Ardhan Izin Menikah

Family Series 3263

"Tapi emang bener kok, Pak. Bapak sama Teh Ima ini emang klop, bisa bekerja sama dengan baik." ucap mereka.

Kembali Pak Heru tersenyum simpul. Dia memang selalu akrab dengan karyawa. Pria yang berusia empat puluh lima tahun yang tidak hilang kegantengannya itu. Aku mendengar suara Bang Hasan dari belangkang 'berdehem' dan terbatuk.

Bang Hasan memang tidak mau bergabung dengan kami, dia lebih suka melihat jemuran janda di belakang rumah, di sanalah ia akan berlama-lama nongkrong.

Setelah merasa cukup puas berada di rumahku mereka pun akhirnya pamit untuk pulang, tidak lupa juga mengucapkan terima kasih.

"Ima, aku ucapkan banyak terima kasih untuk semuanya. Aku dan yang lainnya pamit, sampai ketemu besok." ucap Pak Heru izin pulang sambil menjabat tanganku dan dilihat oleh Bag Hasan.

"Sama-sama, Pak." balasku dengan tersenyum, keadaan itu membuat Bang Hasan berubah wajahnya.

Setelah kepulangan mereka aku pun bersiap untuk bersih-bersih dibantu oleh Queensya yang dari tadi hanya diam di dalam kamarnya dan di susul oleh Bang Hasan, terlihat wajahnya semakin masam.

"Itu temen temen Mama semua, ya?" tanya Queensya.

"Iya, mereka semua temen Mama." jawabku.

"Banyak juga ya teman Mama." ucap Queensya kembali.

"Ya, namanya juga di pabrik udah lama, pasti banyak teman, apalagi kalau kita baik sama semua orang, Queen. Udah, kamu jangan ngomong terus, mending lanjutin bersih-bersih, setelah itu makan. Jangan lupa, siapin juga untuk Paduka Raja, tuch." titahku kepada Queensya.

"Padakua Raja, Raja siapa, Ma? " tanyanya tidak mengerti.

"Raja, siapa? Ya itu, raja yang gak kerja tapi maunya di layanin, di siapin." jawabku dengan memainkan mata mengarah ke Bang Hasan, kemudian ia menarik napas, dia tahu kalau aku sedang menyindirnya.

"Ich, Mama mulai dech." balas Quinsya sambil membantuku. Tidak lama Ardan pulang dari kerjanya. Setelah membuka sepatu dan mengucap salam diapun masuk.

"Wah, sepertinya ada yang lagi pesta. Nich, banyak bener makanannya." ucapnya yang langsung mengambil es jeruk dari gelas yang sudah tersedia.

"Iya, tadi teman Mama pada main ke sini," jawabku.

"Pasti karena Mama dapat bonus karena naik jabatan." balasnya.

"Oh, nggak kok, mereka cuma mau main aja, soalnya sekarang pekerjaannya tidak terlalu banyak." balasku lagi. "Kamu juga udah pulang, apa cuma ngambil satu shif?" sambungku

"Iya, Ma. Itu kan kalau aku pulang malam ngambil dua shif karna ada temen yang tidak masuk." jawab Ardan.

"Oh, gitu. Ya udah, kamu langsung makan mumpung belum di rapiin." titahku.

"Nanti saja, Ma. Aku mau mandi dulu. Terus, Mama nyuruh aku makan. Apa Bapak sudah makan?" tanya Ardan. Bang Hasan hanya terdiam.

"Bapak kamu pasti udah makan, kan ada dayang yang udah nyiapin untuknya." balasku. Ardan menarik napas, ia sedikit menggeleng karena dia paham maksudku. Setelah itu dia langsung meninggalkanku yang masih sibuk.

***
Sore sudah berganti malam, aku merebahkan tubuh di kamar yang terasa lelah setelah seharian masak buat teman-temanku, sesekali kuurut-urut betis yang terasa pegal. Queensya juga tidak ke luar lagi. Dia sibuk dengan tugas kuliahnya. Bang Hasan juga asik nonton TV yang kusediakan di kamarnya. Tiba-tiba ada suara yang mengetuk pintu kamarku dan terbukalah pintu yang belum sampat aku kunci.

"Kamu, Ardan. Kenapa belum tidur?" tanyaku masih terus memijit-mijit kaki.

"Belum, Ma. Boleh aku duduk?" sahutnya sambil memilih duduk di tepi ranjang, aku meng'iyakan' sejenak ia terdiam, begitupun aku.

"Mama kenapa? Apa kakinya sakit, ya? Sini, aku pijitin." ucapnya.

"Tidak usah, kaki Mama cuma pegel dikit. Ni, di urut-urut juga udah hilang." jawabku. Ardan terlihat menarik napas, sepertinya ada sesuatu yang ingin dia sampaikan namun berat untuk di utarakan.

"Ma, boleh gak aku bilang sesuatu?" tanya Ardan ragu dan seperti sangat hati-hati.

"Kamu mau bilang apa? Bilang saja. Mama siap kok mendengarkan." jawabku tanpa mau mengacuhkannya, karena aku selalu berusaha sebijak mungkin dan siap menjadi pendengar untuk anak-anakku, apa lagi Ardan yang lama tidak bersamaku.
"Aku mau nikah, Ma." ucapnya sedikit menunduk.

"Kamu mau nikah?" tanyaku heran, karena selama ini dia tidak pernah bilang kalau punya calon istri.

"Iya, Ma. Apa Mama mengizinkan?" tanyanya lagi seperti terlihat khwatir. Aku tersenyum.

"Kamu mau menikah? Emangnya kamu sudah punya calon istri?" tanyaku menyelidik.

"Iya, Ma. Sudah setahun aku kenalan sama dia," jawabnya pelan.

"Kamu yakin bener-benar sudah mau menikah?" tanyaku lagi untuk lebih meyakinkan.

"Yakin, Ma. Aku sudah siap untuk menikah. Apa Mama setuju?" tanya Ardan, aku kembali tersenyum.

"Kok, Mama malah tersenyum." Ardan sedikit heran melihat ekspresiku.

"Ya, Mama harus gimana? Mama tersenyum, itu tandanya kamu sudah dewasa. Mama tidak akan menghalangimu untuk menikah. Siapa namanya, dia orang mana? Asal usulnya juga. Apa dia sudah pernah menikah atau masih gadis? Terus, kamu ketemu dia di mana?" tanyaku panjang lebar untuk memastikan.

"Namnya Dina, Ma. Dia pernah menikah tapi belum punya anak, dia orang Cikawi. Dina itu anak yatim piatu. Apa Mama tidak keberatan, atau Mama akan menolak karena aku menyukai seorang janda?" tanya Ardan, dia terlihat khawatir. Aku kembali tersenyum.

"Kenapa Mama harus tidak setuju karena dia pernah menikah? Keputusan ada sama kamu. Kamu itu sudah dewasa, kamu tahu mana yang terbaik buatmu. Mama tidak akan menghalangimu menikah dengan siapapun, yang terpenting dia tuch wanita baik-baik." aku berikan jawaban tulus untuk anakku, Ardan tersenyum.

"Makasih ya, Ma. Mama sudah setuju dan mengizinkan aku menikahi Dina." Ardan begitu terlihat bahagia. Ia mencium tanganku. Aku memeluknya, rasa bahagia akan anak laki-lakiku.

"Kalau kamu sudah yakin, ajak dia ke sini. Mama ingin kenal sama Dina. Atau Mama boleh dong melihat potonya." pintaku, Ardan terdiam.

"Maaf, Ma, aku tidak punya potonya." jawab Ardan. jawaban yang sangat aneh, karena di jaman sekarang mana mungkin tidak ada yang punya poto dari ponsel. Karena anak-anak jaman sekarang hampir semua suka selfie.

"Masa sich, kamu tidak punya potonya. Katanya sudah setahun kenal." selidikiku.

"Iya, Ma. Dia seperti anti kalau aku minta potonya, apalagi kalau poto berdua sama cowok. Katanya, orang yang baik itu orang yang tidak suka mengupload poto biar tidak jadi konsumsi umum. Makanya dia selalu menolak, dia takut aku mengupload potonya." jawab Ardan. Aku pikir masuk akal juga. Aku salut, pasti dia itu wanita yang sangat menghargai privasinya.

"Oh, ya udah, kalau memang itu prinsipnya, malah itu bagus tidak suka mengumbar-umbar. Ya sudah, nanti kamu ajak dia ke sini." pintaku. Ardan setuju, ia berjanji akan segera memperkenalkan Dina denganku. Kemudian kami saling terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Ma." suara Ardan sedikit menganggetkan lamunanku.

"Apa lagi? Mending kamu istirahat, Mama juga mau tidur." perintahku.

"Sebentar saja, Ma. Apa Mama sama sekali sudah tidak mencintai Bapak lagi? Apa Mama sudah begitu bencinya terhadap Bapak? Apa Mama tidak kasihan lagi sama Bapak?" tanya Ardan. Entah apa maksud dari pertanyaannya yang mampu menghentak hatiku.

"Sudah malam, Mama mau tidur, nanti saja jawabnya, ya." balasku .

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience