Sindy Menginginkan Aku Pergi

Family Series 3263

"Mama dengar kan apa kata Sindy? Sekarang aku minta. Tolong, tinggalkan rumah ini."

Ardan kembali mengusirku. Aku hanya bisa menangis diperlakukan anak dan menantuku seperti itu. Sakit sudah tentu. Akupun pulang dengan di antar Quinsya yang sedari tadi hanya diam. Selama dalam perjalanan aku tidak banyak bicara sampai di rumah.

"Ma, sebenarnya apa yang Mama lakukan terhadap Teh Sindy?" tanya Quinsya menyelidik saat kami sudah di rumah.

"Mama tidak tidak melakukan apa-apa. Quinsya. Kamu percaya kan sama Mama?" terangku. Quinsya mendekat, ia memeluk sambil ikut meneteskan air matanya.

"Mama yang sabar, ya. Aku tahu kok Mama tidak akan melakukan itu. Aku heran dengan Teh Sindy. Kenapa dia seperti tidak punya hati dan A Ardan selalu percaya dengan ucapannya? Apa Mama melihat sesuatu dari Teh Sindy?" tanya Quinsya menatapku.

"Apa maksud dari pertanyaanmu, Quin?" tayaku heran.

"Coba, Mama pikirin aja, sebelum menikah katanya dia udah hamil, dan sekarang pernikahannya udah berjalan hampir lima bulan tapi perutnya masah rata. Seharusnya perutnya itu sudah terlihat membuncit. Apa karena bawaan tubuh orang itu berbeda-beda kali ya, Ma? terang Quinsya penuh selidik. Ternyata pikirannya itu sependapat denganku.

"Ya, karena itulah yang Mama heran. Tadi Mama sempat bertanya sama Sindy, tapi dia tidak terima dan tiba-tiba menjatuhkan dirinya sambil memanggil Ardan." balasku.

Kami pun terdiam heran dengan kehamilan Sindy dan tingkah lakunya. Sedangkan Sindy amarahnya langsung meledak saat dia tahu kalau dia di nyatakan keguguran.

"Kalau gitu kita harus cari sesuatu sekarang. Tenangkan pikiran Mama." ucap Quinsya, hanya dialah yang selalu membuat pikiranku tenang.

Setelah satu hari di rawat di rumah bidan Emma. Sindy sudah diperbolehkan pulang. Aku pikir setelah kejadian itu dia tidak akan kembali lagi ke rumahku. Tapi ternyata salah, malah keluarganya pun ikut datang dan menyalahkanku, terlebih Ardan. Kami berkumpul di ruang tamu. Mereka menatap ke arahku seperti mengintrogasi dengan segala perkataan.

"Aku tidak menyangka, kenapa Bu Ima bisa berbuat seperti itu terhadap keponakanku? Apakah Bu Ima sudah sebegitu bencinya terhadap Sindy, arena dia pernah menjadi istri suami Bu Ima? Sampai dia harus kehilangan calon bayinya." ucap Pak Danu--Ua-nya Sindy.

"Maaf, Pak Danu. Sebenci apapun aku terhadap dia, aku tidak mungkin mencelakai calon cucuku sendiri. Itu adalah kesalahannya sendiri. Aku hanya membela diri karena dia sudah keterlaluan. Aku hanya menanyakannya, kenapa sampai sekarang kehamilannya belum juga terlihat." jawabku membela diri.

"Oh, jadi selama ini Ibu tidak percaya kalau keponakanku hamil? Setiap orang itu tubuhnya berbeda. Maka kehamilannya pun akan terlihat berbeda juga, ada yang langsung terlihat dan ada juga yang tidak terlihat. Kalau sudah begini apa yang bisa ibu lakukan?" tanya Pak Danu seperti menghakimi.

"Mama ini memang sudah keterlaluan, sekarang lihat Sindy jadi trauma." timpal Ardan.

"Mamamu memmang sangat membenciku dari dulu, aku sudah tidak mau tinggal bersamanya lagi" sahut Sindy yang terus terisak.

"Sayang, apa maksudmu? Apa kamu ingin kita pindah dari sini? Iya, kamu tenang saha. Nanti kita cari kontrakan ya." jawab Ardan yang berusaha menenangkan Sindy.

"Bukan kita yang harus pergi dari rumah ini, Sayang." jawabannya membuat semua yang ada menatapnya.

"Ya terus, kamu maunya gimana?" tanya Ardan heran hampir bersamaan dengan Pak Danu.

" Aku mau Mamamu yang pergi dari rumah ini." balasnya lagi.

Jawaban Sindy membuat semua orang tercengang, terlebih aku. Mendengar pernyataan keponakannya sejenak Pak Danu diam. Dia sedikit manggut-manggut dan matanya mengarah kepadaku.

"Bu Ima dengar kan apa kata Sindy?" ucapnya kepadaku. Aku menengadah dan menatapnya tajam.

"Apa maksud Pak Danu?" balasku.

"Bu Ima dengar kan kalau Sindy ingin Ibh pergi dari rumah ini." ucapnya sekali lagi.

"Maksud Pak Danu ingin aku pergi dari rumahku sendiri?" tanyaku.

"Jangan salah paham Bu Ima. Ini hanya untuk kebaikan dan kesehatan Sindy. Tentunya dia trauma dengan adanya kejadian ini." jelas Pak Danu membuat aku kembli naik pitam. sedangkan Bang Hasan dan lainnya hanya terdiam. Aku berdiri dari tempat duduk.

"Kalian, Ua dan keponakan sama saja. Sama-sama nggak punya perasaan. Tolong, ajari keponakan Bapak. Apa pernah dia memperlakukan aku dengan baik? Apa pernah dia punya adab dan sopan santun terhadapku? Mana ada seorang menantu melempar bajunya ke mukaku dan menyuruhku untuk mencucinya. Ini rumahku. Kenapa aku yang harus pergi?" berat aku berkata untuk menahan semua gejolak di dada.
u "Ma, aku mohon sekali ini saja. Tolong, Mama tinggalkan rumah ini. Biarkan kami hidup tenang dengan Sindy. Aku juga sudah bosan mendengar Mama dan Sindy ribut terus." timpal Ardan.

Bukan hanya perkataan Pak Danu yang membuat aku sakit, tapi juga ucapan Ardan seperti sembilu.

"Kalian ..!!"Aku menyeru dan menghentakkan kaki, lalu pergi dari tempat itu, memilih masuk ke kamar, kuhempaskan tubuhku dengan tangis menahan nyeri. Quinsya menysusul.

***
Tiga hari sudah Sindy tidak masuk kerja, tidak sedikit pula temannya datang menjenguk. Aku sengaja memilih tidak izin untuk merawat Sindy guna menghindari berbagai macam tudingan dan fitnah teman-temannya.

Mereka menduga, akulah penyebab kegugurannya Sindy, dan setiap kali berpapasan denganku dia selalu membuang muka saat kebetulan kami bertemu.

Pikiranku kembali dirasuki dengan kacaunya perasaan yang luar biasa hingga terbawa di tempat kerja. Melamun dan tidak konsentrasi. Tapi untuk kali ini aku tidak mau lagi gagal dalam urusan bekerja. Biarlah hatiku hancur dengan ulah mereka. Tapi aku tidak mau menghancurkan diriku sendiri dengan kegagalan eksport yang bisa terulang.

"Ima, ada apa? Kenapa kamu sendirian saja? Apa ada masalah? Aku melihat akhir-akhir ini kamu seperti punya banyak masalah. Apa aku bisa membantumu, Ima? Cobalah kamu sedikit saja berbagi denganku, ceritakan masalahmu." ucap Heru saat semua karyawan ke luar untuk beristirahat. Sedangkan aku memilih diam di dalam. Aku hanya duduk termenung ketika Pak Heru mendekat.

"Tidak ada apa-apa kok, Pak" jawabku risih, takut kalau ada yang lain lihat dan salah faham..

"Kamu jangan bohong, Ima. Aku denger-denger menantu kamu keguguran. Apa benar itu?" tanya Pak Heru lagi.

"Iya, Pak. Itulah permasalahan sebenarnya. Tapi Maaf, Pak. Aku tidak bisa cerita sama Bapak, karena ini adalah masalah keluargaku." tolakku halus

" Naima, au tahu ini masalah keluargamu, tapi bukan kali ini saja kamu terlihat seperti ini dan bahkan ketika Sindy itu menjadi istri muda suamimu. Kamu bisa berbagi permasalahan denganku. Siapa tahu aku bisa membantumu. Bagaimana kalau besok kita keluar hanya sekedar untuk ngobrol saja. Bagaimana, kamu mau?" tanya Pak Heru dengan serius.

"Entahlah, aku bingung, Pak. Tapi ini memang keadaannya benar-benar berat. Di rumah seperti neraka, banyak jarum yang menghujam di dada." jawabku

" Untuk itulah, Ima. Tidak baik di pendam sendiri. Bagaimana kalau besok kita main ke taman? Kamu perlu refreshing biar pikiranmu tidak suntuk." Ucap Pak Heru.

Aku menatapnya, karena tidak mungkin menceritakan masalah keluarga dengan atasanku sendiri. Itu sangatlah tidak baik dalam privasi rumah tangga, dan terlebih aku takut akan menjadi Fitnah. Akan tetapi, sepertinya Pak Heru bisa membantu dan bisa kupercaya.

"Baiklah, Pak. Kalau hanya sekedar berbincang aku mau," jawabku tanpa pikir panjang. Tentu saja Pak Heru terlihat senang.

Setelah itu kami menentukan tempat untuk bertemu. Kebetulan besok hari Minggu. Aku bisa punya lebih banyak waktu.

"Baiklah, Ima. Besok aku tunggu di tempat kita janjian. Sekarang, ayo kita keluar cari makan." Ajaknya.

"Tidak, Pak. Aku hanya mau di sini." tolakku.

"Ya, sudah, kalau memang kamu tidak mau keluar tidak apa-apa. Tapi kamu harus makan. Apa perlu aku bawain ke sini, Ima? tanyanya penuh arti. Tapi membuat aku risih.

"Tidak, Pak Terima kasih." Tolakku geli.

Pak Heru pun ke luar meninggalkan aku sendiri dengan berbagai masalah, membuatku ingin terus berada di pabrik dan enggan pulang. karena kalau pulang pastilah akan bertemu dengan anak dan menantuku.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience