Menantang Sindy

Family Series 3266

"Seharusnya akulah yang berterima kasih kepada Bapak, karena sudah mau membantuku. Aku tidak tahu lagi siapa orang yang harus di minta bantuannya. Teman-teman yang selalu ada dan mendukung, kini mereka seperti sudah tidak peduli lagi." ucapku, mengadukan keadaanku yang sekarang tanpa ada teman yang mau memberiku solusi di saat aku punya masalah, mereka seperti menjauh.

"Sudahlah, Ima. Aku harap permasalahan keluargamu cepat terselesaikan. Ingat, jaga kesehatanmu. Jangan sampai mempengaruhi pikiranmu, karena itu akan membuat Sindy semakin merasa di atas angin." terang Pak Heru sambil melajukan mobil. "Ima, kamu hati-hati, ya. Tetap sabar dalam keadaan apapun. Kalau kamu butuh bantuanku, aku selalu siap " lanjutnya. Aku hanya mengangguk kecil. Ada perasaan sungkan walupun kami sudah lama saling mengenal, baru kali itu aku merasa risih dan serba salah.

Perbincangan kamipun harus berakhir. Aku meminta Pak Heru untuk mengantar sampai di indomart, sekalian untuk berbelanja. Sedangkan dia pulang melaju dengan mobilnya dalam kecepatan yang lumayan kencang.

Aku pun masuk ke toko perbelanjaan untuk membeli keperluan dan pulang dengan menggunakan ojek. Di rumah, Ardan dan Sindy duduk berdua, sepertinya mereka sedang asyik berbincang, sesekali terdengar gelak tawanya.

Akupun masuk tanpa permisi. Mata Sindy terlihat mengarah kebelanjaanku yang ku bawa. Ia seperti sedang menyelidiki.

"Sayang, besok kamu ajak aku jalan-jalan ke Mal, ya." pintanya kepada Ardan.

"Belanja apaan sich? Kemarin kan habis belanja, tas, baju. Lagi pula, Ayang kan belum sehat betul." balas Ardan.

"Ich, Sayang, kok kamu pelit sich." ucap Sindy manja, aku yang mendengar perbincangkan mereka sedikit membuang muka.

"Bukan pelit, Sayang. Tapi aku belum punya duit. Duitnya habis di pakai belanja kemarin." jawab Ardan, aku tidak menghiraukan pembicaraan mereka. Pura-pura tidak mendengar.

"Ya, udah! Kamu minta sama Mamamu aja. Dia kan. habis belanja." usul Sindy menyeru. Ardan menoleh dan mendekatiku yang belum sempat masuk kamar.

"Ma, dengar tuch. Sindy mau belanja. Aku minta uang." ucap Ardan.

"Maaf, Ardan. Uang Mama sudah habis untuk biaya pengobatan Sindy. Iistri penipumu itu." jawabku tidak bisa lagi mengandalikan emosi dengan kebohongannya.

"Maksud perkataan Mama tuch apa, bilang Sindy istri penipu? Siapa yang sudah menipu? Tolong, Ma. Jangan mulai lagi dengan terus memancing emosiku. Kalau memang Mama tidak mau kasih uang. Ya, sudah. Jangan bicara yang bukan-bukan." sahut Ardan emosi. Aku pun tidak meladeninya, langsung pergi ke dapur untuk melihat isi kulkas sebelum Sindy merajuk kepadaku.

***
"Ardan, boleh Mama minta waktunya sebentar? Ada yang mau Mama bicarakan." ucapku saat menuju dapur untuk mengambil air minum, kebetulan Ardan sedang berada di meja makan, dan Sindy masih tertidur.

"Mama mau bicara apa? Maaf, tidak ada waktu untuk kita bicara lagi. " jawab Ardan tanpa sedikitpun mau menoleh ke arahku. Bahkan dia berniat meninggalkanku.

"Sebentar saja, ini penting. Ardan, kamu tahu dari mana Bidan Emma." tanyaku, mendengar pertanyaanku Ardan mengurungkan niatnya untuk pergi.

"Kok, Mama nanyain Bidan Emma. Ya, sejak Sindy hamilah. Dia sering periksa kandungan." jawabnya.

"Kamu yakin itu bidan beneran, sejak kapan dia praktek di situ?" tanyaku menyelidik.

"Kan tadi udah aku bilang, sejak Sindy hamil. Aku tidak tahu kapan Bidan Emma praktek. Lagi pula, Mama ini apa-apaan sich pake nanyain bidan Emma segala?" jawabnya agak sewot.

"Ardan, kemarin sore Mama habis dari rumah Bidan Emma. Tapi dia tidak ada di rumahnya. Mama hanya bertemu dengan tetangganya. Katanya tidak ada yang namanya Bidan Emma." tuturku tidak bisa lagi menyembunyikan perasaanku. Ardan terlihat bingung

"Mama ini apa-apaan sich? Jelas-jelas waktu Sindy keguguran berobat di sana. Tolong, dech, Ma. Jangan mengada-ada, jangan membuat aku pusing." balas Ardan. Udah aku tebak, pasti dia tidak akan percaya dengan omonganku.

"Baiklah, nanti sore kita datangi rumah Bidan Emma, dan Mama akan membuktikan kalau Bidan Ema itu benar-benar tidak ada. Menurut tetangganya, itu rumah orang Jakarta yang di kontrakan sama pemiliknya." terangku.

"Hahaha, Mama ... Mama. Mana ada rumah itu punya orang lain. Sedangkan Bidan Ema benar-benar praktek di situ, dan setiap bulan Sindy memeriksakan kandungannya sama dia. Oke! Kalau Mama menuduh Sindy berbohong, kita buktikan. Nanti sore kita datangi rumahnya setelah aku pulang kerja." balas Ardan menyetujui, aku mengangguk

"Sudah bicaranya, aku mau membangunkan Sindy. Nanti dia kesiangan dan aku harus berangkat kerja. Mama kalau mau berangkat kerja, silakan. Tapi tunggu dulu aku mau menanyakannya kepada Sindy apa yang tadi Mama bilang. Sebenarnya siapa yang sudah menipu?" balasnya sambil melangkah. Aku menunggunya di ruang tamu.

"Sayang, Sayang cepat bangun. Ada yang mau aku tanyakan sama kamu." aku mendengar Ardan membangunkan Sindy.

"Iya, ada apaan lagi, Sayang? Aku masih ngantuk. Emang ini jam berapa?" tanya Sindy malas.

"Sudah jam enam. Makanya cepetan bangun, nanti kamu kesiangan." balas Ardan.

"Kenapa kamu tidak bangunin aku dari tadi? " jawab Sindy balik bertanya.

"Sayang, kan tahu kalau aku yang bangunin kamu pasti akan marah. Sayang, aku mau tanya sesuatu sama kamu." ucap Ardan.

"Kamu mau tanya apa, Sayang? Cepetan, aku masih ngantuk nich. Oh, iya, aku mau langsung mandi saja. Tolong, kamu siapin sarapannya untukku." suruhnya kepada Ardan.

"Sayang, tadi aku ketemu Mama di dapur. Mama bilang, katanya kemarin habis dari rumah Bidan Emma. Tapi kata Mama itu bukan rumahnya. Itu hanya rumah orang lain yang di sewakan. Apa itu benar?" tanya Ardan

"Apa?! Mama kamu habis dari rumahnya Bidan Emma? Lancang sekali Mamamu. Emang mau ngapain dia ke sana?" jawab Sindy agak terkejut dan terdengar sangat marah.

"Aku tidak tahu, mungkin itu yang semalam Mama bilang kalau kamu penipu." jawab Ardan.

"Ya, terus, kamu percaya sama omongan Mamamu? " Sindy kembali bertanya.

"Ya, tidaklah, Sayang. Makanya nanti pulang kerja kita sama Mama datangin rumahnya Bidan Emma. Benar apa enggak kalau beliau itu tidak ada di sana. " balas Ardan.

"Sayang, kok Mama kamu semakin kesini semakin keterlaluan. Dia pikir aku berbohong dan pura-pura hamil. Baik, pokoknya nanti sore pulang kerja kita ke sana. Akan aku buktikan siapa sebenarnya yang berbohong dan menipu." Sindy terdengar menyahut seperti emosi.

"Sayang, kamu mau kemana?" tanya Ardan.

"Aku mau cari Mamamu. Apa maksudnya dia bicara seperti itu? Makin nggak jelas saja omongannya. Itu sama saja dia fitnah aku." jawaban Sindy terdengar kesal.

"Ibu mertua ..!!" Teriakan Sindy dari kamarnya terdengar nyaring olehku yang sedang duduk di ruang tengah, sampai-sampai Bang Hasan ikut keluar dari kamarnya, juga Quinsya.

"Ada apa? Bisa kali, enggak harus teriak seperti itu sampai terdengar ke rumah tetangga. Atau memang kamu ingin semua tetangga dengar teriakanmu?" jawabku mulai kesal.

" Iya! Memangnya kenapa kalau tetangga dengar? Itu malah bagus buat ibu mertua yang suka fitnah dan jahat sama menantu. Apa maksud ibu mertua kemarin datang ke rumah Bidan Emma, dan bilang sama Ardan tidak ada yang namanya Bidan Emma? Apa maksud kamu menuduhku pura-pura hamil dan berbohong, juga menganggapku penipu?" tanya Sindy yang terlihat begitu marah dengan wajah merahnya.

"Memang kenyataannya seperti itu kan? Menurut tetangganya, tidak ada yang namanya Bidan Emma. Itu hanya rumah orang lain yang di kontrakan" jawabku berusaha tenang untuk meladeninya.

"Tahu apa tetangga itu? Memangnya dia yang hamil dan periksa? Oke! Kalau kamu tidak percaya. Baik! Nanti sore kita buktikan setelah pulang kerja. Biar kamu tidak fitnah aku lagi." tantang Sindy.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience