Gosip

Family Series 3263

Hampir tiga bulan Bang Hasan. menjalankan aktivitasnya sebagai tukang ojek pangkalan dengan motor barunya. Dia mulai pulang selalu lebih malam dari biasanya. Sebelum Magrib biasanya sudah ada di rumah, tetapi sekarang terkadang sampai jam sembilan belum datang.
Ini sudah hampir jam sepuluh malam. Tetapi suamiku itu baru pulang. Terdengar dari luar ia mengetuk pintu. Tidak lama aku membukanya, kemudian Bang Hasan masuk sambil mendorong motornya.

"Baru pulang, Bang?" tanyaku sambil berjalan hendak mengambil air.

"Ia, Ma. Mama juga tumben udah pulang, nggak lembur?" Bang Hasan balik bertanya.

"Sekarang lagi sepi orderan. Abang juga tumben sekarang sering pulang malam, lagi banyak penumpang ya?" cecarku, kusodorkan air yang sudah di ambil tadi

"Biasa aja lah, Ma. Ni uang pendapatan hari ini," jawab Bang Hasan seraya menjulurkan tangannya dengan lipatan uang. Aku mengambilnya kemudian ku taruh di meja untuk di hitung.

"Lumayanlah, Bang. Sertus ribu, kita simpan buat setor bulan depan nanti." jawabku sambil melipat kembali uang itu.

"Terserah Mama, atur saja." balasnya dengan badan seperti kelelahan.

Biarpun penghasilan Bang Hasan tidak seberapa aku selalu menerima walaupun terkadang tidak menentu. Sekarang dapat seratus ribu belum tentu besok dapat hasil yang sama, dan aku harus pintar-pintar mengaturnya.

Bahkan kalau sedang musim hujan malah tidak ada penumpang sama sekali. Aku tidak pernah protes apa lagi sampai menuntut lebih. Bagiku dengan dia mau berubah saja itu sudah cukup.

"Ya, sudah, Abang mandi dulu sana. Air panasnya sudah aku siapin di termos tinggal di tuangin saja." titahku.

Bang Hasan tidak menjawab, ia langsung ke kamar mandi sambil menenteng termos berisi air panas.

Setelah lima belas menit dia sudah selesai mandi dan berganti baju, kemudian duduk kembali di sampingku dengan menikmati teh hangat.

"Ma, besok Abang harus berangkat pagi, ada karyawan yang minta di antar jemput, kasihan dia tidak punya motor."

"Karyawan, karyawan mana, Bang?"

"Itu, karyawan yang kerja di pabrik Dua Hati."

"Cewek ape cowok, Bang?"

"Cewek, Ma."

"Enggak, ah. Aku tidak izinin, kalau cowok sich gak apa-apa, Bang."

"Kenapa, Ma? Kasihan, tadinya dia di antar sama sepupunya, tapi sepupunya sekolah, dan motornya dia bawa."

"Eggak, Bang. Aku gak ngizinin Abang punya tarikan karyawan perempuan, apa lagi sampai harus jemput malam."

"Emangnya kenapa, Ma? Mama takut Abang akan macam-macam lagi? Ayolah Ma, berhenti curiga terus sama Abang. Dia itu masih sangat muda, juga polos. Masa Abang tergoda. Ini lumayan buat nambah setoran. Kalau Abang cuma ngandelin mangkal, 'kan tahu sendiri, apa lagi di jaman canggih seperti sekarang ini, banyak ojek online. Sekarang kita tuh harus pinter-pinter cari kesempatan, Ma."

Panjang lebar Bang Farouk menjelaskan alasannya. Memang masuk akal juga, kalau hanya mangkal dan tidak cari sampingan kadang buat setor saja tidak cukup.

"Terserah Abang dech, tapi awas kalau sampai macam-macam lagi. Mama sumpahin biar Abang jatuh dari motor," ancamku sambil mengumpat.

"Mama, apa-apaan sich? Udah mending sekarang tidur, besok kesiangan."

"Emang Abang gak makan dulu?"

"Abang udah kenyang. Oh iya, Ma, apa Quinsya sudah tidur?"

"Sudah, Bang." jawabku.

***
Sekarang pekerjaan Bang Hasan bertambah menjadi langganan ojek karyawan yang menggunakan jasanya untuk mengantar jemput sudah hampir lima bulan.

Setiap bulannya dia di kasih uang lima ratus ribu. Memang kecil, untuk bensin, kopi dan rokok sebulan saja tidak cukup, tetapi tidak apalah dari pada tidak ada sampingan sama sekali biar aku tidak terlalu besar untuk nombok setorannya.

Namun lama-lama aku selalu mendengar desas desus kabar miring soal Bang Hasan.

Banyak orang yang melihat dia selalu berboncengan mesra. Apa lagi di tempatku bekerja.Teman-temanku mulai banyak yang bersikap aneh dan menatapku penuh dengan tanda tanya.

"Eh, Teh. katanya suami Mbak Maima nikah lagi ya?" bisik mba Sumi-temanku yang sudah lama aku kenal. Tidak sengaja aku mendengar percakapan mereka saat jam istirahat. Mereka tidak tahu kalau aku sudah berada di belakangnya.

Mungkin mereka pikir aku tidak di warung, karena ruangan yang tersekat, tetapi aku tidak ambil pusing dan pura-pura tidak mendengar. Mereka semua mendadak diam saat mengetahui kedatanganku.

"Eh, Teh. Sini gabung. Udah lama ya?" tanya Mbak Sumi dengan ke-enam teman lainnya,

Mereka adalah Mbak Sari, Fatimah, Susi, Sinta, Sani dan Tiar. Kemana-mana kami biasa pergi bertujuh, begitu juga saat beristirahat, hanya hari itu saja aku keluar lebih awal.

"Barusan kok, aku tadi ke kamar kecil dulu," jawabku beralasan. Terlihat wajah mereka tak sepanik waktu tadi.

Tapi percakapan mereka barusan sedikit menganggu pikiranku. Apa benar yang di bicarakan teman-temanku itu kalau Bang Hasan menikah lagi? Aku mulai kehilangan selera makan.

"Ayo ... melamun ya? Mikirin apa sich, Teh?" Tanya Mabk Sumi.

"Enggak mikirin apa-apa kok. Itu ... biasa, mikirin kerjaan. Aku keteter, bantuin dong, Mbak Sum." Aku berkilah

"Kerjaan gak usah di pikirin, Teh Maima. Ketetermah gampang, tinggal lembur." jawab Teh Sari dengan santainya.

"Ya, enggak maulah. Masa kalian pulang aku lembur." ucapku sambil menyedot es teh manis yang sudah di pesan.

"Tenang, Teh. Kan nanti ada yang nemenin." timpal Mbak Sinta.

"Siapa, memangnya kalian mau nemenin?" tanyaku becanda

"Ya, bukan kita, Teh. Tapi Pak Heru." jawab mereka hampir serentak membuat aku hampir tersedak saat menyedot minuman.

"Gila kalian, gosip aja." hardikku.

"Gak apa-apa, Teh. Pak Heru 'kan duda." timpal Tiar.

"Kalian makin ngaco, ya. Terus apa hubungannya duda sama aku?" aku sedikit mengernyit dengan candaan mereka yang semakin ngawur. Tetapi jujur obrolan kami itu bisa menghilangkan pikiranku yang mulai galau.

"Ya, 'kan semua orang tuh tau kalau Pak Herru suka sama Teh Maima." timpal Sari.

"Sudah, ah. Jangan bicara terus, aku lagi tidak mau membahas soal itu, gak suka! Kalau Pak Heru suka sama aku, ya itu urusan dialah. Memangnya Bang Hasan mau di kemanain? Kalian jangan pada bikin gosip terus, nanti kedengaran suamiku bisa kacau." cerocosku, sesekali aku menyantap goreng ubi.

"Lagi pula, masa iya aku suka sama Pak Heru. Sayang aku cuma tuh cuma untuk Bang Hasan. Pak Heru kan atasan kita. Mending sekarang kita masuk, tuh udah bel" lanjutku untuk mengakhiri pembicaraan, karena jika sudah berkumpul semua sampai lupa diri kalau udah bergosip.

"Cie ... cie ... yang lagi bucin," kembali suara mereka menggoda dengan diiringi tawa yang lain.

Kamipun membubarkan diri dari kantin setelah membayar makanan dan kembali bekerja.

Sejujurnya pembicaraan mereka tadi sudah sangat menganggu pikiranku kalau gosipnya Bang Hasan menikah lagi. 'awas saja kalau berani. ' gumamku sambil melanjutkan pekerjaan yang semakin menumpuk.

.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience