Ternyata Sindy Di Usir

Family Series 3263

Maima yang awalnya tenang. Tetapi ternyata itu adalah amarah yang sesungguhnya. Dia menonjok perut serta menampar pipiku. Lalu mengusirku tanpa ampun.

"Pergi kamu dari hadapanku, Bang! Aku sudah tidak mau melihatmu lagi. Tapi ingat! Kamu jangan bawa apapun dari rumahku. Cepat kamu pergi! Urusin tuh selingkuhan kamu!" usir Maima meluapkan amarahnya.

Aku yang mendengar uruisin selingkuhan agak sedikit senang, itu berarti kalau Sindy tidak di apa-apain. Maima melempar ransel butut milikku yang berisi pakaian dengan membantingnya.

Quinsya juga sangat marah, bahkan dia tidak menghiraukan maafku dan langsung pergi sambil menangis.

Aku meraih ransel. Terlihat ada beberapa tetangga yang melihat kearahku, aku juga melihat janda yang di belangkang rumahku sedang berdiri dan tersenyum mengejek.

Sepertinya dia melihat dan mendengar keributanku. tetapi dia memalingkan muka dan kembali melihat ke arahku. Kali ini dia tersenyum sambil menjulurkan lidah mengejek. Aku semakin teriris, bisa-bisanya dia mengejekku di saat situasiku terjepit.

'Oh, jandaku kenapa kamu tega?' lirihku membatin.

Aku pergi dengan langkah gontai bersama ransel butut di punggung. Perlu lima belas menit untuk bisa sampai ke jalan raya. Banyak orang yang memandang aneh dan tersenyum sinis saat aku berjalan dengan wajah menunduk.

"Hasan, luh kenapa, kok kaya orang linglung gitu?"

"Emangnya enak di usir istri?"

"Makanya kalau jadi suami jangan belagu, dapat istri yang baik dan cantik aja masih di selingkuhin."

Banyak lagi ucapan-ucapan mulut tetangga. Mereka sepertinya senang dengan penderitaanku yang sedang kebingungan. Motor tidak ada, uang pun nggak punya, dan aku malah di usir istri karena kelakuanku.

Dengan uang yang masih tersisa dua puluh ribu aku mencoba meminta tukang ojek untuk mengantar ke kontrakan Sindy.

"Pak, antarkan aku ke kampung Singajaya ya. Kalau langsung dari sini kira-kira ongkosnya berapa, Bang?" tanyaku.

"Lima belas ribu, Bang." jawab si bapak tukang ojek.

"Ya udah, antarkan aku langsung ya, Pak," titahku sambil naik ke atas motor dengan pikiran tidak karuan

Karena memikirkan keadaan Sindy. Satu jam di perjalanan akhirnya aku sudah sampai dan langsung turun dari motor.

"Pak, tunggu dulu sebentar ya," pintaku kepada pak ojek sambil berlalu menuju pintu rumah kontrakan. Aku mencoba mengetuk pintu dan memanggil Sindy

Tok tok tok.

"Neng, ini Abang pulang. Buka pintunya," panggilku, tetapi Sindy tidak keluar. Lalu kupanggil sampai berulang.

"Abang nyari istrinya, ya? tanya seorang ibu yang menghampiriku, dia adalah tetangga kontrakan.

"I-iya, Bu. Kira-kira Sindy ke mana ya, Bu? jawabku terbata.

"Oh, kayanya dia udah pergi, tadi di minta para ibu untuk pergi dari sini." Jawab si ibu, aku sedikit kaget.

"Emangnya Abang tidak tahu kalau tadi ada istri Abang ke sini? Terus menyiksa istri muda Abang. Kami juga para istri di sini merasa tidak nyaman. Kami memintanya pergi dari kampung sini, Bang. Tentunya atas persetujuan Pak RT." sambunnya.

"Lagian, Abang. Kenapa sich sampai menikah lagi segala?"

"Makanya, Bang. Jadi suami jangan banyak tingkah. Masih bagus tuch istri mudanya masih hidup."

"Kalau aku jadi istri mudanya mau di taruh di mana tuh mukaku? Videonya sampai viral gitu dan sudah di tonton sampai jutaan orang."

Seperti itulah mulut para tetangga kontrakan dan lainnya. Mereka seperti lalat yang datang menghampiri bau yang tiba-tiba berkerumun. Aku hanya diam miris, lalu membalikkan badan menuju kembali ke tukang ojek.

"Pak, tolong ya antrian ke kampung Kaum sekalian," pintaku tanpa permisi kepada orang-orang yang berkumpul. Mereka menatapku sinis dengan kata-kata terakhir.
"Uuuhhh." Mereka seperti sedang menyoraki aku.

Tukang ojek pun tidak banyak bicara dan aku tidak lagi menanyakan soal ongkos. Sudah tentu yang ku tuju rumah orang tua Sindy.

Aku yakin Sindy mau menerimaku, dan inilah keinginannya menjadi istri satu-satunya jika Maima tidak mau lagi menerimaku. Hati ini sedikit kembali senang dan bernyanyi riang.

Tidak lama kemudian aku sudah sampai di orang tua Sindy dengan menggunakan jasa ojek dengan kecepatan yang cukup lumayan kencang. Aku pun turun dari motornya.

"Jadi berapa ongkosnya, Pak? tanyaku

"Tiga puluh ribu, Bang," jawabnya.
Aku merogoh kantong celana dengan agak ragu, karena aku memang hanya punya uang dua puluh ribu.

"Duh, maaf, Pak. Aku hanya punya uang dua puluh ribu," jawabku sedikit garuk-garuk kepala.

"Kurang itu, Bang. Buat bensin saja gak cukup," keluhnya.

"Ya gimana, Pak. Beneran, aku hanya punya uang segini." jelaskku.

"Pinjam saja dulu, Pak." Titahnya.

"Duh, Pak. Tolongin aku ya. Aku lagi banyak masalah, gak mungkin aku pinjam dulu. Ya Pak. Tolong, Bapak terima uang dua puluh ribu ini," ucapku dengan memelas. Tukang ojek itu berpikir sejenak.

"Ya, sudahlah! Aku ambil uang ini. Lain kali kalau tidak punya uang jangan naik ojek, jalan kaki saja," rutuknya sambil meraih uang dua puluh ribu dari tanganku.

Aku hanya diam dengan hati yang mulai gelisah. Kuayunkan satu langkah kakiku hendak masuk ke dalam rumah Sindy. Aku tertegun sesaat sampai akhirnya benar-benar melangkahkan kaki ini.

"Assalamualaikum, Bu, Pak, Sindy," ku ucapkan salam dengan memanggil mereka. Tetapi tidak ada jawaban. Sekali lagi ku beranikan diri mengetuk pintu.

Aku kembali tertegun, kira-kira Sindy ke mana? Aku mulai gelisah di buatnya.

Aku pun membalikkan badan hendak pergi untuk bertanya kepada tetangga. Tetapi siapa juga? Ini sudah malam hampir jam setengah delapan. Aku juga belum makan, perutku sudah terasa lapar.

Tiba-tiba terdengar suara derit pintu yang terbuka, dan keluar Pak Miun juga Bu Oneng.

"Mau ngapain kamu ke sini, Hasan?" tanya Pak Miun penuh amarah

"Maaf, Pak. Apa Sindy nya ada?" tanyaku.

"Ada perlu apa kamu kamu nanyanin Sindy? Sindy sedang tidur. Dia tidak mau di ganggu. Sekarang kamu pergi sana!" usir Pak Miun.

"Pak, tolong izinkan aku ketemu Sindy," aku memelas.

"Tidak ada gunanya kamu ketemu Sindy, Hasan. Mending kamu pulang saja ke istrimu. Biarkan Sindy di sini. Pulang kamu sana! Kami tidak mau berurusan dengan kamu lagi." Usir Pak Miun. Tetapi aku bersikeras untuk di izinkan masuk bertemu Sindy.

Aku terperanjat saat melihat keadaan Sindy yang babak belur, hampir sekujur tubuhnya memar-memar, badannya yang kurus hanya di tutupi selimut.

Dug!!

Tiba-tiba sebuah pukulan mendarat di perutku saat kedua laki-laki itu menghampiriku.

"Kamu, apakan adikku, hah?!" tanya lelaki itu yang umurnya hampir dua puluh lima tahun. Kedua lelaki itu adalah kakaknya Sindy.

"Laki-laki kurang ajar, kamu gak pantes jadi suami adikku," sebuah tamparan mendarat di pipi kananku. Kali ini dari kakak pertama Sindy Aku meringis menahan sakit dan jatuh terduduk.

"Maafkan aku, Bang, Pak, Bu, juga Sindy. Maafkan aku," rengekku memelas. Dan kembali kakak pertama Sindy mau memukulku, tetapi Pak Miun mencegahnya.

Aku menghampiri Sindy yang ditemani kakak-kakak ipar perempuannya, lalu berusaha menyentuh tangan Sindy, tetapi dia menepisnya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience