan.

"Do you know what I whispered in my prayer before coming here?"

"Tell me."

"That the soil beneath your home would accept me. That your parents' hearts would not see a stranger, but a son… and that you… would still be the girl who smiled when I said, 'Salam.'"

Malam terus melarut

Di dalam rumah, mak dan ayah sudah berbual panjang dengan kak long dan abang ngah.

"Mak rasa... dia ikhlas. Tenang hati tengok cara dia layan Nabila."

"Ayah pun nampak begitu. Kalau beginilah cara dia, ayah redha. Islam bukan pada bangsa. Tapi pada akhlak dan iman. Kalau dia jaga anak kita dengan baik, itu sudah cukup."

Keesokan paginya

Adam bangun awal. Tanpa kekok, usai solat melihat mak memasak di dapur. Nabila terkedu melihat Adam penuh sopan cuba berbual dengan mak walaupun mereka kelihatan seperti itik dan ayam.Walaupun di hari kedua Adam hadir tetapi seolah sudah lama menjadi sebahagian daripada keluarga Nabila.

"Adam pandai membawa diri dan cepat berbaur seperti hujan yang turun di tanah gersang. Ciri-ciri menantu idaman mak dan ayah," bisik Kak Long pada Nabila.

Nabila hanya mengangguk sambil mengukir senyum yang tiada berjeda.

Senja yang berikutnya, mereka duduk bersama di pangkin, memandang mentari tenggelam

"How does your heart feel now, Nabila?"

"Like a flower… that has waited for seasons… and finally felt the touch of rain."

Adam mengangguk perlahan.

"And mine… like a traveller who has reached not the end of a journey, but the beginning of something sacred."

"With your father’s blessing,
With your mother’s warm eyes,
I do not seek a ceremony,
But a covenant of skies,
That you and I,
Under His mercy,
Shall build a home
Rooted in sincerity."

Pertemuan pertama itu bukan sekadar kunjungan. Ia adalah titik permulaan. Sehelai daun baru dalam kitab cinta mereka. Di desa yang damai, dengan saksi langit dan pohon tua, Nabila dan Adam tahu, ini adalah janji yang akan mereka junjung.

Kerana cinta yang sebenar…
Bukan pada deruan kata,
Tapi pada usaha…
Untuk terus ada.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience