Minta Motor Baru

Family Series 3263

Aku terus menarik rambut Sindy, pelakor yang sudah berani merebut suamiku. Kali ini amarahku sudah tidak bisa di bendung lagi, dan kembali menampar serta menjambak rambutnya karena belum puas.

Perempuan dengan perawakan kurus itu kewalahan menghadapai sikap beringasku yang dari postur tubuh jauh berbeda. Aku yang berperawakan tinggi dan berisi dengan mudah menyiksanya. Quinsya hanya melongo keheranan.

Saat aku mau menarik rambutnya kembali, tiba-tiba suara Quinsya yang dari tadi hanya terheran-heran menghentikan aksiku.

"Ma.Tunggau dech. Bukannya itu televisi kita, ya?" suara nyaringnya membuatku menoleh, lalu menatap ke arah di mana ada televisi yang terpajang, kemudian aku menelisik.

"Oh, iya. Benar Quin, itu televisi kita yang hilang." jawabku sambil mengamati televisi yang terpajang di rak TV.

"Oh, jadi ternyata kamu pencurinya? Kamu bukan hanya mencuri suamiku, tapi juga telah mencuri televisikiu. Memangnya kamu benar-benar miskin ya, sampai-sampai televisi aku luh curi? Dasar pelakor maruk! Ternyata kamu Itu hanya kecil badannya saja, ya. Tapi otak kamu tuh udah gila. Luh, kalau mau punya tv, ya beli dong! Jangan tv aku Luh bawa!" bentakku kembali terpancing amarah.

"Bukan aku, Teh, tapi Bang Hasan yang bawa ke sini. Tolong, lepaskan aku Teh. Auw, sakittt," kilahnya membela diri sambil teriak.

"Ya, itu pasti suruhan Luh, iya 'kan? Jawab lacur." bentakku lagi.

"Quin, cepat! Kamu ambil tv-nya," perintahku sambil terus menjambak rambut Sindy.

Quinsya dengan capat mengambil televisi yang terpajang di rak. Sementara itu aku menarik Sindy ke luar.

Badannya yang kurus dan pendek membuat dia tidak berdaya untuk melepaskan diri.Tiba-tiba orang-orang berdatangan.

"Ada apa ini Bu ribut dengan Sindy? Ibu ini siapa, kenapa menyiksanya? Kasihan dia Bu sampai berdarah begitu," tanya seorang tetangga kontrakan Sindy yang tidak tahu akar persoalannya.

"Ibu-ibu, mau tahu dia ini siapa? Perlu kalian tahu, kalau dia ini pelakor? Dia sudah mengambil suamiku, bukan hanya itu saja, perempuan ini juga telah mencuri televisiku, dia memanfaatkan suamiku. Kelihatannya saja lugu, tapi betapa pintarnya dia." tuturku berang yang masih dengan penuh amarah.

Semua yang hadir menggeleng, terlebih ibu-ibu. Mereka saling bertatapan satu sama lain seolah tidak percaya dan berdecih.

"Enggak sangka ya, kecil-kecil jadi pelakor. Harus hati-hati nich kita ibu- ibu."

"Kasihan ya hidupnya, jadi pelakor, cuih!"

"Jangan sampai suami kita yang di rebutnya."

"Iya, ibu-ibu.Yuk, ah kita pulang."

Riuh suara ibu-ibu yang hadir dengan mengeluarkan macam-macam umpatan sebagai ungkapan kekesalannya, lalu satu persatu mereka meninggalkan Sindy. Tidak ada seorangpun yang menolongnya. Aku melihat dia seperti tidak berdaya, ia terkulai lemas.

"Ma, Sudah. Ayok kita pulang, gak malu apa di tonton orang?" ajak Quinsya.

Aku menghentakkan tubuh Sindy dan sekali lagi kuinjak kakinya. Setelah puas menyiksanya aku pun pulang dengan membonceng Quinsya. Aku benar-benar marah.

Kemarahanku ini berawal dari tiga bulan yang lalu ketika Bang Hasan meminta motor baru untuk ngojek.

***
"Ma, jadi kan kita kredit motor? tanya Bang Hasan sambil berleha manja di pangkuanku ketika santai di rumah.

"Kredit motor buat apa, Bang?"aku balik bertanya.

"Ya buat kerjalah, Ma, kok buat apa?" sahutnya tak kalah santai dariku.

"Kenapa harus kredit? Motor yang ada juga itu masih bagus kalau cuma buat ngojek di pangkalan," jelasku sambil memainkan ponsel.

"Abang mau yang matic, Ma. Cuma Abang aja ngojek pakai motor gigi, enggak usah yang mahal setorannya. Kita ambil setoran yang tujuh ratus ribu saja sebulan." rengeknya.

"Ya, baguslah motor gigi, nanti kalau gigi Abang lepas 'kan tinggal ganti aja pake gigi motor Abang," candaku sambil menahan senyum.

"Ih, Mama ini apa-apaan sich. Emangnya mau gigi Abang lepas terus ompong? Nanti Mama gak suka lihat Abang gak ada giginya." Balasnya.

"Lagian Abang. Sok-sokan mau ganti motor. Emangnya bisa buat setorannya? Itu aja motor yang aku beli masih belum lunas uang yang kita pinjam dari Ibuku." Jelasku.

"Kan, kalau sama orang tua bisa kapan saja, Ma, " jawabnya enteng.

"Ya, tetap saja, Bang. Kalau namanya utang tuh harus tetap di bayar," ungkapku. Bang Hasan pun diam, tetapi bukan berarti dia akan berhenti meminta.

Profesinya sebagai tukang ojek pangkalan tidaklah terlalu menjamin kebutuhan keluarga kami. Maka untuk memenuhi semua kebutuhan keluarga aku pun masih tetap bekerja di sebuah perusahaan pabrik Garmen di kawasan Bogor. Itu sebelum kenal Bang Hasan, dengan upah tiga juta lima ratus sebulan.

Bukan aku tidak bersyukur dan tidak menghargai penghasilan suamiku, kalau rame bisa mendapatkan uang lima puluh ribu sehari bahkan lebih. Tetapi kalau sepi malah tidak tidak dapat sama sekali, cuma gayanya saja selangit.

Sudah cukup lama Bang Hasan memintaku untuk kredit motor baru, alasannya hanya ingin ganti motor matic. Padahal motor yang kubeli tiga tahun lalu masih bagus walaupun hanya motor gigi. Itupun kekurangannya aku pinjam sama orang tuaku.

"Ya, Ma. bisa ya kita kredit," rengeknya lagi.

"Nanti gimana bayar cicilannya, Bang? Keperluan kita banyak, anak kita sebentar lagi mau kuliah, yang kedua mau masuk SMA, apa tidak nanti saja?" jawabku.

"Kan, gaji Mama cukup besar di banding penghasilan Abang, bisalah cuma setor tujuh ratus ribu." rayunya.

"Maksud Bang Hasan, aku yang bayarin, gitu?! Enak banget. Enggak! Aku enggak mau," ketusku sambil beranjak dari tempat duduk.

"Bukan gitu, Ma. Ya nanti kalau buat setor Abang juga akan usahakan, Mama cuma ngadain buat uang muka saja," rayunya lagi membuat aku berpikir untuk sejenak.

"Bener nich Abang yang mau setorannya? Nanti ujung-ujungnya aku juga yang pusing." ujarku kembali duduk.

"Benarlah, Ma. Masa Abang bohong." jawabnya meyakinkan.

"Bukan gitu, Bang! Kita 'kan harus kirim uang ke Ibu, buat sekolah Ardan." jawabku berusaha memberinya pengertian,.

Semenjak lulus SD, Ardan di minta Ibu mertuaku untuk tinggal bersamanya di Cianjur dengan alasan tidak ada yang menemani, karena Bang Hasan anak satu-satunya,

Semenjak menikah, Bang Hasan tinggal di rumahku pemberian orang tuaku, dan mereka sendiri ikut tinggal bersama anak bungsunya yang jaraknya cukup jauh dari rumahnya yang sekarang kutempati.

"Ya sudah, terserah. Atur saja sama Abang, aku cuma nyiapin uang muka saja." ucapku, akhirnya aku menyerah setiap kali Bang Hasan menginginkan sesuatu.

"Nah, gitu dong, Ma. makasih ya." ucapnya sambil melempar senyum.

Aku bangkit dari tempat duduk kemudian masuk ke dalam kamar, tidak lama aku pun keluar dengan memegang sesuatu.

"Nih, Bang, dua juta buat uang mukanya." ucapku memberikan uang dua juta. Bang Hasan mengambilnya, dia tidak berhenti terus tersenyum senang.

"Makasih ya, Ma," ucapnya semringah.

"Pokonya aku tidak mau tahu ya. Abang atur saja, tapi awas kalau Abang sampai macam-macam." ancamku.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience