Sate Seratus Tusuk

Family Series 3263

Setelah bertemu dan melabrak Sindy. Kini aku benar-benar sudah puas telah membuatnya terkapar.Tinggal bagaimana kasih pelajaran kepada Bang Hasan?

"Ma! Kenapa Mama tadi menyiksa Teh Sindy? Kasihan dia. Nanti kalau di laporkan ke polisi, bagaimana? Seru Quinsya panik.
Quinsya memang tidak tahu kalau Bang Hasan sudah menikah dan selalu menjadi bahan omongan orang.

"Quinsya, kamu tahu enggak? Sindy itu istri mudanya Bapak kamu! Bapakmu itu sudah menikah dengan dia." jawabku berusaha menjelaskan.

"Apa, Ma?! Bapak sudah menikah dengan Teh Sindy? Jadi benar gosip itu?" tanya Quinsya kaget.

"Oh, jadi kamu juga sudah mengetahuinya?" Aku balik bertanya.

"Iya, Ma. Bapak jahat ya sama kita, Bapak juga tega sama Mama," jawabnya kesal.

"Sudah. Kamu yang sabar, ya. Jangan lupa tuh pegangin TV-nya yang kencang" perintahku, sambil membelokan motor ke arah kiri.

"Kita mau ke mana lagi sich, Ma?" tanya Quinsya.

"Mama lapar, Quin, mau beli sate dulu, nanti kita makan di rumah saja ya." balasku dengan memarkirkan motor.

Aku berhenti dan turun di warung sate lalu memesannya.

"Bang, satenya ya seratus tusuk, campur bumbu kecap, sebagian lagi bumbu kacang," pesanku.

"Baik, Bu." jawab si pemilik warung sate.

Seratus tusuk cukup lama juga aku harus menunggu dengan porsi sebanyak itu. Duduk dengan masih menahan amarah.

"Ma. Apa itu tidak kebanyakan seratus tusuk? Nanti nggak habis, sayang lho mubazir," protes Quinsya setengah berbisik.

"Sudahlah, Quin. Enggak akan mubazir, kok." jawabku dengan sisa napas yang masih memburu.

Cukup lama kami menunggu sate matang, akhirnya pesanan pun sudah selesai.

"Jadi berapa semuanya, Bang?" tanyaku.

"Sertus lima puluh ribu, Mbak." jawabnya. Akupun membayarnya dan kembali menghidupkan motor langsung pulang dengan hati masih terasa kesal.

Setelah sampai di rumah kami turun dari motor, lalu kuletakan televisi dan membuka bungkusan sate yang kupesan tadi. Aku mengambil dua piring nasi.

"Quinsya, kamu makan dulu. Nanti saja pasang televisinya, selesai makan kamu pergi ke rumah Bi Ijah. Kamu anterin satenya yang lima puluh tusuk itu, tapi jangan sampai Bapak kamu tahu dan jangan bilang habis dari rumah istri mudanya." pesanku kepada Quinsya.

"Iya, Ma," jawab Quinsya sambil meraih tusukan sate.

Selesai makan kami beristirahat sejenak, hanya untuk menurunkan nasi yang belum sampai ke perut.

"Quinsya, kamu ambilin Mama golok sama obat merahnya," perintahku kepada Quinsya.

"Buat aapaan, Ma?" tanya Quinsya heran.

"Sudah, kamu ambil saja." tegasku.

Quinsya pun melangkah ke dapur untuk mengambil golok dan obat merah, kemudian dia pergi ke rumah Bi Ijah untuk mengantarkan sate.

Setelah perut kenyang dan menenangkan diri, aku mengatur napas sambil berselonjor, sebenarnya tadi belum puas menyiksa pelakor itu, tetapi melihat badan kurusnya aku jadi tidak tega.

Beberapa saat aku terdiam, lalu beranjak dari tempat duduk mengambil televisi untuk kupasang antena yang tidak di bawa sipencuri, kembali amarahku memuncak.

'Sialan Bang Hasan sudah bohongin aku habis-habisan, dia benar-benar kelewatan, tidak bisa di kasih hati, awas saja!' aku terus merutuk.

***
Jam tiga sore, setelah shalat Ashar, aku duduk santai sambil menyalakan televisi, tidak lama Bang Hasan datang dengan pakaian sangat kotor.

"Kok, kenapa Mama gak nyusul?" tanya Bang Hasan tiba-tiba.

Aku pura-pura tidak mendengar yang sedang asyik menonton video yang barusan sedang viral dengan caption.

PELAKOR MARUK DI LABRAK ISTRI SAH.

Caption postingan yang barusan aku lihat. Aku memperhatikan dengan seksama Vidio itu.
Ternyata, saat aku menarik Sindy dan menyiksanya ada yang merekam, postingan itupun sudah di banjiri ribuan like, serta ratusan komentar dan puluhan share.

"Makanya, kalau tidak laku jangan ngambil suami orang."

"Istri sah di lawan."

"Duh, masih kecil mau-maunya jadi pelakor."

"Pelakor gak tahu malu, bukan hanya suami orang yang dia ambil, tapi juga televisi di rumah istri sahnya juga di gondol."

"Wah benar-benar maruk, ya."

"Makanya, jagain tuh suami baik-baik kalau tidak mau di rebut. Kalau udah di rebut baru koar-koar."

"Yang bela pelakor itu pasti satu server."

"Laki mah emang gitu, udah punya istri baik, cantik masih aja cari di luar sana."

Itulah beberapa komentar pro dan kontra serta banyak lagi.

"Ma, kok diam saja, terus katanya mau beli televisi baru. Ini, tuh tv-nya? Terus itu suara Vidio apaan sich Ma sampai terdengar rame begitu?" cecar Bang Hasan. Aku tidak menghiraukannya yang terus asyik membaca komentar.

"Oh, itu Bang, pelakor yang di labrak istri sahnya sedang ngamuk," jawabku santai.

"Emangnya pelakor itu apa sih, Ma?" tanya Bang Hasan heran.

"Perebut laki orang, Bang, dan suami yang suka berkhianat." jawabku masih santai.

Bang Hasan hanya diam, tetapi matanya melihat kearah suara televisi.

"Oh, Mama beli televisi model ini lagi ya," kilahnya dia mendekat dan seperti sedang memperhatikannya dengan dahi terlihat mengernyit, seketika wajahnya berubah pucat.

"M-mama, mendapatkan televisi ini dari m-mana?" tanya Bang Hasan gugup.

"Emangnya kenapa, Bang? Bagus kan tv-nya?" jawabku sambil terus membaca komentar yang masih berlangsung.

Seketika wajah Bang Hasan terlihat pucat, bibirnya sedikit bergetar, dia menelan saliva, jakunnya turun naik serta napasnya seperti tidak beraturan.

"Ma-mama, habis ambil tv ini dari .., terus, Si--si ...." jawabnya tergagap.

Bang Hasan terlihat gemetar, dia tidak meneruskan menyebut nama Sindy.

"Abang tenang saja, aku tidak apa-apain istri simpananmu, tapi dia sudah aku bikin sate dan perkedel." jawabku sambil menunjuk sate yang terhidang di piring. Di sebelahnya ada perkedel dan golok yang sengaja aku kasih pewarna merah yang sudah mengering.

Bang Hasan mendekat dan terjatuh lalu berlutut di kakiku, sambil menangis.

"Ma, maafkan A--abang," suaranya terbata, dia meraih dan mencium tanganku yang sedang menahan amarah.

"Hei, Abang ini kenapa? Kok minta maaf. Emangnya Abang punya salah apa sama aku, Bang?" jawabku santai.

Bang Hasan terus memegangi kakiku yang sedang duduk di sofa.

"Abang ..., Abang gak punya salah kok. Ayo bangun Bang, jangan kaya gitu."

aku meraih krah baju Bang Hasan dan membantunya bangun.

Dug!

Ku tonjok perutnya serta ku tampar pipinya, lalu kutarik dan kujedodotkan tubuhnya ke tembok. Bang Hasan diam tidak melawan.

Dasar pengkhianat kamu, Bang. Selama ini aku percaya, tega- teganya Abang menghianatiku. Aku tidak sudi lagi melihatmu di sini. Alasan ngojeklah, lembur jam sepuluh, jam sebelas. Padalah kamu tidur sama lacur itu, Bang! Selama ini aku yang banting tulang, kamu yang enak-enakkan. Jadi, sebelum jatuh dari motor kalian sebenarnya sudah menikah? Aku nyesel udah makan buah dari si pelakor," makiku.

"A--abang di paksa menikah. Abang di tangkap Pak Hansip, Ma," kilahnya membela diri.

"Alasan saja kamu, Bang! Emangnya dasar Abang suami gatel."

Aku benar-benar sudah muak melihatnya, lalu masuk ke kamar dan tak lama aku keluar.

"Sekarang Abang pergi dari rumah ini! Aku tidak sudi lagi melihatmu."

"Bapak jahat! Tega-teganya menyakiti Mama!" teriak Quinsya yang baru datang dari rumah Bi Ijah.

"Maafin Bapak, Quin. Maafin Bapak, Bapak tidak akan mengulanginya lagi. Tolong, Ma. Jangan usir Abang." rengek Bang Hasan.

"Sudah! Tidak ada gunanya lagi Bang, lebih baik sekarang Abang cepat pergi dari sini. Urusin tuh si lakor," aku terus memaki bang Hasan. Kuudorong badannya ke luar. "Tuh, bawa semua pakaian Abang!! seruku, kuhempasan tas ransel itu ke tanah, dan kututup pintu dengan keras tanpa melihatnya lagi. Entah Bang Hasan sudah pergi atau belum?

Aku yang sudah sakit hati atas perlakuan Bang Hasan tidak lagi ingin menangis dan menahannya untuk tinggal di rumahku. Biarlah laki-laki Itu pergi. Aku yakin hidupnya tidak akan bahagia. Karena dia di sini hanya sabatang kara dan tidak punya apa-apa.

Dulu aku memilihnya karena merasa kasihan. Bang Hasan yang tidak punya tempat tinggal karena baru datang dari Cianjur untuk merantau ke daerah Cisarua.

Dulu kami bertemu karena aku sering naik angkot sewaannya kalau pulang kerja, karena sering bertemu dia tidak sungkan-sungkan menceritakan keadaannya. Apa lagi kalau narik tidak ada penumpang, sedangkan setiap hari harus setor ke pemilik angkot, tidurpun terkadang di mana saja. Aku merasa kasihan.

Singkat cerita, setelah beberapa bulan bertemu akhirnya kami menikah dengan sederhana,. Orang tuaku yang awalnya tidak setujui akhirnya merestui juga hubungan kami.

Bang Hasan benar-benar baik, dia masih dengan propesinya sebagai sopir angkot sampai aku membelikan motor, dan dia ganti ngojek. Walaupun penghasilannya tidak berubah tapi aku tidak terlalu pusing memikirkan untuk setoran.

***
Jam tujuh pagi aku sudah sampai di tempat kerja, semua temanku sudah berkumpul. Akupun menghampiri mereka untuk bergabung. Ada yang tersenyum ada juga yang diam.

"Teh, kok biasa saja sich, gak sedih apa udah di khianatin Bang Hasan?" tanya Mbak Sumi.

"Ngapain sedih sama laki kaya gitu? Itu suami emang harus di buang," jawabku.

"Teh, seru ih videonya. Kok, kenapa tuh si ceweknya di biarin gitu aja?"

"Hehe, emangnya harus di apain? Kalian juga sich nggak bilang dari awal, cuma bisik-bisik di belakang," ucapku sedikit menyalahkan mereka

"Eggak enak, kalau mau di bilangin takutnya kabar itu salah kita juga yang malu." tutur mereka dengan segala alasannya. Padahal mereka sudah tahu tapi menyembunyikannya dariku.

"Lagian, Mbak Fatimah masa sama tetangganya sendiri tidak tahu, kalau suamiku menikah." tuturku,

"Lha, emang gak tahu. Kan tetangga juga rumahnya jauh," jawabnya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience