Kesal

Family Series 3263

Angin dingin menyapa malam, menerpa sebagian tubuhku masuk tanpa permisi lewat lubang kecil dari kamarku. Aku berusaha untuk memejamkan mata. Namun pertanyaan Ardan seakan mengganggu pikiranku.

Aku tidak tahu jawaban apa yang akan membuat Ardan mengerti.soal perasaanku. Rasa cinta di hati sudah tidak ada lagi. Yang ada hanya perasaan kasihan terhadap Bang Hasan. Bahkan rasa sayang itu sudah hilang. 'Ah, masa bodo!' gumamku sambil membalikan badan ke kanan lalu kupeluk batal guling. Setelah itu tidak ingat apa-apa lagi dan terbuai oleh mimpi.

***
"Ma, maaf, aku tidak bisa ajak Dina ke rumah ini." ucap Ardan.

"Emangnya kenapa kamu tidak bisa ajak dia ke sini?" tanyaku heran saat kami sedang santai sambil menikmati ubi goreng dengan teh hangat.

"Katanya sibuk, Ma. Soalnya dia lembur terus." jawab Ardan.

"Sesibuk itukah? Apa tidak ada waktu izin hanya sehari saja?" tanyaku lagi.

"Dia bilang tidak bisa, Ma. Karena lagi banyak banget orderan. Ya, sudah , Mama langsung lamar Dina saja, ya." pinta Ardan..

"Aa jadi mau nikahin dia, yang janda itu?" tanya Queensya.

"Ya jadi, Queen. Memangnya kenapa kalau dia janda? Kamu tidak suka?" balas Ardan seperti tidak suka dengan pertanyaan adiknya itu.

"Lha, siapa bilang aku tidak suka? Emangnya salah kalau aku nanya? Lagian tuch, A. Seharusnya dia minta izin walau sehari saja buat bertemu sama Mama" balas Queensya tidak mau kalah.

"Sudah, ah. Jangan ribut. Kalau memang itu alasannya. Ya sudah, bulan depan Mama akan melamarnya. Terus, apa kamu mau langsung nikah saja sekalian?" tanyaku.

"Iya, Ma. Kalau bisa jangan lama-lama." pinta Ardan

"Cie ... yang mau nikah gak sabaran banget." goda Queensya. Ardan tersipu.

"Ich, kamu apaan, Queen?" sahut Ardan.

"Aku senang akhirnya Aa mau nikah, sebentar lagi aku akan punya kakak ipar, terus punya ponakan." balas Queensya terlihat begitu bahagia.

"Ardan, Queensya. Kalian masuk kamar dulu gih. Mau ada yang Mama sampaikan sama Bapak kalian." perintahku.

Merekapun menurut, meninggalkan aku untuk menghampiri Bang Hasan di ruang TV dengan acuh tak acuh. Sebenarnya aku malas untuk mengajaknya bicara.Tapi demi Ardan terpaksa aku harus berdiskusi soal Ardan.

"Tuh, Bang. Anakmu sudah minta nikah. Apa kamu punya uang untuk membantuku soal biaya pernikahannya? Karena kalau nikah di kampung kita biayanya tuch besar, Bang." ucapku. Bang Hasan hanya menunduk, seperti kehabisan kata-kata.

"Maafkan Abang, Ma. Abang tidak bisa membantu." jawabnya dengan enteng seperti tidak ada beban.

"Ya, terus , Abang mau lepas tangan dan diam saja, gitu?" tanyaku mulai emosi.

"Ya, Abang barus bagaimana? Mama kan tahu Abang cuma pengangguran." jawabnya lagi tanpa beban.

"Iya, aku tahu Abang gak kerja, tapi cari cara lain, kek? " jawabku yang mulai kesal.

"Maafkan Abang, Ma. Abang tidak bisa membantu." sahutnya tanpa ekspresi.

"Iya, Abang emang dari dulu tidak pernah bisa membantu, karena Abang sudah terbiasa dan keenakan terus tergantung sama istri. Sekarang pas anak istri minta bantuan gak bisa. Kalau gangguin janda sama si kurus tuh bisa!" celotehku dengan nada yang agak keras.

Bang Hasan hanya diam. "Udah lah, percuma minta bantuan sama Abang tuh tidak ada gunanya." lanjutku sambil menghentakkan kaki pergi ke dapur untuk mengambil nasi, karena aku baru sadar kalau perutku sudah terasa lapar.

Aku mengambil sepiring nasi , lalu makan dengan santainya duduk di pintu dapur yang menghadap ke arah rumah Diah.

"Ima, kok makan sendirian aja. pake melamun segala lagi. " ucap Diah tiba-tiba dia sudah ada di depanku.

"Iya nich, enak sendirian. Kamu mau? Sini gabung, atau mau bareng di temenin Bang Hasan?" tawarku. Diah, janda di belakang rumahku itu tersenyum.

"Eh, Ima, kamu teh jangan gitu atuh. Emang aku ini janda apaan? Kamu cemburu ya sama aku?" balasnya.

"Ich, cemburu apaan? Sorry, ya." sahutku sambil meneruskan suapan.

"Itu buktinya," sambung Diah.

"Iya, buktinya aku sedang makan." aku bangun dan menutup pintu, terdengar Diah cekikian menertawakanku yang meninggalkannya.

"Kalau cemburu bilang saja, pake pura-pura segala." lanjutnya , terdengar Diah bicara sendiri, akupun tidak meladeninya.

"Mama lagi ngomong sama siapa?" tanya Bang Hasan tiba-tiba ada di belakangku.

"Ngomong sama janda idaman Abang?" jawabku.

"Kenapa, Abang kangen ya." tanyaku sambil mencuci piring bekas makanku. Bang Hasan terdiam, karena dia tahu kalau sampai meladeniku bisa perang dunia.

Bang Hasan melangkah menuju tudung saji. Namun meja terlihat kosong, dia menghela napas. Akupun pura-pura tidak melihatnya. Mungkin dalam pikirannya, akulah orang yang tega.

***
Seperti yang sudah di rencanakan. Aku segera pergi ke rumah Dina untuk melamarnya sekaligus menikahkan Ardan dengannya. Tidak banyak rombongan yang ikut serta. Hanya tiga mobil dari keluargaku saja karena atas permintaan dari pihak Dina dengan alasan tempatnya yang sempit dan tidak mau terlalu ramai.

Iring-iringan mobil melaju dengan kecepatan sedang dengan jarak tempuh yang lumayan jauh.

"Jauh juga ya rumahnya Dina. Apa ini masih lama, Ardan?" tanyaku yang satu mobil dengan anakku, Bang Hasan, Queensya dan beberapa kerabatku..

"Nggak kok, Ma. Sebentar lagi juga sampai. Cuma dua jam," terang Ardan.

"Aa ketemu Teh Dina di mana?" tanya Queensya.

"Di tempat Aa kerja, pabrik tempat dia bekerja sama tempat Aa tuch berdekatan. Dia sering belanja . Nah, pas pulang belanja tiba-tiba hujan deras, akhirnya dia di luar nungguin hujan reda sampai malam. Dari situlah kami kenalan." terang Ardan.

Tidak terasa hampir dua jam berjalan akhirnya kampiun sampai di rumah Dina. Kami di sambut dengan sangat baik sebagai awal perkenalan. Tetapi yang menyambut kami seorang pria dan wanita paru baya serta yang lainnya. Tidak nampak pengantin wanita menyambutku. Dina, dia seorang anak yatim piatu.

Setelah beramah tamah dan mengutarakan maksud kedatanganku, maka acara lamaran dan pernikahan akan segera di mulai.

"Begitulah, maksud kedatangan kami ke sini untuk meminang dan meminta Neng Dina menjadi istri Ardan. Semoga yang bersangkutan berkenan untuk menerimanya." tutur Bang Hasan sebagai perwakilan dari keluargaku "Bagaimana, Bapak? Apa lamaran kami di terima?" lanjutnya. Terlihat pria itu menarik napas.

"Kalau saya sich tidak keberatan, dengan senang hati kami menerimanya. Tapi untuk lebih jelasnya kita tanya dulu sama yang bersangkutan." jawab pria itu yang aku ketahui namanya. Menurut Ardan dia adalah Ua-nya Dina.

"Bu, panggil Dina untuk segera ke luar dari kamarnya." perintah bapak itu kepada wanita yang ada di sampingnya. Mungkin dia adalah istrinya.

"Baik, Pak." jawab wanita itu seraya bangkit dari duduknya dan menuju sebuah kamar. Aku menunggu wanita calon menantuku itu dengan tidak sabar, begitu juga dengan yang lain dan terlebih Ardan, Dia seperti harap-harap cemas.

Namun calon istrinya itu belum juga terlihat ke luar membuat kami semakin penasaran.

"Sebentar ya, Bu. Dina masih belum selesai di make up." jelas seorang wanita yang cukup muda ke luar dari kamar untuk memberitahu kami.

Waktu sudah menunjukkan jan sebelas siang. Kami dan penghulu serta yang hadir tidak sabar lagi menunggu.

Setelah beberapa menit menunggu keluarlah tiga orang wanita yang sedang mengapit calon menantuku. 'Luar Biasa' gumamku yang mengagumi kecantikan calon menantuku itu. Dia memang benar-benar terlihat sangat cantik.

Aku terus memandangnya dari atas sampai bawah. Kemudian aku mengernyit setelah menelisik lebih jauh. Aku merasa seperti tidak asing dengan sosio wanita yang ada di hadapanku.

Keringat dingin mulai bermunculan seiring dengan degup jantungku. Dan kulihat wajah yang mulai pucat dari pengantin wanita itu. 'Tidak salah lagi' gumamku semakin yakin dengan menahan perasaanku yang mulai tidak menentu.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience