Mati Rasa

Family Series 3263

"Memangnya Mama kepikiran apa? Dari tadi kelihatan bingung, mondar-mandir kaya layanagan putus?" tanya Ardan.

"Begini, Queen, Ardan. Mama tuh mau di angkat jadi supervisor." jawabku.

"Ya, terus." tanya Queensya yang mendengarkan sangat serius.

"Ya, Mama bingung aja." jawabku lagi.

"Mama bingung kenapa? Kan enak jadi supevisior, gajinya gede." Ardan menimpali.
"Mama tuch belum siap. Mama sudah minta orang lain, tapi Pak Heru tidak mau." jawabku serius.

"Kenapa gak di terima, Ma? Wajar kan Pak Heru kalau meminta Mama jadi supervisior, karena Mama tuh bekerja sudah lama. Ini kesempatan lho, Ma. Biar Mama bisa mengasah kemampuan kalau Mama ini tidak hanya jadi tukang jahit saja." tutur Queensya.

"Iya, Ma, kesempatan itu tidak datang dua kali. Mama bilang saja sama Pak Heru, kalau Mama sanggup." timpal Ardan.

Akupun mulai berpikir, dan Bang Hasan seperti ikut mendengarkan dengan seksama. Mungkin dia sedang berharap aku untuk meminta pendapatnya. Tapi semenjak dia menikah lagi hubunganku sudah tidak seperti dulu lagi. Aku jadi jarang bicara dan sudah seperti mati rasa.

"Queensya, Ardan, jadi supervisor itu berat tanggung jawabnya, harus selalu pulang terakhir, apa lagi kalau mau ekspor dan tidak bisa mencapai target. Kayanya Mama gak sanggup dech." terangku mencoba memberikan pengertian terhadap kedua anakku itu.

"Ya, namnya juga di gaji orang, Ma. Itu sudah resiko. Emangnya Mama mau jadi tukang jahit terus? Emangnya Mama gak mau maju? " tanya Queensya, setelah itu kami terdiam

"Tapi masalahnya ..." ucapku terjeda sambil melirik ke arah Bag Hasan.

"Tapi masalahnya apa lagi, Ma?" Queensya bertanya lagi. Bang Hasan seperti paham dengan maksudku.

"Queensya, kamu teruskan ngobrolnya sama Mama, Bapak tidur duluan." izin Bang Hasan langsung berdiri dari tempat duduk menuju kamarnya yang ada di belakang.

"Aku juga izin tidur duluan." timpal Ardan. Aku membalasnya dengan tersenyum dan meng-iyakan .

Setelah yakin Bang Hasan tidak terlihat lagi, kami kembali melanjutkan pembicaraan.

"Tapi apa sih, Ma? Mama mau ngomong apa tadi?" lanjut Queensya penasaran.

"Masalahnya, Pak Heru itu duda." jawabku setengah berbisik.

"Ya terus, apa hubungannya sama Mama yang mau di angkat jadi supervisor? Jangan-jangan Mama suka ya sama Pak Heru? Yang konon katanya kegantengannya itu mengalahkan Indra Brugmen." sambung Queenysa.

"Ich, kamu apa-apaan sihc? Ya, Mama gak enak saja. Berhubung Mama di minta untuk menggantikannya dan belum paham, pastinya Mama nanti banyak bertanya untuk minta bingbingannya. Apalagi di pabrik teman-teman Mama suka sekali godain Mama sama Pak Heru." terangku.

"Ya, bagus itu. Mama kan bisa hiburan biar gak bete terus." jawab Queensya seperti menggodaku.

"Queensya, kamu apa-apaan? Udah, mending kamu tidur, sana. Mama juga sudah ngantuk." titahku sambil melangkah masuk ke kamar.

Rupanya Bang Hasan belum tidur, ia masih mendengarkan pembicaraan kami. Terlihat dia mengintip dari celah kunci pintu ruang tengah.

***
Pagi, seperti biasa jam setengah tujuh aku sudah pergi. Kalai tidak macet cukup setengah jam untuk sampai ke tempatku bekerja. Masih ada waktu setengah jam lagi untuk sarapan di warung kopi. Karyawan lain sudah banyak yang berdatangan dan turun dari mobil jemputan bagi mereka yang jaraknya lumayan jauh.

"Teh Ima, kelihatannya seger baner tuch hari ini."

"Iya nich, gak biasanya."

"Wah, jangan-jangan udah cair." goda mereka, akupun tersenyum dengan celotehan temanku. Tiada hari tanpa bercanda dan akulah yang selalu menjadi sasaran mereka.

"Cair apaan sich? Nih yang cairmah kopi." jawabku sambil menyeruput kopi yang masih terasa panas.

"Itu yang di panggil Pak Heru kemarin. Bonusnya pasti udah cair." sambung mereka.

"Teh, di panggil Pak Heru tuch."

Belum sampat aku menjawab celotehan mereka, sebuah manggilan terdengar dari temanku yang lain.

"Iya, nanti aku ke sana. Terimakasih, ya." balasku.

"Cie ... baru di omongin." timpal mereka hampir bersamaan.

Kemudian aku segera bergegas untuk menemui Pak Heru di ruangannya setelah membayar semua sarapan, dan pamit kepada mereka. Aku pun masuk ke ruangan kerja Pak Heru.

"Pagi, Pak." sapaku dengan sopan ketika berada di ruangan kerja Pak Haru.

"Iya, pagi, Ima. Silakan duduk." tawar Pak Heru, akupun duduk dengan sedikit berdebar.

"Maaf, Ima, langsung saja. Bagaimana, sudah kamu pikirkan? Apa kamu mau menerima tawaranku yang kemarin?" tanya Pak Heru langsung. Aku sedikit menunduk lalu menengadah menghadap dengan sedikit menatap Pak Heru.

"Iya, Pak. Aku mau menerima tawaran Bapak." jawabku dengan yakin.

"Jadi, kamu yakin mau menerimanya, Ima?" tanya Pak Heru seakan jawabanku itu belum jelas.

"Iya, Pak, aku yakin." aku menjawab dengan serius, karena aku tahu Pak Heru bukan orang yang suka bertele-tele soal pekerjaan.

"Aku senang dengan keputusanmu, mulai hari ini kamu bisa langsung bekerja menggantikanku, Ima. Kamu jangan khawatir, aku akan mengajarimu, tinggal tanya apa kesulitannya nanti." terangnya.

"Iya, Pak," jawabku.

"Ima, berhubung kamu sudah menerima tawaranku, maka aku mau semua karyawan line satu untuk berkumpul." balas Pak Heru.

Akupun segera pamit ke luar untuk memberitahukan agar karyawan line satu segera berkumpul karena ada sesuatu yang ingin Pak Heru sampaikan, merekapun berkumpul penuh dengan semangat, dan tersenyum sambil berbisik-bisik dengan melihat ke arah Pak Heru yang mereka sebut mirip Indra Brugman.

Pak Heru segera mengumumkan posisiku untuk menggantikannya. Dengan bersukaria semua sahabatku yang sudah kuanggap sebagai saudara menyambutku dengan gembira. Mereka pun memberikan ucapan selamat, tapi tidak sedikit dari mereka yang terus menggodaku dan Pak Heru. Aku hanya membalasnya dengan tersenyum.

***
Setelah pengangkatan itu, hari demi hari kulalui, banyak hal yang tidak aku pahami tapi dengan sabar dan telaten Pak Heru selalu mengajariku disaat ada yang tidak aku mengerti.

Tiga bulan sudah berlalu, aku pun tidak lupa mengundang teman-teman ke rumahku hanya sekadar untuk berkumpul di saat order sepi dan selalu pulang sore.

Tidak lupa aku pun memperkenalkan mereka kepada anak-anakku dan Bang Hasan. Ada rasa tidak suka dari wajah suamiku itu ketika melihat Pak Heru, dia seperti cemburu.

Kegantengan Pak Heru itu memang bukan hanya sekadar omong kosong. Jadi wajar kalau Bang Hasan merasa cemburu. Di tambah lagi dengan pujian dan sanjungan dari sahabatku yang mengakui kehebatanku karena aku berhasil menjadi supervisor line atas bantuan Pak Heru.

"Hebat ya Teh Ima. Padahal baru tiga bulan pegang line, tapi udah bisa membuat line kita terus mendapat target. Jadi, kita bisa libur dan dapat bonus terus." puji mereka.

"Siapa dulu dong gurunya? Pak Heru ..., Pak Heru kan hebat."

"Eh, tapi emang bener kan, kalau Pak Heru itu hebat?"

"Iya, kita jadi dapat target terus nich." celoteh mereka saling berbalas.

"Kalian bisa saja." balas Pak Heru tersipu mendengar pujian dari mereka.

"Tapi emang bener kok, Pak. Bapak sama Teh Ima ini emang klop, bisa bekerja sama dengan baik." sahut mereka.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience