Menantu Tidak Tahu Diri

Family Series 3263

"Ima, apa sikap Ardan masih tidak berubah dan juga dengan menantumu itu." tanya Bi Ijah. Aku menarik napas berat.

"Selama Ardan masih dengan Sindy, sepertinya mereka sulit untuk berubah, Bi. Semakin hari semakin bikin aku sakit karena ulah mereka. Makanya aku ke sini untuk bisa menenangkan pikiran." jawab ku.

"Kamu jangan diam saja, Ima. Jangan biarkan anakmu terus bersikap seperti itu. Lihat, badan kamu semakin kurus, sudah tua itu seharusnya bahagia, Ima. Sudah, kamu jangan terlalu banyak pikiran, mendingan fokus dengan pekerjaanmu." hibur Bi Ijah.

"Iya, Bi. Semua ini gara-gara Bang Hasan. Kalau saja dia tidak menikahi Sindy dulu, mungkin aku tidak akan seperti ini, juga Ardan tidak akan membantahku. Aku bukan tidak setuju dengan pernikahannya, tapi Bibi tahu sendiri kan? Aku juga sudah kenyang untuk selalu diviralkan. Kemarin waktu lamaran pernikahan mereka, juga saat aku melabrak Sindy dulu.

"Iya, Bibi mengerti dengan keadaanmu, tidak mudah untukmu menerima ini, kamu harus kuat,semua pilihan ada sama kamu. Kamu mau tetap tinggal di situ bersama mereka, atau kamu pisah dari mereka. Maaf, Ima, ini hanya usulku." ucap Bi Ijah panjang lebar

"Maksud Bibi, aku pisah dari Bang Hasan dan pergi dari rumah itu?" Tanyaku heran.

"Ya, kamu bisa ngontak bareng Quinsya. Biarkan mereka di situ."usul-usul Bibi. "Aku belum kepikiran ke situ kalau harus pergi dari rumah. Nanti dia malah semakin besar kepala. Aku akan mencoba untuk terus sabar dan bertahan, Bi." jawabku

"Ya, bagus itu, makanya kamu itu jangan terlalu banyak pikiran. Aku kasihan lihat badan kamu yang semakin kurus. Sekarang kamu tetap fokus bekerja, karena menurut Bibi, hanya dengan bekerja kamu bisa menghibur dirimu sendri. Sekarang sudah malam, sebaiknya kamu tidur." balas Bi Ijah, akupun tidak bicara lagi, langsung menuju kamar untuk segera merebahkan diri yang terasa lelah.

**
Pagi hari aku langsung pergi ke tempat kerja. perkataan Bi Ijah semalam telah memberiku semangat yang luar biasa. Aku tidak akan lagi ambil pusing, tetap akan tinggal di rumahku sampai siapa yang tetap bertahan di rumah itu? Banyak juga orang yang merasa aneh melihat perubahanku dan juga Pak Heru, dia mendekatiku dan berbisik

"Aku senang dengan melihat perubahanmu, Ima. Tetaplah seperti ini." bisiknya tepat di telingaku saat aku serius membuat simple untuk produk baru.

Aku pun semakin terpacu untuk terus bersemangat bekerja dan tidak akan mengulang kegagalan-kegagalan yang sudah terjadi dalam kualitas produksi untuk eksport. Semangatku yang luar biasa membuat teman-temanku benar-benar merasa aneh. Hingga perubahan itu terus terbawa sampai di rumah. Di rumah, rupanya Ardan dan Sindy sudah pulang. Mereka sedang asyik berbincang di ruang tamu sambil menonton TV. Mereka tak ubahnya seperti tuan rumah.

"Eh, Mama mertua sudah pulang rupanya. Kirain nnggak bakalan pulang lagi ke sini" sapa Sindy mulai memancing emosiku saat aku masuk. Aku tidak meladeninya, karena percuma, Ardan pasti akan membelanya. "Kalau orang nanya tuh di jawab. Masih punya telinga kan?" sambungnya.

Aku kembali hanya diam, biarlah dia mau ngomong apa aku harus bisa menahannya sampai orang itu keluar dari rumahku. Aku membuka pintu kamar sebelum membersihkan diri untuk mengambil handuk dan terdengar ada yang mengetuk pintu kamarku.

"Masuk aja, pintunya tidak di kunci, kok." jawabku.

"Ma, ini aku bawain makanan. Mama pasti capek dech" Quinsya membawa sebuah bungkusan nasi padang dan menyodorkan kepadaku.

"Tuh, Yang. Liat dech keluargamu, memang tidak pernah suka sama aku. Kamu lihat kan, punya makanan aja di makan berdua. Mereka tidak pernah ingat sama aku."adu Sindy kepada Ardan.

"Emangnya Ayang mau makan apa sich? Nanti aku beli dech." jawab Ardan.

"Aku tidak mau apa-apa, Yang. Aku hanya nggak betah tinggal di rumah ini. Aku mau hanya berdua di sini sama kamu, Yang." ucapnya. Entah apa maksud dari perkataan Sindy.

"Maksud kamu apa, Yang?" tanya Ardan.

"Aku mau mereka pergi dari rumah ini." jawab Sindy, sepertinya Sindy ingin aku pergi dari rumahku. Medengar ucapannya akupun ke luar.

"Eh, dasar menantu tidak tahu diri. Apa maksudmu menginginkan kami keluar dari rumah ini? Ini rumahku, bukan rumahmu."ucapku kesal.

"Eh, ada orangnya, kirain udah tidur. Iya, aku ingin Mama mertua dan Quinsya pergi dari rumah ini." balas Sindy, benar-benar menantu tidak ada akhlak.

"Kamu menginginkan kami pergi dari rumah ini? Seharusnya kamu itu tidak datang ke sini. Ardan, ajari itu istri kamu sopan santun." ucapku kepada Ardan.

"Mema, sudah dech Ma. Jangan mulai lagi, ini udah malam, aku capek." jawab Ardan sungguh diluar dugaan.

"Ardan, kamu benar-benar sudah keterlaluan. Eh, bocah tengil, palet apa yang sudah kamu berikan kepada anakku?" tanyaku kepada Sindy.

"Eh, Mama mertua ini apa-apaan sich? Jangan soudzon, aku gak punya pelet apa-apa. Mungkin karena goyanganku yang lebih aduhai daripada Mama mertua, " jawabnya mengejek. Membuat dadaku terasa bergemuruh.

"Bang Hasan ...!" panggilku histeris. Diapun ke luar dari tempatnya dengan santai.

"Bang! Suruh tuch mantan istrimu untuk punya sopan santun denganku." seruku

"Mama sudah, Ma. Sebaiknya kita keluar aja dari sini. Ini udah malam, jangan ribut terus." ucap Quinsya yang sehari tadi menyaksikan keributan kami. Ia membawaku ke kamar.

Terlihat Bang Hasan masih diam. Dia seperti orang kebingungan dan menarik napas. 'Dasar suami tidak punya pendirian' rutukku.

"Ardan. Tolong ya, jangan ribut terus. Mama kamu kan baru pulang. Seharusnya kita tinggal di sini tuch bisa nyaman dan tenteram, bukan terus ribut tidak kenal waktu." pesan Bang Hasan.

"Ihh, Bapak mertua kok malah belain dia sich," jawab Sindy mencebik.

"Bukan maksud membela, Sindy. Tapi tolong, jangan ribut terus. Sudah, mending kalian tidur ya, besok kan harus kerja." sahut Bang Hasan.

***
Setiap hari keributan masih sering terjadi. Yang harus aku lakukan di rumah ini terus membiarkan Sindy, karena untuk mengusirnya itu tidak mungkin. Hubunganku dengan Ardan pun semakin dingin. Dia benar-benar seperti telah membenciku.

"Ardan, Mama mau bicara sebentar sama kamu." panggilku saat dia ke dapur.

"Maaf, Ma. Ini udah siang. Aku harus berangkat kerja. Sindy sudah menungguku di luar." jawabnya, dia mengabaikanku. Benar-benar terasa menyesakkan dada. Setelah itu baru dia dan Sindy pergi. Aku menghempaskan diri di sofa sejenak sebelum pergi kerja.

***
"Eh, Mama mertua, lagi nyuci ya. Tolong dong, nitip satu." perintah Sindy saat melewatiku sedang mencuci. Aku masih cuek, tiba-tiba dia melempar bajunya di hadapanku mengenai wajahku. Untuk kali ini aku tidak bisa lagi menahan amarah. Cukup sudah dia memperlakukan dengan seenaknya. Sabar itu ada batasnya.

"Dasar bocah tengil! Kalau kamu mau pakai baju bersih cuci sendiri. Kali ini kamu benar-benar keterlaluan. Dasar pemalas!"

"Mama mertua jangan marah-marah terus. Aku kan lagi hamil. Orang hamil nggak boleh kerja berat. Ini juga kan calon cucu Mama mertua." ejek Sindy, dia seperti tidak pernah terpancing dengan ucapanku. Semakin aku marah maka dia semakin mengejekku dengan sikap sok sabarnya itu. Dia benar-benar telah berhasil mengurus kesabaranku.

"Wanita hamil itu tidak boleh manja. Aku jadi ingin tahu. Sebenarnya kamu itu hamil apa nggak, sich? Kalau kamu hamil, pastilah perutmu sudah membuncit . Ini sudah empat bulan tapi perutmu masih kempes." ejekku. Terlihat Sindy mulai terpancing.

"Eh, apa maksudmu mantan maduku? Kamu menuduhku tidak hamil?"

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience