Pencuri Televisi

Family Series 3263

Sudah seminggu keadaan Bang Hasan sudah membaik dan mulai beraktivitas kembali. Setiap pagi bersiap untuk mengantar Sindy dan malamnya baru pulang hampir bersamaan denganku.

Namun gosip itu semakin ramai terdengar setelah hampir satu bulan berlalu dari semenjak Bang Hasan kembali antar jemput Sindy.

Aku tidak mempermasalahkan desas-desus yang banyak di bicarakan di pabrik, toh aku sudah bertemu dengan Sindy, dan tidak perlu ada yang di curigai.

Kebetulan pas jam dua belas siang ada mati lampu bergilir, semua karyawan di pulangkan, tidak terkecuali denganku.

Aku langsung pulang saat yang lain pergi ke Mal karena cucian baju dan piring sudah menanti. Walaupun ada Quinsya, tetapi aku tidak selalu mengandalkannya, apalagi Quinsya sering pulang agak sore dari sekolah .

Setelah sampai di rumah aku berselonjor di ruang tengah, hanya untuk meluruskan kaki yang sudah terasa pegal sebelum beraktivitas di dapur.

Namun aku merasa ada sesuatu yang berbeda saat berada di ruangan. Netraku memindai setiap sudut ruangan dan tempat yang ada perabotan, lalu bangkit dan melangkah ke ruang depan serta dapur Tetapi tidak aku temukan. Aku melihat dan menyingkap setiap tempat lainnya, kali saja sudah berpindah tempat.

'Kok, ini kemana ya telvisikku? Kenapa tidak ada di tempatnya?' gumamku, sambil terus mondar-mandir dan berputar seperti gangsing. Lalu ke luar untuk pergi ke rumah Bi Yuna-tetangga dekatku untuk bertanya.

"Bi, tadi lihat ada orang yang masuk ke dalam rumahku enggak?" tanyaku sambil menghampirinya.

"Eggak kok, Ima," jawabnya yang memanggilku dengan sebutan Ima.

"Memangnya ada apa," tanya Bi Asni tetanggaku yang lain sedikit heran.

"Itu, Bi. TV di rumahku tidak ada," jawabku.

"Yang bener kamu, Ima. Aku dari tadi tidak lihat ada orang yang masuk. Tapi tidak tahu juga kalau pas aku tidak ada di rumah." jawab Bi Yuna.

Teh Ima nyari apa," tanya Sari-sepupuku yang usianya lebih muda dariku

"TV-ku hilang, Sar," jawabku, lalu kembali ke rumah dengan perasaan dongkol.

"Kok! Bisa hilang. Apa ada yang nyuri atau di pindahin, Teh Ima," tanya Sari mengekor langkahku, lalu di susul Bi Asni dan Bi Yuna.

Kamipun akhirnya sama-sama mencari ke setiap ruangan tetapi tidak ada. Aku duduk terkulai di sofa, padahal TV itu baru saja lunas cicilannya.

"Mama, ini ada apa kok rame?" tanya Quinsya yang baru pulang sekolah.

"TV kita hilang," jawabku yang tidak bisa menahan kesal, bukan sedih lagi, tetapi kesal sama si pencuri. Mungkin dia tahu saat aku menyimpan kunci di atas palang pintu.

"Kok, bisa sich, Ma. Terus nanti kita tidak bisa nonton sinetron ikan terbang lagi dong," jawab Quinsya.

"Sudahlah, Mama juga bingung siapa yang nyuri. Nanti kalau Bapak kamu pulang kita tanyain," jawabku yang masih berselonjor

Mereka yang membantuku mencari televisi akhinya pulang, tinggal aku dan Quinsya yang sedang bingung sambil memijit kepala. Entah kenapa, semenjak aku kredit motor makin banyak sekali masalah, dari Bang Hasan jatuh dan dandan motor yang tidak sedikit.

Hari semakin sore dan merambah malam. Seperti biasa, jam sepuluh malam Bang Hasan baru pulang,

"Lho, kok, pada melamun di ruang depan, Ma, Quin. Ada apa?" tanya Bang Hasan ketika masuk dengan motornya.

"Kami lagi kesal, Pak," jawab Quinsya.

"Kesel kenapa? Tumben. Memangnya ada apaan pake kesal segala?" tanyanya lagi.

"Itu, Pak. Ada yang mencuri TV kita," jawab Quinsya.

"Hah! Yang bener kamu. Masa ada yang nyuri TV di rumah kita." sahut Bang Hasan tidak percaya.

"Iya, Pak. Tuh, buktinya di ruang tengah kosong," tunjuk Quinsya ke arah rak TV.

"Bener itu, Ma? Kok bisa ya, pintu 'kan di kunci." jawab Bang Hasan yang tak kalah heran.

Untuk memastikan, Bang Hasan langsung pergi ke ruang tengah dan terlihat kaget ketika televisi tidak ada di tempatnya, kemudian mencari ke setiap tepat.

"Kok, bisa ya, Ma, tapi tidak ada barang-barang lain yang hilang 'kan?" tanyanya heran.

"Eggak ada, Pak. Uang Mama di kamar juga masih utuh." jawab Quinsya.

"Ya, Sudah, Mama sama Quinsya jangan melamun lagi. Nanti kita beli lagi yang baru. Mending sekarang kalian tidur." titah Bang Hasan yang terlihat tenang.

"Beneran! Tapi jangan lama-lama ya, Pak. Kalau gitu aku masuk kamar dulu, mau langsung tidur." izin Qunisya. Aku dan Bang Hasan duduk di sofa sambil terdiam.

"Sudah dech, Ma. Jangan mikirin TV yang sudah hilang, lebih baik beli lagi yang baru, kasihan Quinsya," ujar Bang Hasan, terlihat menenangkan tetapi membuat aku kesal.

"Beli yang baru, emangnya Abang punya duit?" balasku yang masih kesal.

"Ya, enggak ada, Ma," jawabnya santai.

"Terus," pungkasku.

"Ya, pake duit Mama dulu. Kan Mama habis gajian," jawab Bang Hasan seenaknya.

"Duh, Bang ...!" Uang gaji segitu mana cukup? Buat nambahin setor motor, ngirim anak kita. Quinsya juga minta di beliin laptop. Enggak, ah. Aku pusing Bang! Kenapa sich semuanya harus aku, bukan Abang aja?" protesku benar-benar kesal.

"Mama 'kan tau, kalau pendapatan Abang tidak menentu." balasnya

"Nanti saja dech, Bang! Aku pusing. Apa kita lapor polisi saja?" balasku.

"Jangan, Ma. Malu, nanti yang ada malah rame. Kan yang hilang cuma TV, bukan Abang." cegahnya sambil bercanda.

"Iya, cuma TV, Bang! Tapi orang nyuri ya jangan di biarin." jawabku masih dengan nada kesal.

"Sudah ya, Ma. Enggak usah lapor-lapor, malu. Yang lain banyak yang kehilangan suami diam aja," celetuk Bang Hasan lagi bikin aku tambah kesal dengan jawabannya. Mungkin dia pikir itu lucu.

"Ya, itu 'kan emang suaminya aja yang mau di curi. Paling yang nyuri juga pelakor nyasar, pasangannya suami yang gatal, itu memang cocoknya" jawabku, terlihat Bang Hasan mendelik.

"Tuh 'kan, Mama. Kalau sudah bicara gitu pasti panjang dech." jawabnya.

"Iya, panjang kaya tali kolor Abang tuh," jawabku tanpa senyum.

Kalau aku sudah bicara pasti ujung-ujungnya Bang Hasan diam, karena aku nggak akan berhenti.

Aku menarik napas, kesal dan ingin marah. Tetapi sama siapa? Sedangkan Bang Hasan hanya diam seperti tidak ada masalah.

"Ma! Apa Mama masih memikirkan TV kita yang hilang?" tanyanya.

"Iyalah, Bang! Selain HP, TV juga satu-satunya buat hiburan. Tempat aku nonton sinetron. Itu Bang! Yang ceritanya banyak wanita di sakitin wanita lain yang suaminya mudah tergoda dan menikahi pelakor. Tapi masih saja si wanitanya mau dan memaafkan suami pengkhianat. Bucin banget itu kaya enggak ada laki lain saja. Kalau Mama tuch, laki kaya gitu udah pasti di buang!" cerocosku, wajah Bang Hasan langusng berubah merah, apalagi melihatku bicara dengan bernafsu..

"Ya, terus Mama maunya gimana?"

"Enggak tahu dech, Bang! Apa jangn-jangan Abang yang udah jual TV kita?" tuduhku spontan.

"Astagfirullah, Mama! Kok bisa-bisanya nuduh Abang." Bang Hasan terlihat kaget.

"Habisnya Abang dari tadi tenang-tenanga saja,"

"Ya, memangnya Abang harus gimana? Jungkir balik, salto, gitu? Kan Mama tau kalau Abang baru pulang"

"Sudah, ah. Bang! Aku pusing, mending tidur!" seruku seraya pergi ke kamar di ikuti olehnya.
.

amarah memuncak, ketika rasa lelah tiba -tiba barang kesayangan hilang

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience