Motor Baru

Family Series 3266

Hari ini di pabrik tidak ada lembur, semua karyawan pulang jam tiga sore. Aku pulang dengan naik angkot, karena Bang Hasan tidak menjemput. Entah ke mana dia?

Setelah satu jam perjalanan akupun sudah sampai di rumah. Kulihat Bang Hasan sedang tiduran di bale-bale dengan kedua tangannya yang tertindih kepala sebagai bantalan. Matanya juga terpejam. Sepertinya dia tidak tahu kalau aku pulang.

Hatiku mulai kesal, dia enak-enakan tidur di rumah, sedangkan aku pulang capek tidak di jemput pula.

"Ehem! Bang! Kok ada di rumah? Kenapa enggak jemput aku?" tanyaku kesal. Bang Hasan sedikit terperanjat dan langsung bangun.

"Eh, Mama udah pulang? Kirain Abang lembur. Lagian Mama juga tidak kasih kabar," elaknya mencari alasan. Tapi memang benar juga kata dia, itu juga salahku karena tidak memberitahunya kalau aku tidak lembur.

"Iya, Bang. Mendadak pulangnya, awalnya sich mau lembur." balasku.

"Ya, berarti bukan salah Abang 'kan?" timpalnya, aku terdiam.

"Lho, ini motor siapa, Bang?" tanyaku, saat mataku mengarah ke sebuah sepeda motor matic yang terparkir.

"Ya, motor kitalah, Ma. Motor siapa lagi?" jawabnya santai.

"Kok, cepat banget, Bang, padahal belum seminggu prosesnya." protesku.

"Kan, udah Abang bilang, teman Abang yang punya dealer, dia urusin semua. Abang tinggal terima beres. Makanya tadi rebahan dulu, motornya juga baru datang," tuturnya.

"Terus itu setoran berapa, Bang?" tanyaku lagi.

"Satu juta, Ma," jawabnya santai tanpa beban

"Hah!! Satu juta. Abang bilang mau nyari setoran yang tujuh ratus ribu. Aduh ... Baaang, nanti dari mana bayarnya, coba? Uang gajiku 'kan untuk kirimin anak kita," tanyaku cemas.

"Mama tenang saja, nanti tinggal setor Abang akan nyari sampangan," ujarnya mencoba menenangkan.

"Terserah Abang dech, pokoknya aku tidak mau tahu. Nanti juga seperti yang sudah-sudah, ujung-ujungnya aku juga yang bayarin," sahutku sedikit protes.

"Udah Abang bilang, Mama tenang saja. Tapi besok Mama kerja gak usah di antar jemput lagi ya, Mama kerjanya bawa motor sendiri saja," titah Bang Hasan.

"Lho, memangnya kenapa Bang? Apa aku yang bawa motor baru ini?" tanyaku dengan yakin.

"Ya nggak, Ma. Mama bawa motor yang lama saja ya," jawabnya.

"Yah ...." jawabku sambil menghela napas agak malas.

"Kalau cuma buat kerja itu juga masih bagus, Ma. Kan kalau Abang buat pancingan biar banyak penumpang yang mau naik motor Abang, biar kita dapat duit banyak," terangnya

"Ya, udah! Tapi awas ya, Bang! Kalau Abang macam-macam di belakangku, lihat saja Nanti." ancamku geregetan.

"Macam-macam giman sich, Ma?" timpalnya.

"Ya, maksudku awas kalau Abang macam-macam main perempuan." terangku.

"Mama masih gak percaya sama Abang? Sudahlah Ma, yang sudah-sudah jangan di ungkit lagi," ucapnya dengan wajah sedikit memerah.

Entah kenapa walaupun kejadian itu hampir lima tahun berlalu.
Kepercayaanku sama Bang Hasan masih saja belum sepenuhnya yakin kalau dia mau berubah. Pasalnya dulu dia pernah mau menikahi seorang janda satu anak. Tetapi untunglah kejadian itu aku ketahui sebelum mereka menikah.

"Ya, namanya orang yang sudah berkhianat, pasti akan mengulanginya lagi. Abang kan orangnya mudah tergoda sama perempuan. Abang tuh kalau lihat cewek gatelan." tuduhku tanpa mempedulikan Bang Hasan.

"Sudah, Ma. Jangan bicara terus. Kan baru pulang, apa nggak cape? Mau Abang masakin hari ini?" tawarnya, berusaha menghiburku biar tidak panjang lebar.

"Aku belum lapar, Bang. Nanti saja kita beli nasi Padang yang paketan," jawabku.

"Emangnya ada nasi Padang yang paketan, Ma? Terus satu paketnya berapa," tanya Bang Hasan penasaran.

"Sepuluh ribu," jawabku singkat.

"Nasi Padang sepuluh ribu, nggak salah tuh? Apa saja itu isinya, Ma" tanyanya lagi.

"Ya ada lah, Bang. Nasi, ayam bakar, sayur, lalapan sama sambal." jawabku.

"Ah, Mama ada-ada saja. Mana ada nasi Padang sekumplit itu sepuluh ribu?" sahutnya tidak percaya.

"Ya, itu, yang aku beli tiap pulang kerja yang Abang makan nasi paket sepuluh ribu." terangku, Bang Hasan mengernyit.

"Beneran, Ma? Pantesan aja Abang kalau makan nggak kenyang, soalnya nasinya dikit. Ya udah yuk kita beli, Abang juga belum makan." jawabnya, langsung berdiri dari tempat duduknya sambil menghampiri motor barunya untuk di panaskan.

Bang Hasan cukup lama memanaskan motor maticnya yang baru datang.

"Sudah panas. Ayok Ma naik." titahnya.

Setelah lama di nyalakan Bang Hasan mengajakku pergi untuk membeli nasi Padang.

Motorpun melaju agak pelan dan melewati beberapa rumah tetangga. Ada juga tetangga yang melihatku pergi dengan Bang Hasan sambil melirik.

"Cie ...cie ... motor baru nih," ucap seseorang.

"Duh, yang punya motor baru," timpal yang lain.

"Tarik jabrik!" sahut yang satunya lagi.

"Mbak Maima, awas jatuh, pegangan tuh Bang Hasan yang kencang." pesan tetangga yang berada di warung.

"Awas, Maima. Jagain tuch si Hasan, jangan sampai tergoda janda kembang." sahut ibu-ibu rempong.

Aku yang mendengar celotehan para tetangga hanya tersenyum dengan keusilan mereka yang menggoda kami saat berboncengan,

"Ah, dasar mulut para tetangga julid, bisa-bisanya mereka bicara yang tidak-tidak. Gak bisa lihat orang senang," umpat Bang Hasan.

"Sudah, Bang. Tidak usah di ladenin. Namanya juga mulut tetangga. Mereka juga cuma bercanda kok." hiburku.

"Tapi gak gitu juga, Ma. Masa Abang tergoda janda kembang 'kan itu gak enak banget di dengarnya." balas Bang Hasan mendengus.

"Lagian ngapain sih harus di dengarin kalau emang gak merasa? Lagi pula itu ada benernya juga Bang apa yang mereka bilang. Kan Abang emang pernah tergoda janda kembang. Mungkin mereka tuh hanya mengingatkan." timpalku sedikit tersenyum.

"Sudah dech, Ma. Jangan mulai lagi. Sebenarnya kita ini mau beli nasi Padang apa mau ngomongin itu sih." ucap Bang Hasan sedikit merajuk.

"Ya, makanya Abang kencengin dikit dong bawa motornya. Masa dari tadi gak nyampe -nyampe kaya siput berjalan aja. " pesanku.

Bang Hasan pun sedikit mengencangkan laju motornya. Aku yang berada di belakangnya hanya tersenyum melihat tingkahnya, lalu kupeluk erat pinggang suamiku itu. Sesekali kami ngobrol. Saat itulah aku seperti anak muda lagi, merasa seperti menjadi Dillan dan Millea versi emak-emak.

Hanya butuh waktu setengah jam akhirnya aku sampai di warung langgananku. Buru-buru Bang Hasan memarkirkan motornya, dan kami langsung masuk.

"Eh, Teh Maima. Mau apa nich? " tanya si pemilik warung ramah, selain Itu juga kami sudah lama kenal.

"Biasa, Uni. Nasi paket tiga bungkus." jawabku.

"Pake apa saja, nich.? tanyanya lagi.

"Yang dua sama ayam bakar, dua lagi ikan goreng, Uni." jawabku.

Tidak ketinggalan Bang Hasan melihat-ihat menu yang terpajang di etalase besar itu, kemudian dia sedikit menyenggolku.

"Ma, buat Abang jangan nasi paket ya. Bungkusan biasa saja." bisiknya.

Aku pun menoleh kearahnya dan sedikit mendelik. Bang Hasan tersenyum tidak enak hati sambil beringsut dariku.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience