Menyembunyikan Makanan

Family Series 3263

Aku melirik ke arah gorden yang sedikit terbuka dan melihat Bang Hasan terlihat lemas, sepertinya dia memang benar-benar lapar, tapi aku sudah tidak peduli. Biarlah dia mencari makannya sendiri.

Usai makan aku langsung mengeluarkan motor berangkat bareng Quinsya untuk pergi ke sekolah. Sebelum pergi aku rapikan semua setok makanan lalu menyimpannya di kolong tempat tidur. Mengosongkan semua isi kulkas. Cucian piring dan baju sengaja di tumpuk. Tidak lupa aku bawa kunci motor satu lagi. Sengaja tidak menyisakan apa-apa.

"Pak, Quin berangkat dulu ya. Oh, iya, Bapak belum sarapan kan? Kata Mama kalau buat sarapan, nanti istri muda Bapak datang ke sini bawain makan." ucap Quinsya sambil mencium tangan Bang Hasan.

"Iya, kamu hati-hati." jawab Bang Hasan sambil melirik ke arahku.

Aku pura-pura tidak melihatnya. Kemudian aku menyalakan motor dan pergi tanpa pamit ke Bang Hasan. Buat apa juga? Karena aku sudah tidak respect lagi. Dan ketika pulang kerjaan rumah semua sudah terlihat rapi, bersih, bahkan bajuku dan piring sudah tidak ada di tempatnya lagi.

Aku melihat Quinsya sedang santai di dalam kamar. Sedangkan Bang Hasan asyik nonton televisi dengan segelas kopinya, aku memilih masuk ke kamar Quinsya.

"Quinsya, ini Mama bawain sate kesukaanmu. Kamu makan, ya." aku menyodorkan bungkusan sate.

"Iya, Ma. Terima kasih, tapi aku boleh makan sama Bapak, gak?" izin Quinsya.

"Terserah kamu saja." jawabkku.

"Quinsya, kamu pulang jam berapa? Tidak biasanya rumah sudah bersih, pakaian, piring kotor juga sudah tidak ada. Biasanya kalau Mama gak ngerjain numpuk di tempatnya." tanyaku.

"Itu, Bapak yang ngerjain, Ma. Aku pulang udah sore." jawab Quinsya sambil membuka bungkusan sate, aku termenung.

"Ma, udah dong jangan diamin Bapak terus. Kasihan Bapak. Emangnya Mama gak kasihan apa lihat Bapak di diamkan terus tidak di ajak bicara?" tanya Quinsya, di mulutnya sudah terisi daging sate.

Entah Bang Hasan mengengar atau tidak, atau memang pura-pura tidak mau tahu dengan pertanyaan Quinsya, karena jarak kamarnya dan ruang tv tidaklah terlalu jauh.

"Bukan Mama yang tidak kasihan, Quin. Tapi Bapak kamu yang mau hidupnya seperti itu. Sudahlah, kamu makan saja. Mama mau mandi dulu." jawabku sambil keluar dari kamar melewati ruang tengah, terlihat Bang Hasan menyeruput kopinya.

"Ma?" panggilnya sambil menarik tanganku, aku menoleh.

"Ada apa?" jawabku ketus tanpa mau melihatnya lagi.

"Udah dong, Ma marahnya. jangan biarin Abang kaya gini terus, nggak kangen apa sama Abang?" tanya Bang Hasan menyebalkan.

"Maaf, Bang. Sedikitpun aku sudah tidak kangen lagi." jawabku, kutepis tangannya.

"Kok, gitu sich, Ma. Kan sekarang tidak ada lagi wanita di hati Abang selain Mama " rayunya membuat aku semakin muak.

"Alah ... gombal, sekarang aja bilangnya gitu. Kemaren-kemarin ke mana aja, Bang?" tanyaku kesal.

"Kemaren Abang ke pasar tanah Abang, Ma." Jawabnya tanpa menghiraukan bibirku yang sudah maju tiga centi. Mungkin dia becanda biar aku tersenyum.

"Gak, lucu! Lagi pula, ngapain Abang balik lagi ke sini?" tanyaku mencebik.

"Abang kangen sama Mama. Boleh ya malam ini Abang tidur di kamar?" jawabnya membuat aku semakin kesal.

"Maaf, Bang. Tidak ada tidur-tidur di kamar, kalau mau. Tuh, tidur di kandang kambing tetangga. Pokonya niatku sudah bulat. Aku mau kita pisah, kita cerai, Bang!" aku mendengus kesal.

"Kok, Mama tega sich nyuruh Abang tidur di kandang kambing tetangga." keluh Bang Hasan. Jangan dong, Ma. kasihan anak-anak kalau kita sampai pisah." Sambungnya.

"Sekarang aja Abang bilang kasihan, dulu waktu enak-enakan sama itu si lakor diam saja. Lupa ya, yang namanya kasihan. Iya, kan?" cercaku terus menyindirnya.

"Maaf, Bang. Bukan aku yang tega, tapi Abang yang banyak tingkah. Udah, ah. Aku mau tidur." aku menyentakan kaki, meninggalkan Bang Hasan yang terus mencoba merayu.

"Ya, Mama bahas itu lagi, namanya juga laki-laki, Ma." suaranya semakin membuat aku jengkel.

"Iya, laki-laki tidak tahu diri itu namanya." jawabku kesal.

***
Malam merayap pagi semua orang sudah terbangun. Selesai mandi dan salat subuh aku dandan secantik mungkin, kemudian pergi membeli sarapan untuk kami berdua. Aku sudah tidak mau menyediakan apa-apa lagi untuk suamiku. Biarlah dia melayani dirinya sendiri, yang biasa semuanya sudah siap sedia. Aku hanya ingin memberinya pelajaran bagaimana ketika istri sudah tidak peduli lagi.

"Ma, apa enggak lembur?" tanya Quinsya.

"Enggak, kok, lemburnya pilihan. Oh, iya, kamu masak air ya, lalu tuang ke termos. Mama nyuci dulu." perintahku.

"Iya, Ma. Tapi air buat apaan, gak biasanya?" tanya Quinsya lagi.

"Sudah, bawa saja." perintahku.

Tanpa membantah Quinsya langsung melakukan apa yang aku perintahkan. Tidak lama air termos sudah di bawa ke luar lengkap dengan kue dan kopinya. Kemudian datang Mang Sarji.

"Eh, Mang Sarji sudah datang, ngopi dulu, Mang. Ini juga ada rokok." Sambutku.

Mang Sarji adalah tukang kuli bangunan yang sengaja aku minta untuk kerja di rumah. Terlihat Bang Hasan keheranan.

"Kamu tidak usah repot-repot gitu, Ima." Jawab Mang Sarji.

"Ma, kok ada Mang Sarji ke sini. Emangnya mau ada apaan?" Tanya Quinsya heran.

"Mama, mau menyekat ruangan dapur jadi kamar." jawabku

Lho, buat apa, Ma?" Quinsya kembali bertanya.

"Udah, kamu tidak usah banyak tanya, nanti juga tahu sendiri." jawabku menarik Quinsya masuk.

"Mama, mau ngapain menyuruh mereka menyekat ruangan dapur, emangnya buat apa, Ma?" tanya Bang Hasan yang tak kalah heran.

"Buat gudang!" jawabku singkat, Bang Hasan terbengong.

Setelah selesai sarapan Mang Sarji mulai bekerja menyekat ruangan dapur yang cukup luas menjadi kamar tidur dengan triplek dan kayu, hanya butuh waktu sehari sudah rapi. Aku bersama Quinsya membersihkan barang-barang yang berserakan. Setelah itu mengepelnya.

"Ma, kenapa kamu bawa tas aku ke ruangan belakang?" tanya Bang Hasan heran.

"Maaf, Bang. Karena Abang tidak mau pergi dan tidak mau menceraikanku, tapi karena aku masih kasihan sama Abang yang tidak punya tempat tinggal. Abang boleh tinggal di sini, tapi Abang harus banyak semedi di kamar ini buat merenungi kesalahan Abang, dan aku tidak mau di ganggu." jawabku, membuat Bang Hasan terdiam.

"Oh, Mama menyuruh Mang Sarji membuat kamar ini untuk Bapak? Kenapa harus di dapur sich, Ma? Kan Bapak bisa tidur sama Mama. Terus, itu kamar tengah juga kosong?" tanya Quinsya.

"Biar Bapakku lebih tenang tidur di sini. Lagi pula, ini kamar tidak kalah besarnya sama kamar Mama. Kamar tengah itu punya Aa kamu kalau nanti dia pulang. Udah, kamu jangan banyak protes." jawabku agak kesal.

"Bang, kalau Abang masih mau tinggal di sini, Abang tidur di kamar ini saja, aku masih berbaik hati karena kasihan sama Abang. Dari pada tidur tidak ada tempat malah jadi gelandangan, dan jangan minta macam-macam!" seruku. Entah kenapa untuk kali ini aku benar-benar muak di buatnya.

"Kok, Mama tega sih, masa Abang suruh tidur di sini sendiri." jawab Bang Hasan

"Masa bodo! Maaf, Bang. Abang sendiri yang tega terus -terusan nyakitin aku Terserah Abang kalau masih mau tinggal di sini. Maaf, aku masih banyak kerjaan. Abang bersihin tuh." jawabku sambil menaruh sapu di sampingnya.

Bang Hasan termenung. Entah apa yang dia pikirkan? Mungkin sekarang terkejut dan bingung karena setiap hari hanya di rumah, tidak kerja, motor pun tidak aku kasih. Aku puas melihat dia tersiksa sendiri. Setiap hari hanya diam. Tapi dasar Bang Hasan yang tidak tahu malu. Dalam keadaan seperti itu dia masih saja santai hanya makan dan tidur.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience