Tak Peduli Lagi

Family Series 3266

"Eh, ada Bang duda," godanya sambil tersenyum mengejek, aku hanya diam.

Masih ingat dulu waktu Maima kerja. Diam-diam aku sering kerumahnya. Walaupun dia janda beranak tujuh, tetapi ia bukanlah wanita yang mudah menerima sembarang laki-laki. Diah tidak segan akan mengusirnya.

"Ngapapin kamu main ke sini, Bang? Nanti Teh Ima marah baru tau rasa. Mending Abang pulang, sana!" usir Diah.

"Ye elah, Pok Diah. Cuma main doang," candaku, berusaha mendekati. Dia menggeser posisi duduknya. "Ini Pok Diah, untuk jajan anak-anak." lanjutku memberikan uang satu kembar berwarna biru.

Aku juga tidak segan ngasih dia uang dengan alasan untuk jajan anaknya, walaupun uang itu jatah buat rokok dan kopi yang aku minta dari Maima. Diah menepis tanganku dan selalu mengusirku kalau bertandang ke rumahnya, aku memaksa. Tetapi Diah kembali menolak saat aku mendekati dirinya sampai akhirnya aku putuskan menjadi ojek langganan Sindy

"Nyuci nich ceritanya, emangnya istri sama anaknya ke mana, tuch? Oh, iya. Lupa kalau kemarin-kemarin tuh di usir. Emangnya enak punya istri dua, hihi?" ejeknya membuat hati ini terasa pilu. Aku diam tidak ingin menanggapinya, kemudian dia berjalan pergi dengan menggerakkan pinggulnya seolah sengaja menggodaku.

Selesai menjemur aku mencuci beras dan memasukkannya ke Magicom. Hari itu aku benar-benar ingin Maima tidak mengerjakan pekerjaan rumah yang sebelumnya tidak pernah aku kerjakan apalagi membantunya.

Begitulah hari-hariku. Seorang suami pengangguran yang kini menjadi suami di rumah untuk mengerjakan semua pekerjaan tugas istri demi kembali ingin di maafkan dan di akui sebagai kepala rumah tangga.

Maima juga tidak lagi sering marah-marah walaupun tidak mau bicara, dan aku sudah seperti kehabisan cara untuk membuat hatinya luluh.

Tetapi tidak apalah, yang terpenting dia tidak mengusirku. Aku juga tidak lagi berani meminta uang kepada Maima. Dia juga seperti sudah tidak peduli lagi terhadapku.

Maima juga sengaja menyekat ruangan dapur yang cukup luas untuk di jadikan kamarku. Kini, jangankan menyentuhnya, menyapa saja dia sudah tidak mau. Setiap kali melihatku dia selalu membuang muka.

Sekarang nasibku benar-benar terasa menyedihkan. Anakku, Quinsya juga sudah tidak mau lagi mengajakku bicara. Aku benar-benar seperti suami dan bapak yang tidak di butuhkan lagi.

Pov Maima

Aku pikir, setelah mengusir Bang Hasan dia benar-benar pergi dari rumahku. Tetapi aku salah, dia kembali dengan terus membujuk dan memohon maaf. Tetapi aku sudah malas memafkannya. Terlalu muak dengan kebohongan-kebohongan dia.

"Ngapain kamu datang ke sini lagi, Bang?!" bentakku masih merasa kesal.

"Ma, tolong maafin Abang. Abang tidak akan mengulanginya lagi. Abang benar-benar minta maaf." rengek Bang Hasan memelas.

"Maaf, Bang. Aku sudah muak! Kamu benar-benar telah membuatku benci. Kelakuanmu itu yang berulang kali. Maaf, aku tidak bisa, Bang. Sebaiknya Abang pergi dari rumah ini. Oh, jangan-jangan Abang juga di usir dari rumah istri mudamu, makanya pulang ke sini? Emangnya enak! Makanya Bang. Jadi suami tuh jangan banyak tingkah kalau hidup sendiri saja susah. Sekarang aja Abang balik ke sini." cercaku. Bang Hasan hanya diam tetapi tidak pergi. Dia tidur di bale-bale dengan tubuh yang terlihat lemas.

Aku meninggalkannya saat Quinsya datang dari rumah temannya dengan membawa dua bungkus bakso. Kebetulan aku sangat lapar. Kampiun membuka bungkusan bakso dan mulai memakannya dengan lahap.

"Wah, baksonya enak bener nich, Quin. Kamu beli dari mana?" tanyaku kepada Quinsya yang sengaja suara aku keraskan biar Bang Hasan mendengar.

"Di traktir teman, Ma. Iya nich enak banget baksonya, sebenarnya tadi aku sudah makan. Tapi pas pulang lapar lagi." Quinsya menimpali yang tidak kalah nyaring suaranya.

"Husstt ... suaranya jangan kencang-kencang, Quin. Nanti kedengaran ke luar ada yang lapar." sahutku menyindir Bang Hasan.

"Oh, suara Mama tuh yang harus di kecilin." balas Quinsya, lalu aku berdiri.

"Mama mau ke mana?" tanya Quinsya sambil membereskan sisa bakso.

"Mama mau lihat Bapakmu." jawabku sambil menyibakkan gorden sedikit.

Ku lihat Bang Hasan duduk termenung dengan tubuh menyandar ke tiang bale-bale sebagai penyangga. Matanya menerawang, dia seperti melamun. Lalu kembali kututup gorden.

"Mama ngapain liatin Bapak?" tanya Quinsya yang ikut mengintip.

"Quin, apa kamu tidak kasihan melihat Bapakmu seperti itu?" tanyaku, hanya sekadar ingin tahu reaksi Quinsya.

"Ya, Mama saja gak kasihan sama Bapak."balas Quinsya.

"Ya, bukan tidak kasihan, Quin. Bapakmu itu keterlaluan. Sudah, kamu tidur sana." titahku.

Kami pergi ke kamar masing-masing setelah hampir jam sepuluh malam, membiarkan bekas bakso di tempatnya.

Aku merebahkan badan dengan santai, tak peduli Bang Hasan di luar kedinginan ataupun kehujanan. 'Rasain kamu Bang' umpatku yang masih merasa kesal.

Jam enam pagi saat aku membuka pintu untuk ke luar, ku lihat Bang Hasan tidur di luar seperti kedinginan dengan kepala di alasi ransel bututnya sebagai bantal. Kakinya di lipat dan tangannya bersedekap. Aku bergegas melewatinya untuk pergi ke warung yang berjualan nasi uduk buat sarapan.

"Ima, kok beli uduknya cuma dua. Emangnya si Hasan gak di beliin, tuch?" tanya Bu Ikah- tukang uduk langganan yang setip hati bertemu.

"Bu Ikah ini gimana sich? Kan si Hasan tidak ada di rumahnya. Maima udah mengusirnya." timpal Bu Sati, sesama pembeli.

"Iya, Bu Sati. Si Hasan tuch emang udah di usir sama Maima. Tapi dia balik lagi, soalnya aku lihat kemarin seperti ada si Hasan tuh pulang bawa ransel. Eh, pas tadi pagi aku lewat depan rumah Maima. Emang bener tuch si Hasan sedang tidur di luar." terang Bu Sati.

"Benar itu, Ima? Si Hasan balik lagi ke rumah? Gak ada malunya ya tuh suami kamu." ucap Bu Roro menimpali-tetangga jauhku.

"Emangnya kamu mau balikan lagi sama si Hasan yang sudah sering nyakitin kamu, Ima? Kalau aku tuh amit-amit dech kalau harus balikan lagi." tanya Bu Rina-pelanggan Bu Ikah..

"Iya, tuh Mbak Ima. Mau-maunya menerima Bang Hasan." timpal pembeli yang lain. Aku hanya tersenyum.

"Ya, gimana Bu-ibu. Bang Hasannya datang sendiri." jawabku sambil tersenyum.

Warung Bu Ikah memang setiap pagi selalu ramai dengan ibu-ibu yang membeli uduk karena tersohor enak itu. Setelah setengah jam mengantri akhirnya aku pun pulang dengan membawa dua bungkus nasi uduk.

Setelah sampai di rumah, aku lihat Bang Hasan sudah terbangun. Aku sengaja melewatinya dan tidak bertanya. Bang Hasan hanya melirikku dan beralih ke arah bungkusan yang aku bawa.

"Quinsya, ini sarapannya. Kamu makan dulu ya, sebentar lagi Mama mau berangkat kerja." tithahku kepada Quinsay.

"Kok, belinya cuma dua, Ma. Buat Bapak mana?" tanya Quinsya sedikit keras suaranya.

"Gak usah mikirin Bapak kamu. Dia saja tidak mikirin kita, sebentar lagi istri mudanya datang buat anterin sarapan." sindirku, sengaja aku keraskan suaraku.

"Oh, gitu, Ma. Ya udah, Quin makan dulu ya, Ma. Tapi Ma. Bagaimana kalau Bapak tidak ada yang bawain makanan?" tanya Quinsya seperti khawatir.

Aku melirik ke arah gorden yang sedikit terbuka dan melihat Bang Hasan terlihat lemas, sepertinya dia memang benar-benar lapar, tetapi aku sudah tidak peduli.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience