Jadi Ojek Langganan

Family Series 3263

Setelah meminta izin kepada Maima. Setiap pagi aku berangkat untuk mengantar Sindy dan kembali menjemputnya saat dia mengabariku ketika jam pulang.

Kebetulan aku tidak lagi mengantar jemput Maima, karena dia bawa motor sendiri. Jadi selalu ada waktu kapan Sindy memintaku untuk menjemputnya.

Tidak terasa tiga bulan sudah aku menjadi ojek langganan Sindy. Aku kasihan di umurnya yang masih muda dia sudah mau bekerja, persis seperti waktu aku kenal dengan istriku.

Badannya kurus, tetapi dia anaknya cekatan dan periang. Dia juga sangat royal dan baik, bukan hanya bayaran yang setiap bulan dia kasih sebesar lima ratus ribu, tetapi juga setiap kali gajian selalu membelikan aku barang baru. Seperti sandal, jam tangan, jaket, juga sepatu.

Aku tidak berani menolak walaupun terkadang kasihan melihatnya, tetapi kapan lagi bisa hidup enak, di manja sama istri dan di perhatikan sama pelangganku. Sindy adalah tulang punggung keluarganya. Bapaknya sudah cukup tua dan ibunya sedang sakit, aku seperti melihat anakku-Ardan, karena dia hampir seumuran.

Malam itu hujan begitu deras, aku hanya bawa mantel satu dan helm, akupun mengalah dan memberikannya kepada Sindy.

"Neng, kamu pakai saja ya helm sama mantelnya," tawarku yang cukup lama menunggu.

"Eggak usah, Bang. Abang saja yang pakai," tolaknya.

"Sudah. Pakai saja, hujannya deras, nanti kalau kehujanan sakit, kasihan Ibu sama Bapak khawatir," tawarku lagi.

"Makasih ya, Bang. Terus Abang gimana?" tanya Sindy

"Kalau Abang sich, gampang. Abang sudah terbiasa kehujanan," jawabku.

Akhirnya Sindy mau juga memakai mantel dan helm yang aku berikan sambil menunggu hujan reda, karena memang sedang musim hujan. Bagiku, kesehatan penumpang adalah prioritasku, aku tidak mau penumpangku sakit akibat kehujanan karena naik ojekku.

Setelah hujan reda aku mulai mengantar Sindy pulang.

"Pegangan Neng yang kencang, takut jatuh," titahku.

Dengan polosnya Sindy menurut saja, mantel yang hanya satupun dia pakai.

Setelah sampai di rumah Sindy, bajuku basah kuyup. Aku pun menumpang berteduh sebelum pulang. Sindy membuatkan aku teh hangat dan di kasih baju ganti dari kakak laki-lakinya. Awalnya aku menolak, tetapi mereka memaksa dengan alasan kasihan karena takut aku sakit.

"Bang, itu bajunya basah banget. Mending Abang ganti dulu dech. Ini ada baju Bang Ferry." tawar Sindy sambil memberikan baju kepadaku.

"Tidak usah, Neng. Abang mau langsung pulang saja." tolakku tidak enak hati.

"Sudah, Bang. Pake saja, takut nanti sakit siapa yang mau antar jemput aku? pulangnya nanti saja kalau hujannya sudah reda." sahut Sindy sedikit merajuk yang menurutku malah bikin gemas.

Aku pun tidak bisa lagi menolaknya untuk berganti baju dan menumpang di kamar mandi lalu menunggu hujan reda. Di sampingku sudah tersedia segelas air teh hangat bikinan Sindy.

"Itu, Bang, di minum air tehnya." tawarnya.

"Terima kasih, Neng. Tidak usah repot-repot." balasku.

Setelah hujan reda dan menghabiskan segelas air teh hangat, akupun pulang dengan baju yang berbeda. Maima belum datang, jadi bajunya langsung aku buka dan ganti, untunglah di rumah masih sepi. Quinsya entah ke mana?. Baju yang aku pakai dari Sindy langsung aku masukin ke dalam jok motor biar Maima tidak tahu.

***
Paginya seperti biasa, setengah enam pagi aku sudah rapi untuk ke rumah Sindy. Karena dia biasa pergi jam enam terkadang setengah tujuh. Aku tidak bedanya seperti karyawan, pergi pagi dan malam baru pulang. Maima juga sudah rapi, walaupun dia sibuk dengan pekerjaan di pabrik dan di rumah dia tidak pernah mengeluh, ia masih saja melayani keperluanku.

Seperti pagi itu dia sudah menyiapkan sarapan untukku lengkap dengan sepiring nasi uduk dan gorengan. 'Ah, betapa enak hidup ini selalu dapat pelayanan gratis dari Maima, aku juga tidak perlu kasih dia uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Maima juga tidak pernah protes, dia selalu bisa mengatur keuangannya. Bahkan dia juga mau menambah uang setor untuk cicilan motor. Di rumah Sindy juga kalau malam dia selalu mengajak makan di warung pecel dengan gratis pula. 'Lalu nikmat mana lagi yang ingin aku tinggalkan? ' aku membatin bahagia.

Usai sarapan akupun pergi lebih dulu, sedangkan Maima membereskan sisa sarapanku.

Setengah jam kemudian aku sudah sampai di rumah Sindy. Aku langsung membuka jok motor mengeluarkan baju basah yang aku pinjam kemarin sore.

"Neng, terima kasih ya bajunya. Tapi maaf, tidak Abang cuci dulu, takut istri Abang tahu dan salah sangka." ujarku.

"Iya, Bang. Aku ngerti kok. Lagian kenapa juga harus Abang balikin?" jawab Sindy sambil menerima baju basah.

Entah mengapa aku melihat Sindy semakin hari semakin cantik. Badannya juga mulai berisi, dia seperti buah yang masih sangat ranum.

Melihatnya naluri kelelakianku mulai merasa aneh. Terlebih kalau berdekatan dengannya, diapun seperti tidak menolak kalau aku memintanya untuk memeluk saat di atas motor berdua.

Sindy juga seperti cemburu kalau aku bilang tidak bisa menjemput karena sedang ada acara bersama istriku, dia menbik dan membuang muka.

"Udah deh, Neng. Jangan marah gitu, ini kan acaranya keluarga istri Abang. Nanti kalau Abang tidak datang ke acara pernikahan ponakan Abang 'kan gak enak." jelaskku.

Ya memang di rumahnya bibi istriku sedang ada acara resepsi pernikahan.

"Ya terus, kapan dong Abang punya waktunya berduaan denganku?" jawabnya ketus.

"Lha, bukannya setiap pagi, juga malam kita berduaan terus, Neng?" jawabku tidak mengerti dengan jawaban Sindy.

"Itu 'kan lain lagi, Bang. Maksudku kita pergi ke acara berdua."jelasnya dengan duduk manja.

"Maksud, Neng. Berdua gimana? Udah, ah. Neng jangan yang aneh-aneh. Abang ini punya anak istri. Neng juga pasti kan sudah punya pacar," balasku.

" Kata siapa aku punya pacar? Pacarku tuh 'kan Abang. Lagi pula kalau aku punya pacar gak mungkinlah aku masih di antar Bang Hasan." balasnya.

Jawaban Sindy itu seperti memancingku. Kulihat dia gadis yang lugu, tetapi aku salah. Setiap berdua selalu seperti terus memancingku dengan bicara dan sikapnya yng sedikit manja.

"Neng, ini udah malam, Abang harus pulang, takut kalau nanti istri Abang kepikiran," jawabku.

"Apa tidak nanti saja, Bang? Ini juga baru jam sambilan belum jam sepuluh. Bapak juga tidak melarang kok," cegah Sindy.

"Nanti lagi Neng, Abang mampir," jawabku sambil mempersiapkan helm.

Sindy terlihat kecewa, dia langsung masuk ke dalam rumahnya dan menutup pintu sedikit keras. Jujur, sebenarnya aku juga masih sangat betah kalau sudah berdua dengan Sindy. Tetapi aku tahu diri hanya lelaki yang punya anak istri.

Akupun pulang tanpa di antar Sindy. Sesampainya di rumah, ternyata Maima sudah pulang. Ia menyambutku sembari menyalami tanganku.

"Bang, kok semakin ke sini pulangnya semakin malam sih," protes Maima.

"Ya, mau gimana, Ma. Kan kalau siang penumpang sepi, banyak ojek online. Makanya mulai dari jam empat sore, jam lima sampai jam sepuluh Abang suka nyari penumpang ke pabrik, kali aja ada mau ngojek. Jalannya juga kadang tiba-tiba macet kalau pas Abang narik jauh." elakku sekenanya.

"Oh, gitu, bukan jalan yang macet kali, tapi hati kamu yang macet, Bang," balas istriku.

"Tuh, kan, Mama mulai lagi dech. Percayalah, hati Abang cuma macet di hati Mama aja," godaku agak lebay.

"Halah ... gombal. Pasti kalau gitu ada maunya," balasnya sedikit mencebik.

"Iya nich, memang Abang ada maunya, mau di bikinin kopi sama Mama," rayuku sambil memeluk dan ku cium bahunya biar tidak panjang lebar bicaranya.

Kalau sudah begitu pasti istriku tidak akan menolak walaupun dia merasa lelah dan capek, dia akan segera menurut. Maima pergi kedapur, belum lima menit dia sudah kembali dengan secangkir kopi panas.

"Nich, Bang, kopinya. Aku tidur dulu ya," izinnya sambil melangkah ke dalam kamar.

Sedangkan aku masih duduk santai sambil menunggu kopi dingin buatan istriku sembari melihat layar kaca yang ada acara bola.

Tiba-tiba pikiranku teringat akan sosok Sindy. 'Ah, betapa indah dan asyiknya kalu aku beristri dua. Sindy masih muda serta perhatian, dan Maima istriku yang bahenol sangat pengertian.' gumamku sambil senyum-senyum sendiri.

Tiba-tiba aku terperanjat saat tanganku meraih cangkir kopi dan langsung menyeruput. Sontak lamunanku buyar ketika bibirku terasa panas. Lupa kalau kopi yang di buatin istriku airnya masih sangat panas. Ambyar deh semua.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience