POV Sumiati Dan Fatimah

Family Series 3266

Aku Sumiyati, biasa di panggil Mbak Sum. Kabar pernikahan suami Teh Maima memang sudah ramai terdengar. Awalnya aku ingin memberitahunya, tetapi di larang sama temanku yang lain.

"Teh, apa kita kasih tau Teh Ima aja ya? Kasihan dia di bohongin sama suaminya." izinku, kami biasa memanggilnya Teh Ima.

"Jangan dulu, Mbak. Takutnya kabar itu tidak benar, nanti kita yang salah sudah ikut campur urusan rumah tangga mereka." cegah teman-temanku.

Akhirnya akupun mengurungkan niat untuk memberi tahu Teh Ima walaupun sebenarnya perasaanku tidak tega.

Hingga akhirnya terjadilah peristiwa pelabrakan itu yang tidak terduga. Kami kira selama ini Teh Ima diam karena tidak tahu. Tetapi di luar dugaan kami sebagai teman-temannya, ternyata Teh Ima punya rencana lain, dan akhirnya kami semua tahu dari postingan aplikasi biru tentang video yang viral.

Terlihat Teh Ima begitu marahnya, dan vidio itupun di tanggapi dengan pendapat yang berbeda. Ada yang bilang puas melihat si perempuan di siksa, ada juga yang menyalahkan Teh Ima yang di bilang terlalu sadis.

Awalnya aku juga tidak percaya kalau suaminya menikah lagi. Apa lagi saat dia jatuh dari motor, kami datang ke rumahnya untuk menjenguk, karena kami adalah sahabat yang sudah seperti keluarga.

"Teh, nanti sore main ke rumahku ya, 'kan kita pulang siang." ajakku kepada teman-temanku.

"Ayok, jangan lupa kita ajak Teh Ima. Kita bawa motor masing-masing." Ajak yang lain.

***
Sesuai rencana, semua karyawan pulang jam satu siang. Kami pulang dengan motor masing-masing.

Aku belok ke pasar untuk berbelanja terlebih dahulu. Kebetulan jarak pasar ke rumahku hanya butuh waktu lima menit dan teman-temanku jalan ke rumahku lebih dulu.

Setelah di rumah kami segera masak ramai-ramai, ada yang mencuci ikan, menyiapkan minuman ada juga yang hanya sekadar ngobrol,

Setelah matang kamipun berkumpul, tidak lama teman-teman laki-laki banyak juga yang datang menyusul setelah di chat satu-persatu. Kamipun makan bersama, suasana sangat ramai sekali seperti sedang memeriahkan kemenangan Teh Ima.

"Ayo, Teh. Di tambah makannya, tuh minuman, juga, kue ," tawarku.

"Enak nich masakannya." timpal Teh Fatimah

"Ih, perutku kenyang banget."

"Ayo, Mbak Ima. Kita nambah lagi, kita rayakan kemenanganmu, tuman tuh si lakor,"

"Kenapa sih nyerang gak ngajak-ngajak? Kalau ngajak udah pasti aku bantu buat telanjangin dia biar tambah malu."

"Mbak Ima kurang tuh mainnya."

"Enggak nyangka ya, kecil-kecil udah pintar jadi lakor."

"Gila aja ya, sampai tv juga di ambil, pasti itu kerajaan Bang Hasan.

"Ya, Bang Hasan juga kalau tidak di suruh si pelakor mana mau."

"Maklum, pelakor maruk, tv aja di bawa."

Itulah obrolan seputar pelabrakan yang di lakukan Teh Ima di rumahku saling bersahutan dengan bersenda gurau yang di iringi gelak tawa kami, seperti ada hiburan gratis.

Serasa hilang semua beban. Sedangkan Teh Ima hanya senyum-senyum mendengar celotehan kami. Di rumahku ramai sampai sore hingga setengah enam teman-temanku semua akhirnya pulang.

POV Fatimah

Aku Fatimah, temannya Maima, aku berteman sudah cukup lama semenjak bekerja tujuh tahun yang lalu. Kami sudah seperti keluarga, kemana-mana kalau sedang berlibur pergi bersamanya.

Hingga berita pernikahan suaminya terdengar olehku. Ada yang ingin memberitahu Teh Ima, itulah aku memanggilnya, tetapi aku berusaha melarangnya.

Kabarnya aku dengar suaminya punya langganan ojek untuk mengantar jemput bernama Sindy, karyawan Dua Hati. Dia ini memang tetanggaku, rumahnya cukup jauh dari tempat tinggalku. Aku kenal dia karena setiap pagi sebelum aku berangkat kerja ia sering lewat depan rumahku yang kebetulan berada di pinggir jalan.

Aku sering melihat suami Teh Ima lewat, katanya sih cuma antar jemput saja. Tetapi ada yang sedikit aneh. Sindy sering memeluk mesra, ketika melihatku dia berusaha melepaskan pelukannya.

Hari Minggu saat liburan. Teh Sinta-temanku datang ke rumahku. Dia ini teman kerja, juga tetangga paling dekat rumahnya. Kamipun ngobrol soal kerjaan. Tetapi ketika itu obrolannya bikin aku kaget.

"Teh, tahu nggak?" tanyanya

"Tahu apa?" jawabku penasaran.

"Itu, katanya suami Teh Ima nikah lagi."

"Nikah sama siapa?" tanyaku kaget.

"Dih, sama tetangga kita juga masa nggak tahu," ujarnya sambil senyum-senyum.

"Tetangga yang mana? Ya namanya nggak tahu, ya nggak tahu. Teh Sinta tahu sendiri aku juga jarang di rumah, pergi pagi, pulang malam, ngurusin rumah, anak, juga suami, mana ada waktu untuk ngegosip," tuturku. "Lagi pula, Teh Sinta tuh sama aku satu kerjaan. Tahu gosip itu dari mana?" tanyaku lagi.

Ya, aku memang bukan orang yang suka terlibat dan senang ikut campur dengan urusan orang lain termasuk soal pernikahan suami Teh Ima. Bahkan ketika mereka memintaku untuk memberi tahu dia aku melarangnya sebelum benar-benar terbukti.

"Itu, Teh, sama karyawan Dua Hati yang suka lewat. Aku juga tahu dari orang rumah." jawabnya.

"Oh, kok bisa!" aku menyeru.

"Ya, katanya sih di gerebek Pak Hansip sama warga karena terlalu sering ngobrol sampai larut malam, terus di paksa nikah." jelasnya.

Aku hanya manggut-manggut. Tiba-tiba pikiranku menerawang teringat beberapa tahun silam saat aku pacaran dengan suami orang.

Setelah hampir tiga tahun tidak di ketahui sama istrinya. Hubungan kami semakin mesra, dan hampir menikah walaupun seluruh keluargaku tidak ada yang pernah setuju, tetapi aku tetap nekat.

Siang itu saat aku sedang mengikat buah rambutan, tiba-tiba datang dua orang wanita dengan empat anak kecil. Satu orang itu menghampiriku.

"Maaf, mau tanya. Apa Mbak kenal dengan namanya Fatimah," tanyanya.

"Iya, aku sendiri. Silakan duduk, Bu," jawabku, walaupun belum kenal dengn istrinya tetapi aku sudah merasa curiga. Maka kupersilahkan mereka duduk, kebetulan di luar sudah ada sofa butut.

Aku langsung masuk untuk memberitahu kakakku yang perempuan dan mengambil air.

"Mbak Maya, ada tamu di luar, sepertinya itu istrinya Bang Jaka," ucapku.

Tidak lama Mbak Maya keluar dan menghampiri kedua tamu dan anak-anaknya itu.

Awalnya si wanita itu pura-pura mau pesan tenda di rumah ibuku, tetapi karena keluarga sudah curiga, terutama Mbak Maya, wanita itupun akhirnya jujur kalau dia istrinya Bang Jaka.

"Apa benar kamu mau menikah dengan Bang Jaka, Fat? Kamu kenal 'kan Bang Jaka. Ini fotonya pasti kamu tahu," ucapnya sambil mengeluarkan foto ukuran empat kali tiga.

"Iya kenal, tapi aku mau menikah dengan Mas Dion bukan Mas Jaka," kilahku mencari alasan.

"Maaf, Bu. Adek saya ini bukan mau menikah dengan suami Ibu. Dia sudah punya calon," bela Mbak Maya, di situ juga sudah berkumpul ibu dan bapakku.

"Oh, aku kira Bang Jaka mau menikah sama kamu. Ya udah, kalau gitu aku mau jadi saksinya, Fat," ujarnya.

Mendengar dia mau jadi saksi aku sedikit bingung harus bagaimana? Memang kenyataannya aku mau menikah dengan suaminya.

Akhirnya semua keluargaku mencari alasan, mereka yang tidak setuju dengan hubungan kami sangat bersemangat dengan kedatangan istri Mas Jaka. Mereka tak segan-segan menjelekkan Bang Jaka.

Kamipun ngobrol semakin asyik. Dengan keramahan keluarga kami, tak sedikitpun istri Bang Jaka marah. Kami malah terlihat akrab seperti sudah kenal lama. Apa lagi dengan keempat anaknya yang langsung dekat denganku, sampai ada yang numpang pup dan nangis tidak mau pulang.

Setelah hampir dua jam kami ngobrol, akhirnya istri Bang Jaka pamit see, aku kasih ongkos, juga buah rambutan.

Setelah istri Mas Jaka pulang. Mbak Maya, Ibu juga bapakmu. Mereka ramai-ramai mengintrogasiku.

"Fat, apa kamu tetap mau menikah dengan si Jaka? lihat tuh istrinya juga tidak terurus, anak-anaknya kucel, dekil. Isterinya juga sampai kurus gitu. Apa kamu masih nekat menikah sama si Jaka?" tanya ibu lagi.

"Kamu tuh mikir, Fat. Kaya gak ada laki-laki lain aja. Kamu masih muda, gak jelek-jelek amat lagi, masa mau sama laki orang." tutur Mbak Maya.

"Kamu mau jadi isterinya si Jaka, lihat tuh dia sampai nangis, karena sering di telantarkan suaminya." timpal bapakku, dan banyak lagi nasehat-nasehat mereka.

Aku hanya diam dan bingung. Aku terlanjur jatuh cinta sama Mas Jaka. Tetapi aku juga tidak mau kalau sampai menyakiti isterinya.

Siang malam aku terus berpikir. ' mungkin aku perempuan bodoh kalau sampai mau di madu, aku tidak mau menikah dengan Bang Jaka, tapi aku benar-benar cinta. Ah, bodoh! Aku ini bodoh' rutukku dalam hati.

Setelah beberapa kali istrinya datang. Mas Jaka tidak lagi menemuiku. Akhirnya hubungn kami berakhir tanpa kejelasan. Sakit emang ia, tetapi akhirnya aku bisa menemukan penggantinya, pemuda dengan setatus bujang. Dialah yang menjadi suamiku dan akhirnya aku hidup bahagia.

"Teh, kok malah melamun sih." ucap Teh Sinta

"I--ia, apa tadi, Mbak Ima kenapa?" jawabku gelagapan.

"Itu, Teh. Lihat 'kan videonya yang viral waktu Teh Ima melabrak si Sindy sampai bengkak-bengkak gitu mukanya, ngeri kan?" lanjutnya.

"I--iya ngeri juga, ya, namanya orang bohong. Ya lama-lama ketahuan juga," jawabku sambil membayangkan kalau dulu istri Mas Jaka melakukan hal sama seperti Mbak Ima Gimana malunya aku, terutama orang tuaku?

Aku menarik napas dan membuangnya, lalu kuusap pipiku dengan kasar.

.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience