Cemas

Family Series 3266

"Aku hanya manusia biasa, Bang. Mungkin bagi Abang begitu mudah untuk melupakannya karena kamu adalah pelakunya, tapi bagi aku yang pernah tersakiti itu tidak mudah." sambugku. Bang Hasan menghela napas.

"Terus, apa yang kita harus lakukan, apa selamanya kita akan seperti ini?" Bang Hasan kembali bertanya.

"Sudah aku bilang, aku hanya mau kita bercerai. Kita pisah, Bang!" aku menyeru dengan ketinggian nada yang mulai naik.

"Tidak, Ma. Abang tidak akan menceraikanmu. Abang sangat mencintaimu sampai kapanpun tidak akan pernah kita berpisah." balasnya.

"Terserah, Abang. Pokoknya aku minta cerai." ucapku sekali lagi.

Bang Hasan mendekat, lalu ia maraih tanganku, dengan cepat aku menepisnya. Dia semakin kasar menarik serta memelukku begitu erat.

"Lepasakan, Bang. Aku tidak mau lagi kamu sentuh, dan satu lagi, kalau memang Abang benar sayang, tidak mungkin kamu dulu selalu mengkhianatiku." bentakku mulai kesal.

Aku berusaha melepaskan pelukannya dan menpisnya kuat. Bang Hasan tidak terima, diapun semakin nekat.

"Lepaskan, Bang. Lepaskan!" teriakku. Bang Hasan semakin kuat menarikku, akupun kembali berteriak.
Tiba-tiba aku terbangun lalu kuusap kasar wajahku. Kulihat jam dinding yang menempel, pukul dua dini hari. Aku memilih bangun, duduk di tepi ranjang, memikirkan barusan yang terjadi. Ternyata itu hanya mimpi.

Kemudian aku bangkit dan pergi ke kamar mandi yang bersebelahan dengan dapur, mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat malam, dan aku harus melewati kamar Bang Hasan.

Saat melewati kamarnya aku tidak mendengar apapun. Mungkin dia sudah terlelap tidur. Akupun melanjutkannya, setelah selesai dan pergi ke kamar untuk melaksanakan salat, betapa kagetnya saat melihat sosok Bang Hasan sudah ada di tempat tidurku. Kemudian dia mengunci pintu kamar dan langsung memeluk. Dia tidak menungguku untuk melaksanakan salat malam.

"Bang Hasan, mau ngapain kamu masuk-masuk ke kamarku? Apa kamu sudah lupa kamar kamu di mana?" tanyaku.

"Jangan berisik, Ma. Nanti anak-anak bangun. Abang mau tidur di sini. Tadi Abang dengar suara langkah Mama ke kamar mandi. Ya udah, Abang masuk saja ke sini." jawabnya enteng.

"Lepaskan, Bang. Aku tidak mau kamu peluk apa lagi tidur sama kamu." jawabku sambil berontak, tetapi Bang Hasan semakin nekat.

“Abang benar-benar minta maaf, Ma. Abang kangen banget." balasnya.

“Sudah, tak perlu diteruskan lagi, aku bosan dengarnya, Bang."

Aku mencoba melepaskan pelukannya yang semakin kuat, perasaanku campur aduk, aku benar-benar lemah saat ini.

***
Malampun terlewati pagi. Semua kembali dengan aktivitasnya masing-masing. Keesokan paginya Ardan pergi melamar kerja dan Bang Hasan masih dengan pengnggurannya.

"Ardan, kamu beneran mau melamar kerja?" tanyaku saat anak sulungku sudah berpakaian rapi.

"Iya, Ma. Doain ya, biar segera dapat kerjaan dan berhasil." jawab anakku.

"Aamiin, kamu hati-hati, ya. Soalnya kamu kan baru di sini, jadi belum tahu ke mana-mana. Ini kunci motor, sebaiknya kamu bawa saja." titahku.

"Tapi, Ma, kan aku belum kerja nanti sajalah bawa motornya." jawabnya.

"Tidak apa-apa. Biar nanti kalau mau pulang jam berapa. Tapi ingat jangan pergi ke mana-mana dan ini uang untuk kamu beli makan juga bensin." perintahku sambil menyodorkan selembar uang lima puluh ribuan. Ardan mengucapkan terima kasih.

Quinsya, kamu mau ikut sama Aa kamu apa sama Mama, biar sekalian jalan sampai depan." tanyaku kepada Qyinsya yang baru saja keluar.

"Sama Mama saja," jawabnya.

"Ya, sudah cepat." perintahku.

"Ma, apa boleh Abang pinjam motornya?" tanya Bang Hasan saat aku mau berangkat tiba-riba dia menghampiri.

"Pinjem gimana? Abang kan tahu aku mau kerja." jawabku ketus.

"Iyu, tuh Bapak, biasanya juga di rumah ga bawa motor.' jawab Quinsya.

"Abang mau ke rumah teman, mau nanyain pekerjaan kali aja ada, Abang bosan di rumah terus." Jawab Bang Hasan.

"Sejak kapan Abang mau nyari kerja? Temen mana lagi yang mau pintain bantuannya? Udah, ah. Abang di rumah saja, aku berangkat dulu nanti kesiangan lagi. Abang di rumah, urusin tuh semua pekerjaan." jawabku sambil menghidupkan motor, dan membonceng Quinsya. Bang Hasan menatap kepergian kami tanpa berkata apa-apa lagi.

***

Setelah usaha dan bekerja keras, akhirnya Ardan di terima bekerja di Alfamart sebagai kasir. Entah sesuai atau tidak dengan keinginannya. Memang tidak mudah, perlu kesabaran untuk mendapatkan pekerjaan, Aku melihat Ardan pun sangat menikmati pekerjaannya.

Sedangkan aku harus selalu pulang malam disebabkan lembur, sehingga terkadang tidak tahu apa Ardan sudah pulang atau belum? Karena setiap aku pulang jam sebelas malam keadaan rumah sudah sepi dan kamar mereka sudah tertutup rapat.

Tidak biasanya, malam itu aku melihat Bang Hasan sedang asyik santai duduk dengan segelas kopi di depan TV. Akupun masuk tanpa permisi, sikapku yang selalu cuek dan jutek membuat Bang Hasan sedikit melirik.

" Mama udah pulang?" tanya Quinsya dari arah belakang, rupanya dia juga belum tidur.

"Iya," jawabku singkat sambil membantingkan pantat di sofa.

"Mama pasti capek. Sebentar ya, aku ambilin minum." ucap Quinsya.

"Yang namanya kerja semua capek, Quinsya. Yang nggak capek itu duduk sambil ngopi di depan TV." jawabku sambil melirik Bang Hasan yang sedang menyeruput kopinya, lalu ia melirik ke arahku seperti tidak enak hati.

"Mama apa-apaan, sich? Iya nanti aku pijitin deh. Sekarang Mama mandi dulu, istirahat. Aku siapin makan buat Mama, ya." jawab Quinsya seperti mengerti dengan ucapanku.

"Tidak usah. Mama bisa sendiri kok, tuh layanin aja yang sedang asyik ngopi." jawabku kembali menyindir Bang Hasan. Nggak tahu kenapa kalau tidak menyindir rasanya aku belum merasa senang.

"Ya, terus, Mama maunya apa? " jawab Quinsya kembali bertanya.

"Hanya mau istirahat, sudah malam, Kamu tidur saja, Quin. Oh, iya. Apa Aa kamu sudah pulang?" tanyaku karena melihat Ardan tidak ada di rumah.

"Belum, Ma. Sepertinya Aa lembur lagi. Oh, iya. Lupa, tadi dia itu sip dua mungkin pulangnya sebentar lagi" jawab Quinsya.

"Haduh ... Sampai kapan ya, anak sama istri yang terus-terusan bekerja banting tulang? Sedangkan yang kepala rumah tangga lelaki kuat hanya duduk manis sambil ngopi, " jawabku kembali menyindir.

"Sudah, Quin. Kamu tidur saja, biar Bapak yang nungguin Aa kamu." sahut bang Hasan seperti merasa tidak enak hati.

Aku pergi untuk membersihkan diri, sebelum istirahat dan merebahkan tubuh di kasur. Setelah beberapa lama beristirahat akhirnya aku tertidur sampai lupa kalau Ardan belum pulang dan aku terbangun saat jam satu. malam dini hari.

Aku melihat Bang Hasan tertidur di sofa, padahal biasanya dia tidur di kamar belakang yang dekat dapur. Sepertinya dia sedang menunggu kedatangan Ardan yang sampai malam belum pulang. Cuaca memang sedang hujan, tapi tidak biasanya Ardan belum pulang. Aku mulai gelisah lalu berusaha menghubungi nomornya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience