Di Nikahkan Warga

Family Series 3263

Warga yang berkumpul di rumah orang tua Sindy sudah terlihat geram. Aku dan Sindy serta orang tuanya saling bertatapan. Gadis cantik itu terlihat gemetar, aku juga mulai panik serta orang tuanya pucat.

Aku bingung, entah apa yang harus kulakukan? Menolak menikah pasti di arak atau di laporkan ke polisi dan pasti beritanya akan tersebar ke mana-mana. Kalau memilih menikah apa Sindy mau? Padahal sejujurnya aku lebih suka memilih menikah.

"Bagaimana Bang Hasan, Sindy, mau kami laporkan ke polisi atau kami arak dengan telanjang?" tanya Pak Rt lagi.

"Udah deh bapak-bapak, Sindy milih menikah saja sama Bang Hasan dari pada di laporin ke polisi dan di arak keliling kampung. Kan enakan nikah. Ya, Bang." jawab Sindy sambil mengeringkan matanya ke arahku.

Hal yang tidak pernah aku duga. Kenapa Sindy bisa nekat seperti itu? Aku tidak habis pikir. Aku mulai kelimpungan, bagaimana kalau Maima sampai tahu?

"Ta-tapi, Abang punya anak istri, Neng. Emangnya Neng mau? Abang juga gak punya apa-apa untuk mas kawinnya?" tanyaku kepada Sindy.

"Ya, Abang pilih mana? Di arak dulu baru nikah? Soal mas kawin cukup uang yang ada di kantong Abang saja" jawab Sindy, di luar dugaanku dia lebih memilih menikah.

Aku merogoh saku celana dan mengeluarkan dompet lalu ku buka. Hanya ada selembar uang berwarna biru.

"Ya, cuma ada segini, Neng." terangku lesu.

"Ya, udah, Bang. Gak apa-apa." pungkas Sindy.

Dengan sedikit perdebatan dan keadaan serba darurat, akhirnya terpaksa tetapi dengan senang hati aku menikahi Sindy yang di saksikan Pak RT, Hansip juga warga dan Pak Amil sebagai penghulunya.

Akhinya aku sah menikah siri dengan Sindy. Setelah mengucapkan ijab qabul dan urusan di rasa sudah selesai, para wargapun mulai meninggalkan rumah Pak Miun.

Tinggallah kami berempat yang masih belum hilang semua rasa keterkejutan kami karena kedatangan warga. Aku pikir mereka masih berbaik hati karena tidak sampai mengarakku.

"Enak tuh si Hasan dapat banyak."

"Ada-ada saja, bikin malu warga kampung."

"Lagian tuh, Pak Miun bisa-bisanya membiarkan laki -laki nginep di rumahnya."

"Jangan-jangan ini juga kemauan cowoknya."

Untung benar tuh lakinya cuma modal uang lima puluh ribu sudah dapat perawan."

"Rezeki nomplok itu."

Itulah beberapa celotehan warga yang terdengar sambil bisik-bisik saat mereka membubarkan diri. Sampai akhirnya suara mereka tidak terdengar lagi, menghilang di tengah malam gelap gulita meninggalkan aku yang masih bingung.

"Neng, kenapa tadi kamu bilang ke warga mau nikah sama Abang?" tanyaku kepada Sindy dengan pikiran antara bingung juga senang.

Padahal hatiku gembira luar biasa, mungkin kalau bisa aku salto sampai jungkir balik saking senangnya. ' uhuyy, YESS!' gumamku.

"Emangnya Abang mau kita di arak warga keliling kampung, baru kita nikah, gitu? Padahal kita tidak melakukan apa-apa." cerocos Sindy dengan suara agak sedikit mengeras.

"Iya juga sich, Neng. Tapi masalahnya Abang 'kan punya anak istri. Terus kalau istri Abang tahu gimana?" tanyaku lagi dengan pikiran bingung, aku garuk-garuk kepala tidak karuan.

"Masa bodo! Itu kan urusan Abang!" jawab Sindy agak kasar tanpa mau mempedulikan aku yang pusing.

"Nah, Hasan! Sekarang Sindy sudah menjadi urusan dan tanggung jawabmu! Bapak serahkan semuanya sama kamu!" Seru pak Muin dengan nada agak tinggi yang menambah bingung pikiranku.

Pak Muin dan Bu Oneng seperti tidak peduli dengan masalah yang kuhadapi. Seenaknya mereka masuk kamar meninggalkan aku dan Sindy. Walaupun sebenarnya aku senang luar biasa, dan inilah yang aku inginkan.

"Oh, iya Hasan. Sepertinya Sindy juga tidak jadi beli motor, biar uangnya bisa di tabung. Kan udah ada kamu yang antar jemput." ucap Pak Mium sebelum masuk kamar.

Aku agak terkejut, bagaimana nanti kalau aku masih harus antar jemput? Sedangkan aku sudah bilang sama Maima kalau Sindy mau beli motor, dan tidak perlu di antar jemput lagi. Ya, sudahlah itu nanti bisa di atur,' gumamku.

"I-iya, Pak." jawabku kikuk.

Pak Miun dan Bu Oneng berlalu dari hadapan kami, meninggalkanku dan Sindy yang duduk diam-diaman.

"Neng, emangnya Neng nggak nyesel apa nikah sama Abang, dengan terpaksa lagi? Neng masih sangat muda, sedangkan Abang." ucapku pura-pura tidak enak hati.

"Ngapain nyesel, Bang? Jujur, aku tuh sudah lama suka sama Abang. Tapi sepertinya Abang tidak pernah peka sama perasanku," jawab Sindy tanpa ragu. Aku tercengang di buatnya.

Omongan dan bicara Sindy selalu di luar dugaanku, ternyata dia yang kuanggap pendiam dan lugu sangat jauh berbeda.

"Bukan gitu, Neng. Abang tuh sadar diri. Kan Abang punya anak istri, mana mungkin Neng Mau. Tapi sejujurnya Abang juga suka sama Eneng. Makanya Abang kalau sudah antar Neng pulang tuh suka lama-lama di sini, rasanya tuh nyaman kalau sama , Eneng. Tapi beneran gak tuh, Neng gak jadi beli motor?" tanyaku lagi.

"Iya, Bang, kan ada Abang yang antar jemput." jawab Sindy.

"Tapi, Neng. Abang sudah bilang sama istri Abang, kalau tidak antar jemput Neng lagi," jawabku.

"Kan udah aku bilang, itu urusan Abang!" jawab Sindy agak sewot, sungguh membuatku bingung.

"Tapi, Neng. Nanti kalau istri Abang curiga gimana, terus dia marah? Emangnya Neng mau kita baru nikah terus pisah," rayuku.

"Iya juga sich, Bang. Nanti aku pikirin lagi dech," jawab Sindy, sepertinya dia mulai berpikir.

Mudah-mudahan aku nanti bisa membujuk Sindy, dan aku bisa bersenang-senang merayu janda di belakang rumahku. Mamang sih dia itu janda dengan anak tujuh, tetapi dari segi penampilan dan fisiknya dia masih sangat menarik.

"Udah malam, Neng. Tidur duluan sana, nanti besok kesiangan, biar Abang tidur di sofa saja," titahku.

Emangnya Abang gak mau tidur sama aku, kan sekarang kita sudah jadi suami istri?" tawar Sindy genit.

Aku yang sudah lama menyukainya terasa di tantang tetapi masih berpura-pura tahan harga.

"Bukan gitu, Neng. Besok pagi-pagi sekali Abang harus segera ada di rumah, biar Istri Abang gak curiga." tuturku.

"Istri lagi! Istri lagi! Emangnya cuma dia apa istri Abang?! Heh Bang! Istri Abang itu sekarang ada dua ya. Tolong, berhenti menyebut Teh Maima istri. Aku gak suka!" seru Sindy merajuk dengan sedikit memekik. Dia berlalu dari hadapanku menuju kamar dengan menutup pintu cukup keras.

Brakk!

Aku kaget dengan sikapnya yang tiba-tiba berubah. Kenapa dia jadi seperti itu? Aku bangkit dari tempat duduk dan melangkah menuju pintu kamarnya. Lalu mengetuknya pelan. Tapi Sindy tidak membukanya.

"Neng, maafin Abang ya. Iya deh Abang gak sekali-kali lagi. Ya udah, Abang tidur dulu," bujukku, tetapi Sindy tidak keluar, mungkin dia benar-benar marah,

Untunglah itu tidak terdengar oleh orang tuanya, karena kamar mereka berada di belakang. Sedangkan kedua kakak Sindy sudah berkeluarga dan Sindy adalah anak bungsu. Jadi mungkin wajar kalau dia mudah marah dan manja.

Aku kembali duduk di sofa dengan kaki berseolonjor ke meja kecil sambil memikirkan besok dan selanjutnya. Malam ini aku sedang menikmati hari bahagiaku sambil berkhayal. Mungkin benar kata Ahmad Dani, begini rasanya punya istri dua.

'Senangnya dalam hati, hai jika beristri dua, yang tua bekerja, yang muda ku manja.' hatiku bernyanyi sambil bersiul kecil.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience