Di Tegur Warga

Family Series 3263

Semakin hari aku semakin dekat dan nyaman dengan Sindy. Aku juga bisa berlama-lama dan betah kalau sudah berada di rumahnya. Hingga sering lupa pulang sampai larut malam. Kalau istriku protes ada saja alasanku, diapun tidak menaruh curiga.

Hingga suatu malam sehabis menjemput Sindy. Aku sampai tertidur di luar yang tersedia bale-bale kecil sampai jam satu dini hari. Sindy dan orang tuanya juga tidak membangunkanku. Waktu itu aku merasa seperti ada yang seperti mengerakkan tubuhku.

"Permisi, Bang. Bukankah Abang ini yang selalu antar jemput Sindy, ya?" tanya salah satu warga yang sedang ronda datang membangunkanku.

"I-iya, ini ada apa ya, Pak?" tanyaku gugup sambil mengerjap.

"Maaf, Bang. Kami merasa terganggu mendengar suara motor Abang yang hampir tiap malam. Sedangkan Abang bukan sedang ronda. Tidak enak juga, Sindy 'kan masih gadis, dan Abang juga punya anak istri 'kan? Takutnya nanti akan terjadi fitnah. Maaf, Bang. Saya hanya mau mengingatkan. Tolong pengertiannya." lanjutnya.

"Iya, Pak. Maaf, sudah mengganggu kenyamanan warga sini. Aku juga minta maaf karena sampai ketiduran." jawabku agak malu.

"Iya, Bang, kami masih maklum dan memaafkan Abang. Tapi lain kali kalau Abang masih terlihat seperti ini kami akan mengambil sikap tegas." jawab si bapak yang sedang ronda itu.

Aku meraih jaket dan mengeluarkan kunci motor lalu beranjak untuk menghidupkan motor dan melaju pelan dengan sedikit membungkuk tanpa pamit terlebih dahulu kepada Sindy.

'Kenapa aku sampai bisa ketiduran, kenap juga Sindy tidak membangunkanku? Terus, gimana aku bilang sama Maima kalau aku pulang selarut ini? Pasti dia akan marah.' guamaku

Di sepanjang perjalanan aku terus berpikir untuk mencari alasan kalau nanti Maima memberondongku dengan pertanyaan. Aku jadi pusing sendiri. Aku lihat ponsel, ternyata barternya mati, pasti maiama akan semakin marah.

Hingga tidak terasa perjalanan hampir sampai ke rumah. Aku menepi ke jalan, untuk sejenak terdiam. Lalu sebuah ide melintas di pikiranku.

Aku turun dari motor dengan sedikit berjongkok sambil memindai ke sekeliling untuk memastikan tidak ada yang melihatnya aksiku. Kucabut pentil motor hingga bannya kempes, lalu kudorong motorku sampai rumah hingga napasku ngos-ngosan. Ternyata cape juga.

Tok tok tok.

Aku mengetuk pintu beberapa kali, tetapi belum ada yang membukanya. Sekali lagi ku ulangi.

Krrekk.

Suara kenop pintu terbuka.

"Abang dari mana saja sih jam segini baru pulang? Lihat, Bang. Ini jam berapa? Mending gak usah pulang sekalian! Lama-lama kesel aku sama kamu. Udah! Mending kamu gak usah antar jemput lagi."

Benar saja. Maima menyambutku dengan emosi sambil mengucek matanya.

"Maaf, Ma. Di sana hujan deras gak berhenti. Terus motor juga kempes. Abang dorong sampai rumah. Tadinya sih di suruh nginep sama teman ojek Abang. Tapi takut Mama curiga sama Abang," jawabku, semoga alasanku kali ini berhasil.

"Apa, Bang? Motor kamu kempes, memangnya tidak ada bengkel apa?" tanya istriku.

"Ya, itu dia, Ma. Kalau ada bengkel, Abang tidak akan pulang sampai malam begini, bengkel sudah pada tutup." kilahku.

"Oh, kirain Abang sengaja pulang sampai larut malam karena nginep di rumah langganan itu. Ya, sudah Abang cepetan masuk, nanti aku ambiilin air hangat dulu." tawar istriku

'Yes! Akhirnya alsanku berhasil' gumamku sambil menggerakkan tangan pelan dengan mengepal. Kali ini aku masih aman.

***
Masih pagi, Bang. Mau ke mana?" tanya istriku sambil membawakan segelas kopi panas.

"Mau ke bengkel, kali aja udah ada yang buka, Ma. Takutnya kan ada paku nyangkut, kalau ke bengkel nanti ketahuan." jawabku.

"Bang, sampai kapan Abang mau jadi ojek langganannya si Sindy? Apa Abang tidak bosan setiap hari antar jemput dia?" tanya istriku tiba-tiba.

"Ya, mau gimana lagi, Ma? Abang belum punya kerjaan sampingan. Emangnya kenapa, Ma? Kok tumben nanya kaya gitu?"

"Bukan gitu, Bang. Aku kasihan sama Abang. Pulang malam terus, pagi juga sudah berangkat, kaya karyawan aja."

"Mau gimana lagi, Ma? Tapi Abang denger, katanya Sindy mau ambil motor dengn cara mencicil."

"Oh, syukur lah, berarti Abang tidak ngojek dia lagi."

Mendengar jawaban Maima aku hanya diam. Itu berarti aku tidak bakalan bertemu Sindy lagi.

"Udah hampir setengah tujuh. Mama pergi aja kerja. Abang juga mau ke bengkel dulu untuk tambah angin."

Maima tidak bicara lagi. Dia kemudian menghidupkan motornya dan berlalu dari hadapanku. Sedangkan aku setelah menenggak sisa air kopi langsung mendorong motor kedepan jalan untuk mencari bengkel.

Aku juga takut Sindy akan terlambat, setelah menambah angin aku langsung pergi ke rumahnya dengan kecepatan agak lumayan kencang hingga tidak terasa sudah berada di depan rumahnya..

"Kok, baru datang sih, Bang," sambut Sindy dengan mata sedikit mendelik. Ternyata dia sudah menunggu.

Abang habis dari bengkel dulu buat nambah angin. Ayok cepat naik, nanti terlambat masuk kerjanya."

Emangnya kenapa, Bang? Kok bisa kempes."

"Sengaja semalam Abang kempesin. Biar istri Abang tidak curiga. Neng, sich. Kenapa semalam gak bangunin Abang? Abang kan malu jadi di tegur orang yang ronda."

"Ya, aku lupa mau bangunin Bang Hasan, habisnya semalam Abang kaya ngantuk banget." jawab Sindy sambil memeluk erat pinggangku.

"Ya, nanti jangan kaya gitu lagi, Neng. Takutnya warga curiga sama Abang," ujarku sambil terus menyetir motor.

"Ya, maaf, Bang!" Sindy menyeru lembut sambil mencubit pinggangku. aku bergerak geli ke samping hingga motorku hampir oleng.

Ketika sampai di pabrik banyak teman-teman Sindy yang menggoda.

"Itu pacar kamu ya, Sindy?"

"Eh, Sindy. Itu pacar apa tukang ojek?"

"Kok, kamu makin hari makin mesra sama tukang ojek itu, Sindy. Apa istrinya tidak curiga?

"Cie ... gebetan baru nich."

"Hati-hati hlo, Sindy."

Bisik-bisik teman Sindy terdengar jelas. Dia hanya tersenyum sambil melirik ke arahku, yang kubalas dengan senyuman.

"Aku masuk dulu ya, Bang." Sindy pamit masuk ke dalam pabrik.

"Bang, kami duluan ya," sahut teman Sindy ramah. Akupun membalasnya. Mereka begitu terlihat sangat akrab dengan Sindy.

Tidak kupingkiri, setiap hari aku bertambah tertarik kepada Sindy. Apalagi sikap Sindy yang ramah dan mudah bergaul. Orang tuanya juga tidak pernah keberatan atau juga menegurku.

Tapi Sindy bilang mau beli motor setalah menyisihkan uang gajinya. Berarti itu aku tidak bisa narik dia lagi dan tidak akan bertemu.

Entah harus bagaimana agar dia masih mau menggunakan jasa ojekku. 'Ah, kenapa aku jadi pusing sendiri.' aku membatin

"Sebelum Maghrib aku sudah berada di depan pabrik di mana dirinya bekerja?

Sebenarnya Sindy tidak pernah lembur malam. Jam setengah tujuh sore semua karyawan sudah pulang. Kalau aku pulang malam itu hanya alasan saja agar istriku percaya.

Karena sebenarnya istriku lah yang selalu pulang malam, kadang sampai jam sepuluh kadang juga sampai pagi kalau mau ekspor, karena dia bagian finishing.

Aku juga tidak pernah melarang dia untuk berhenti bekerja, karena aku tahu kalau cuma mengandalkan penghasilanku, bagaimana bisa untuk setor cicilan?

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience