Kejutan Di Hari Pernikahan Ardan

Family Series 3263

'Tlidak salah lagi, wanita itu ....' gumamku akin kalau dia itu adalah orang yang pernah aku kenal lima tahun yang lalu.

"Sindy!" seruku kaget hampir bersamaan dengan Bang Hasan seperti tidak percaya dengan wanita yang ada di hadapan kami.

Begitu juga dengan Sindy yang tidak kalah terkejutnya, dan kedua laki-laki masih yang berada di belakang Sindy juga terlihat kaget saat melihat wajah Bang Hasan.

"Itu Dina, Ma. Bukan Sindy. Sindy siapa yang Mama maksud? Memangnya Mama kenal sama Dina?" tanya Ardan.

"Oh, jadi perempuan ini yang ingin kamu jadikan istri? Bagaimana Mama tidak kenal sama dia? Dia itu mantan istri muda Bapakmu. Sekarang juga kita tinggalkan rumah ini. Kita batalkan pernikahanmu. Mama tidak akan pernah setuju kamu menikah dengannya. Ayok, Ardan. Kita pergi dari sini. " perintahku sambil menarik tangan Ardan. Tapi di tepis olehnya.

"Tidak bisa, Ma. Ini Mungkin salah," jawab Ardan bersikukuh dan tarikan tanganku semakin kencang

"Tidak ada yang salah, Ardan. Sampai kapanpun Mama tidak akan pernah setuju kamu menikahi wanita perusak rumah tangga Mama ini. Masih banyak gadis lain yang lebih cocok buat kamu. Dia tidak pantas jadi istrimu. Sekarang, cepat kita tinggalkan tempat ini." perintahku sekali lagi. Aku hampir saja tidak bisa menahan amarah, Bang Hasan hanya menunduk karena merasa malu.

"Ayo, kita pulang, tidak ada gunanya lama-lama di sini, bisa-bisa darah tinggiku kumat." Pintaku kepada Bi Ijah dan yang lainnya, karena aku takut tidak bisa mengontrol emosi dan kembali terpancing.

Mereka pun menuruti perintahku dan kami siap untuk segera pulang dengan tanganku yang terus memegangi tangan Ardan yang dalam kebingungan

"Maaf, Bu. Ibu tidak bisa seenaknya membatalkan pernikahan ini begitu saja, karena anak ibu harus bertanggung jawab atas perbuatannya." tutur Ua-nya Sindy yang menahan kami saat akan pergi. Aku terdiam, mengurungkan niat untuk ke luar, kemudian wajahku menghadap ke arah pria itu.

"Apa maksud Bapak meminta Ardan untuk bertanggung jawab? Bukankah kami datang ke sini akan bertanggung jawab kepada keponakan Bapak untuk melamarnya? Tapi bukan dia yang akan menjadi menantuku." jawabku tegas.

"Iya, itu masalah ibu, ini urusan keponakanku dengan anak ibu, karena dia tidak bisa lari dari tanggung jawab begitu saja." lanjut pria itu lagi memancing rasa penasaran dan emosiku.

"Bapak meminta anak kami untuk bertanggung jawab. Memangnya apa yang sudah dilakukan oleh anakku terhadap Sindy?" tanyaku.

"Sindy hamil, dan anak ibu yang harus bertanggung jawab, karena dia adalah ayahnya." jawab pria itu lagi membuat kami kaget dan terperangah, terlebih aku yang bagai tersengat listrik, rasanya tidak percaya.

"Bapak jangan mengada-ada. Mana mungkin anakku bisa menghamili Sindy? Jangan-jangan ini hanya akal-akalan dia saja, dan di dalam agamapun itu tidak boleh menikahi seorang perempuan yang pernah di nikahi ayahnya." terangku membela diri.

"Iya, Pak. Itu benar, dalam agama tidak diperbolehkan untuk menikahi mantan istri seorang ayah." timpal Pak Penghulu memperjelas perkataanku.

"Masa bodo soal agama. Tapi masalahnya, Sindy sekarang sedang hamil, itu benar adanya, dan seorang anak harus tahu siapa bapaknya ketika dia lahir. Pokoknya pernikahan ini tidak bisa dibatalkan. Kalau perlu, sekarang juga mereka harus menikah." lanjut pria itu mulai terpancing.

Sindy terus menundukkan wajahnya, pun dengan Ardan yang tidak pernah mengerti dan tidak pernah menduga kalau acara pernikahannya akan kacau.

"Apa benar itu, Ardan, kamu telah menghamili Sindy? Apapun yang kamu lakukan, Mama tidak akan pernah setuju kamu menikahinya. Ayo, cepat! Sekarang kita pulang." ajakku langsung menarik tangannya, Ardan melepaskan tangannya dariku pelan.

"Maaf, Ma. Kalau Mama mau pulang, pulang saja. Aku tetap di sini dan akan menikah dengan Dina." jawab Ardan.

Tiba-tiba dia menentangku. Aku semakin marah juga merasa heran dengan sikapnya, sedangkan pria itu dan Sindy terlihat tersenyum dan bernapas lega.

"Kamu mau membantah Mama? Pokoknya Mama tidak setuju, kamu harus pulang." ajakku.

"Sekali lagi maaf, Ma. Aku tidak bisa meninggalkan Dina. Aku akan tetap menikah dengannya. Kalau Mama mau pulang, silakan." tantang Ardan membuat ulu hatiku terasa nyari atas keputusannya. Mataku mulai terasa berat menahan tangis. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi dengan keputusan Ardan.

"Ardan, ayok kita pulang." terdengar suara ajakan Bang Hasan. Tapi lagi-lagi Ardan menolak.

"Maaf, Pak. Ini adalah hari kebahagianku, kalau Bapak sama Mama mau pulang, pulanglah, aku akan tetap di sini." tegasnya sekali lagi.

"Terserah kamu saja, kalau kamu mau ikut pulang dengan kami, silakan. Tapi kalau kamu tidak ikut pulang, jangan harap kamu datang ke rumah lagi." ancamku dengan penuh amarah. Bang Hasan terlihat bingung. Aku pun meninggalkan Ardan yang mendekati Sindy.

Aku yang tersulut emosi sudah tidak ingin lagi mengurusinya, lalu kami pun pulang dengan perasaan kesal dan marah luar biasa dengan di iringi tatapan dari orang-orang yang ada di rumah itu. Aku pulang dengan membawa segala luka di hati.

Tidak dapat aku ceritakan bagaimana perasaanku saat itu. Dadaku terasa mendidih, panas dan begitu sangat sakit. Aku tidak percaya, bahwa yang menghancurkan perasaanku ternyata wanita yang sama.

Selama di perjalanan aku hanya diam. Namun air mataku terus mengalir deras menahan sakitnya hati. Bang Hasan dan lainnya juga ikut diam. Mereka membiarkan aku terus menangis sampai semua bisa terkendali. Bi Ijah mengusap bahuku, dia mencoba menenangkanku.

"Sudah, Ima. Jangan menangis lagi. Tenangkan pikiranmu." hibur Bi Ijah. Akupun menyandarkan kepala di pangkuannya kemudian dia mengelusnya

"Iya, Bi. Tapi kenapa harus wanita itu lagi? Kenapa Ardan menjadi pembangkang dan melawanku? Padahal dia sebelumnya anak yang paling penurut." jawabku tak kuasa menahan air mata.

Lagi-lagi, Bang Hasan hanya menunduk. Mungkin dia pun berpikiran sama tidak pernah menduga bahwa calon menantunya itu adalah mantan istri mudanya dulu.

Setelah sampai di rumah aku benar-benar menumpahkannya, masuk ke kamar membanting tubuhku di tempat tidur. Entah apa yang harus aku lakukan? Jangankan untuk tidur, terpejampun aku tidak bisa.

***
Setelah hampir sebulan lebih aku tidak lagi mendengar kabar dari Ardan. Karena setelah menikah dia tidak pernah datang ke rumahku. Dan aku juga belum siap untuk menerima semuanya, hatiku terlalu sakit. Aku juga tidak peduli lagi apapun yang akan dia lakukannya sekarang.

Hari itu adalah hari Minggu. Kebetulan aku tidak lembur. Aku hanya beres-beres di rumah yang dibantu Queensya.

Setelah selesai pekerjaan rumah, aku berselonjor di bale-bale sambil menerawang jauh menentramkan hatiku. Ada rasa rindu terhadap Ardan. Bagai magnet, kerinduanku seperti tersampaikan terbawa oleh angin. Tiba-tiba Ardan datang dengan membonceng Sindy, kemudian mereka pun turun dari sepeda motornya

" Assalamualaikum Ma, " ucap Ardan sambil meraih tanganku. Aku hanya terpaku, namun mataku langsung menatap tajam ke arah Sandy.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience