Melabrak Pelakor

Family Series 3263

"Bang, jangan lupa hari Minggu bantuin keluarga Bi Ijah bongkar rumah." pesanku kepada Bang Hasan-suamiku saat dia mau pergi.

Lelaki berkulit gelap yang banyak di bilang teman-temanku mirip orang India. Usianya 38 tahun yang tidak ganteng juga tidak terlalu jelek itu mengurungkan langkahnya saat mau pergi dan memilih duduk di sampingku.

Bang Hasan adalah kepala rumah tangga yang biasa saja. Aku Maima 36 tahun, ibu rumah tangga yang bekerja di sebuah pabrik garmen.

Kami sudah menikah selama tujuh belas dan mempunyai dua orang anak. Yang pertama anak laki-laki kuberi nama Ardan Syakir 16 tahun, dan anak perempuan bernama Quinsya Syabil berusia14 tahun.

"Iya, memangnya kenapa di bongkar, Ma?" jawab Bang Hasan.

"Itu 'kan rumah panggung. Katanya sich mau di bangun pakai batu bata. Abang tidak ada kerjaan 'kan?" tanyaku lagi.

"Nanti di usahakan, Ma. Mudah-mudahan tidak ada." jawabnya tanpa merasa curiga kalau aku sudah merencanakan sesuatu.

"Ya, tolonglah, Bang. Tidak enak kalau Abang sampai tidak bantuin, bongkar rumah panggung tuh butuh banyak orang." sahutku .

"Iya, nanti Abang datang," jawabnya sambil nenyeruput kopi yang mulai dingin.

"Aku berangkat dulu, Bang," izinku untuk berangkat kerja lalu mencium tangannya.

Dalam hati, ingin rasanya aku mencakar-cakar wajahnya kalau sudah teringat penghianatannya. Hampir seminggu ini aku menahan emosi sambil terus berpura-pura baik dan manis sebelum rencaku berhasil. Mungkin aku harus melakukannya selama Itu.

"Iya, Mama hati-hati ya." pesannya, aku hanya mengangguk sambil mensetater sepeda motor dengan hati dongkol, kemudian melaju tanpa menoleh lagi.

***
Hari Minggu pun telah tiba. Baru jam delapan Bang Hasan sudah bersiap untuk pergi ke rumah Bi Ijah, yang jaraknya cukup jauh, tetapi tidak denganku. Aku sudah bilang sama BI Ijah kalau hari itu tidak bisa membantunya setelah kukirim makanan dan minuman untuk orang-orang yang membantunya.

"Mama cantik sekali, mau kemana, Ma? Apa mau ikut sama Abang ke rumah Bi Ijah?" tanya Bang Hasan seperti terpesona melihat penampilanku yang tidak seperti biasanya. ' dasar buaya buntung' gumamku.

"Iya, Abang duluan saja, nanti aku nyusul kalau sudah pulang dari pasar 'kan Quin mau beli tivi jawabku.

"Bawa motor, Ma?" tanya Bang Farouk seperti merasa ketakutan motornya aku bawa.

"Iyalah, masa bawa Abang, ribet, ah." jawabku sambil sedikit bercanda.

"Memangnya Mama sudah gak mau bawa Abang lagi? Eh, tapi Mama gak bawa motor Abang 'kan? " tanyanya lagi, benar dugaanku kalau dia takut aku bawa motornya.

"Motorku, Bang! Bukan motor Abang. Kan aku yang setornya juga," jawabku kesal.

Bukan gitu, Ma. Masalahnya itu motor kotor banget takut Mama malu bawanya." Bang Hasan mengelak.

Selama punya motor baru tidak pernah sekalipun aku memakainya. Bang Hasan selalu melarang, alasannya takut jatuhlah, rusaklah, tidak bisa merawatnya. Kalau sudah begitu aku hanya bisa menarik napas.

"Ya, sudah! Abang bawa saja motornya," jawabku yang sudah menahan kesal.

Akhirnya Bang Hasan pergi, setelah tidak terlihat lagi, akupun bersiap dengan jaket dan helm.

"Quin, apa kamu sudah siap, Nak? Ayok kita pergi" ajakku kepada Quinsya.

"Iya, Ma. Ini aku udah siap," jawab anak gadisku yang baru ke luar.

"Memangnya kita mau ke mana sich, Ma?" tanyanya heran.

"Sudah. Kamu ikutin saja Mama," jawabku.

Aku menghidupkan motor dan melaju dengan membonceng Quinsya agak sedikit kencang.

"Mama, jangan kencang-kencang bawa motornya," protes anakku.

"Biar cepat sampai, udah kamu tenang saja. Diam, jangan banyak bicara lagi," protesku. Quinsya diam yang berada di belakang, dia tidak tahu apa yang akan aku lakukan?

Aku yang terus di landa amarah, ingin segera sampai ketempat tujuan. Tidak sampai satu jam akhirnya aku berada di tempat yang kumaksud dan berhenti di sebuah warung untuk menitipkan motor.

"Ma, kita ngapain ke sini? Ini tempat siapa?" tanya Quinsya heran, maklum dia baru pertama kali datang.

"Sudah Quin, kamu jangan banyak tanya lagi, jangan di lepas tuh helm sama maskernya," timpaku sambil memarkirkan motor tepat di halaman warung yang cukup luas, setelah itu menghampiri seorang wanita.

"Maaf, Bu. Aku mau tanya, rumah yang di belakang warung ini, apa itu kontrakan ya?" tanyaku kepada ibu pemilik warung.

"Iya Mbak, itu rumah kontrakan. Bukanya Mbak yang seminggu lalu datang ke sini sama anak cowok malam-malam itu, ya?" jawabnya, ternyata si pemilik warung itu masih mengingatku waktu seminggu yang lalu aku mampir ke warungnya.

"Iya, Bu. Aku kemaren lagi nungguin saudara, katanya ngontrak di sini tapi ternyata tidak ada. Oh, iya, Bu. Apa Ibu tau kalau masih ada kontrakan yang kosong," tanyaku mencari alasan.

"Maaf, Mbak. Sepertinya sudah penuh. Mbak mau ngontrak juga?" tanyanya lagi.

"Kalau ada yang kosong. Itu yang ujung sebelah sini juga sudah ada yang ngisi ya, Bu?" tanyaku sambil menunjuk ke arah kontrakan yang paling ujung .

"Mama ngapain sich, tanya-tanya kontrakan segala? Memangnya siapa yang mau ngontrak?" tanya Quinsya.

Aku tidak menjawab, melainkan mencubit paha kirinya sebagai isyarat kalau dia jangan bicara apa-apa. Quinsya pun terdiam.

"Iya, Mbak, itu baru beberapa hari, hampir dua mingguan ngontraknya, sepertinya mereka tuh pengantin baru, soalnya mesra ... banget. Padahal lakinya udah dewasa, ceweknya masih muda." tutur si ibu pemilik warung, dadaku terasa sesak, napas sudah mulai tidak beraturan tetapi berusaha tenang.

"Oh, terus kenapa sekarang kontrakannya terlihat sepi, Bu?" tanyaku lagi dengan hati penasaran.

"Kalau hari Minggu biasanya bangunnya udah siang, Mbak. Keluar kalau mau makan saja, suaminya datang paling sebentar doang, kalau habis jemput aja. Tapi setelah itu pergi lagi, sepertinya itu istri muda, Mbak." adunya si ibu.

Mendengar keterangan dari si pemilik warung emosiku semakin menumpuk, dada terasa sesak dan amarah yang cukup lama aku simpan. 'tidak salah lagi, dasar pelakor!' umpatku geram.

"Ya sudah, Bu. Aku mau tanya-tanya dulu sama orang yang ada di belakang kontrakan ini, siapa tau ada yang masih kosong. Terima kasih ya, Bu." ucapku sudah tidak sabar ingin mendatangi rumah kontrakan yang berada paling ujung kiri itu.

"Iya, Mbak, sama-sama." jawabnya.

Aku melangkah mengajak Quinsya yang merasa heran dengan pembicaraan kami barusan. Aku tidak jadi menitipkan motor tetapi membawanya, lalu berhenti di depan kontrakan yang di ceritakan pemilik warung tadi.

Aku dan Quinsya turun, lalu berjalan menghampiri pintu rumah kontrakan yang kumaksud dan mengetuk pintu. Cukup lama kami berdua menunggu si pemilik kontrakan keluar.Tidak lama kemudian ada suara yang membuka pintu.

"Tt-teh Maima, Quinsya. Mm-ma-af kenapa kalian datang kesini? Mau cari siapa ya?" tanya Sindy-istri muda Bang Hasan yang baru keluar dengan wajah terkejutnya. Dia mundur hendak menutup pintu. Tetapi aku mendorongnya.

Tanpa menjawab aku langsung merangsek masuk, kudorong tubuh kecil dan kurus itu, tidak membuang kesempatan kutarik rambut panjangnya, dia mengaduh, tanpa ampun lagi aku menampar pipi kanannya, amarah yang lama kutahan kini membuncah bagai lahar api,

"Ampun! Teh. Ampun. Ini ada apa sebenarnya? Kenapa Teteh datang-datang menamparku? Apa salahku?" teriaknya berusaha melepaskan tanganku yang mencengkram tubuhnya.

"Masih tanya kamu salah apa? Heh! Pelakor, sudah berapa lama kamu jadi simpanan suamiku, hah?! Apa kamu sudah tidak laku? Apa kamu tidak mikir sudah merebut suamiku? Berarti, waktu kamu datang ke rumahku untuk melihat Bang Hasan yang sedang sakit, kamu membawa banyak buah-buahan. Itu sebenarnya kamu sedang menengok suamimu, bukan melihat tukang ojek langganan kamu?! Nyesel aka sudah makan buah-buahan pemberian dari kamu! Ternyata benar kata orang-orang kalau kalian itu sudah menikah. Kamu itu pelakor. Dasar kurang ajar!!"

semoga suka dengan cerita ini

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience