Memilih Pergi

Family Series 3263

"Ini ada apa lagi sich? Setiap hari Mama dan Ardan selalu bertengkar? Kenapa di rumah ini tidak pernah ada kedamaian? Sebenarnya apa mau kalian?!" tanya Quinsya menyeru.

"Tanya saja sama Mama. Selama ini Mama telah menganggap Sindy itu penipu dengan mengatakan kalau Sinukan itu saja, Mama juga kalau di sana tidak ada yang namanya Bidan Emma. Padahal sudah jelas-jelas Bidan Emma itu sudah lama praktek di sana." sahut Ardan geram.

"Mama mertua, sekarang lihat. Puas kan sudah memfitnahku yang bilang telah membohongi Ardan tentang kehamilanku." sanggah Sindy. "Sekarang aku sudah tidak kuat lagi untuk tinggal di sini kalau selalu menjadi bahan fitnahan, dan tidak pernah di inginkan oleh kelurga ini. Kenapa orang-orang di rumah ini tidak pernah menyukaiku, terlebih Mamamu?" sahut Sindy masih dengan terisak sambil menatap Ardan.

"Apa benar itu, Ma? Jadi Mama menuduh Sindy pura-pura hamil? tanya Bang Hasan yang ikut-ikutan tidak percaya dengan ucapanku. Aku diam karena bingung harus bilang apa dengan segala dugaanku.

"Mama, mau sampai kapan akan bersikap seperti ini terus sama Sindy? Dia memang masa lalu Abang. Tapi sekarang dia adalah menantu kita. Jadi, suka atau pun tidak suka, Mama harus menerima Sindy sebagai menantu. Dan tolong, jangan beranggapan buruk terus." Bela Bang Hasan. Terdengar suaranya membuat aku benar-benar harus menahan marah dan sakit atas pembelaannya.

"Tuch, Ma, dengar kata Bapak. Maaf, kali ini aku tidak bisa toleransi lagi. Ini demi keutuhan rumah tanggaku dan kebaikan kita semua. Aku harap Mama bersedia untuk pergi dari rumah ini." ucap Ardan membuat aku terperanjat di buatnya.

Bukan hanya pembelaan Bang Hasan yang menyakitkanku. Tapi juga Ardan. Ini untuk kedua kalinya dia memintaku pergi. Nyeri rasanya hati ini.

"Aa, gak bisa seenaknya gitu dong sama Mama. Ini rumah Mama. Apa pantas Aa mengusirnya seperti ini? Mungkin Mama memang salah. Tapi apa tidak ada cara lain untuk menyelesaikan masalah ini selain menyuruh Mama pergi?" Bela Quinsya.

"Maaf, Quinsya. Ini demi kebaikan kelurga kita." kilah Ardan.

"Kebaikan apa, A? Aa mau jadi anak durhaka sama orang tua? " Quinsya tidak kalah emosi.

"Sudah, Quin, kamu jangan menambah keributan." hardik Bang Hasan. Dia kembali membela Ardan. Sindy tersenyum sinis, dia semakin besar kepala. Ia sengaja ingin mempermainkan aku di depan Bang Hasan.

Satu persatu tetangga yang mendengar keributan kami mulai ke luar dari balik rumahnya dan melihat ke arah rumahku. Ada juga yang datang langsung.

Keributan semakin menjadi karena hasutan Sindy yang terus dengan actingnya. Begitu pandai ia mempengaruhi pikiran Ardan dan Bang Hasan.

"Ardan, kamu sebagai anak sudah sangat keterlaluan. Kamu perlakukan Mamamu seperti itu?"

"Sadar, Ardan. Dia itu Mamamu, jangan sampai kamu jadi anak durhaka."

"Hati-hati, Ardan. Kalau kamu sakiti Mamamu, nanti kamu akan dapat balasannya. Lagi pula, Mamamu melakukan itu mungkin demi kebaikanmu juga." ucap para tetangga yang menyaksikan keributan kami. Maklum, rumah kami saling berdekatan. Apapun yang terjadi akan selalu terdengar.

"Kalian itu hanya orang-orang yang suka ingin tahu dan ikut campur dengan urusan orang lain. Mending sekarang kalian bubar. Bubar ...!" seru Ardan sambil menggerakkan tangan ke atas.

"Huu ... di kasih tahu malah marah." balas tetanggaku hingga kembali menyulut emosi Ardan.

Aku masuk ke kamar dengan mulut tertutup tangan untuk menahan air mata, tidak ingin menangis lagi. Karena sudah banyak air mata yang ke luar. Anak sulungku, juga suami tidak lagi peduli dengan perasaanku. Aku duduk terdiam di kamar.

"Sudah, Yang. Aku tidak sanggup lagi hidup begini. Selalu di curigai dan jadi bahan fitnah Mamamu. Aku juga tidak mau terus di gunjing tetangga." Ucap Sindy.

"Terus, maunya gimana, Yang?" balas Ardan.

"Aku mau Mamamu pergi dari rumah ini. Atau aku yang pergi." timpal Sindy memberi pilihan kepada Ardan.

Aku mendengar Ardan dan Sindy masih bersitegang. Dadaku terasa bergemuruh. Tetapi tidak ingin ke luar untuk melihat mereka.

"Sayang, kamu mau ke mana?" terdengar Ardan bertanya.

"Aku mau pergi. Sekarang tinggal kamu pilih. Mamamu atau aku!" tegas Sindy.

"Tentu saja aku memilih kamu, Sayang. Iya, aku akan meminta Mama untuk segera pergi dari rumah ini." Aku mendengar jawaban Ardan yang semakin menohok ulu hatiku.

"Baguslah. Kalau begitu, suruh Mamamu cepat pergi dari rumah ini." tekan Sindy. Aku yang tidak tahan dengan perkataan Sindy memilih ke luar dari kamar.

"Kamu tidak usah repot-repot memintaku pergi dari rumah ini. Tanpa kalian pintapun aku akan pergi." timpalku. Ardan, Sindy dan juga Bang Hasan menoleh ke arahku.

"Oh, Bagus dong. Kenapa baru mau pergi sekarang? Kenapa gak kemarin-kemarin aja Mama mertua pergi?"sahut Sindy yang semakin kurang ajar dan membuat dadaku panas. Bang Hasan dan Ardan hanya diam melihat kelakuan wanita yang tak punya adab itu.

"Kamu makin ke sini semakin kurang ajar. Dasar perempuan tidak tau diri." makiku hendak menampar wajah Sindy kerena terpancing emosi. Namun tangan Ardan dengan reflek menepis tanganku.

"Sudah, Ma! Jangan coba sakitin Sindy lagi." Ardan menghardik dengan menghentakkan tanganku. Sakit, itulah yang aku rasakan, apa lagi melihat Bang Hasan hanya mematung tanpa membelaku.

Aku kembali masuk ke kemar, segera ku ambil beberapa setel baju dan memasukannya ke dalam koper. Sebisa mungkin aku tidak menangis walaupun teramat sakit.

Tapi sebelum pergi aku harus membawa sesuatu yang paling berharga. Menyibak semua baju di lemari, tetapi tidak aku temukan. Entah di mana? Mungkin aku lupa menyimpannya. Tapi biarlah, toh nanti kalau suasananya sudah tenang aku bisa kembali dan mencarinya lagi. Aku ke luar dengan membawa tas cukup besar.

"Ma. Mama mau ke mana? Tolong, jangan pergi dari rumah ini, Ma." cegah Quinsya mencoba menahanku. Ardan berkacak pinggang sambil membelakangiku. Sindy tersenyum puas. Bang Hasan tertunduk.

"Quinsya, biarkan Mama pergi. Jangan pernah menahannya. Aamu sudah tidak menginginkan Mama lagi." jawabku.

"Baik. Kalau Mama pergi dari sini, aku juga akan pergi. Aku mau ikut Mama." ucap Quinsya.

"Oh, bagus kalau begitu. Biar di rumah tidak ada lagi orang yang selalu mencari masalah." sahut Sindy dengan begitu angkuhnya. Dia merasa menang.

"Teh Sindy, jangan kurang ajar ya." timpal Quinsya emosi.

"Sudah, Quinsya. Tidak usah kamu ladeni mereka. Sepertinya hati mereka memang sudah di rasuki roh jahat!" timpalku.

"Baiklah, Ardan. Aku akan pergi dari rumah ini. Semoga kamu segera sadar dengan wanita ular ini, seperti apa istri yang kamu nikahi. Mudah-mudahan kamu tidak akan menyesalinya. Dan kamu! Jangan pernah mencariku." cercaku. Ardan tidak menyahut. Aku segera bergegas pergi.

Melangkah dengan segala luka. Entah harus ke mana kubawa sakit hatiku? Rumah yang dulu di bangun dengan susah payah kini hanya meninggalkan sejuta luka.

Sebelum pergi, kutatap rumah itu. Terlihat sosok orang-orang yang sudah membuatku sakit hati. Aku pergi bersama Quinsya dengan menggunakan sepeda motor, melsju menuju rumah Bi Ijah dengan perasaan hancur.

"Jadi, sekarang kita ke rumah Bibi saja, Ma? " tanya Quinsya.

"Iya, Quin. Untuk sementara kita tinggal di rumah Bibi dulu." jawabku yang menahan perihnya hati.

"Kenapa kita gak ke rumah nenek saja, Ma?" tanya Quinsya.

"Quin, rumah nenek tuch jauh. Lagi pula Mama ga enak sana bibi kamu, juga kasihan sama nenekmu takut menjadi beban pikirkannya." jelasku. Quinsya terdiam.

Satu jam menuju rumah Bi Ijah akhirnya akupun telah sampai. Aku menyembunyikan klakson saat di depan rumahnya yang sudah terlihat sepi. Lalu aku pun mengucap salam dan Bi Ijah menyambutku dengan sedikit heran. Iya tergopoh menghampiriku dengan sebuah tas besar di tangan.

"Ima, ada apa? Tumben kamu sama Quinsya datang kemari, tidak biasanya."

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience