Nonton Berita

Family Series 3263

"Tumben jam segini Abang sudah pulang ngojeknya." Maima memyambutku sambil bertanya.

"Ini hari Minggu, Ma. Sepi, bosen nungguin penumpang terus tapi gak ada. Mungkin lagi pada liburan di rumah. Makanya Abang pulang. Mama udah masak 'kan? Abang lapar nich" tanyaku dengan mengusap perut yang mulai keroncongan karena Sindy tidak menyediakan aku makanan.

"Udah, Bang. Aku tadi bikin sayur lodeh, sambal goreng, lalap, juga ayam bakar." jawab Maima sambil melangkah ke dapur yang di ikuti olehku, lalu kubuka tudung saji.

"Wah, enak nich pastinya. Tumben Mama masak banyak. Apa Quinsya sudah makan, Ma?" tanyaku.

"Ya, kan ini hari Minggu, Bang. Sengaja aku masak banyak buat kita bisa makan barsama. Quinsya juga belum makan, katanya nungguin Abang. Sekali-kali kita makan bareng," jawab Maima sambil memanggil Quinsya yang berada di dalam kamar.

Quinsya keluar dan ikut bergabung untuk makan bersama. Ada kenikmatan tersendiri saat menyantap hidangan masakan dari Maima yang luar biasa enak. Dia memang bukan hanya pandai mencari uang, tetapi juga pandai memasak. Kami sangat menikmati kebersamaan saat itu.

Maima memang pandai memasak, jauh dengan Sindy yang hanya menyiapkan aku air putih. Tetapi aku tidak bisa menuntut. Toh, dia hanya seorang gadis yang usianya sama dengan anaku, hanya beda dua tahun. Menikah dengannya saja aku sudah bersyukur.

Kamipun selesai makan dan kembali berkumpul di ruang tengah sambil menonton berita. Ada pemberitaan yang membuat aku sedikit bergidik.

ISTRI SAH BAKAR WANITA SELINGKUHAN SUAMI KARENA MARAH DAN CEMBURU, HINGGA MENGAKIBATKAN KERUSAKAN DI WAJAH SELINGKUHANNYA.

Berita hari itu cukup membuat aku menelan ludah dan menahan napas yang terasa turun naik karena aku merasa tersindir, kemudian aku pindahkan chanel TV.

"Bang, kok di pindahin sich. Mama lagi seru nonton tuh berita. Memang laki yang suka selingkuh harus di gituin tuh, Bang?" ujar Maima

"Emang selingkuhan itu apa sich, Ma?" tanya Quinsya.

"Tanyain tuh sama Bapakmu, Quin," jawab Maima.

"Ih, Mama, apaan sich? Kok tanya Abang, ya berita ini emang harus di salurin. Abang mau cari berita bola," balasku.

"Selingkuh itu, bisa suami bisa juga pacar yang berpaling dari pasangannya." lanjut Maima menjawab pertanyaan Quinsya.

"Oh, gitu, misalkan nich. Bapak punya istri lagi atau pacar, itu ya, Ma?" balas Quinsya yang membuat aku mulai deg-degan.

"Ya bisa jadi, itu salah satunya." timpal Maima

"Kok, Bapak sich, Quin." protesku keberatan.

"Ya, itu umpama saja sich, Pak. Kan Bapak mah gak gitu, iya 'kan Ma? Tapi aku pernah mendengar kabar lho, Pak, Ma. Katanya nich, ada orang yang di grebek terus di suruh nikah sama Pak Hansip, Pak RT juga warga setempat. Karena tuh lakinya sering pulang malam." tutur Quinsya.

Deg!

Jantungku terasa lepas, dada seperti ada yang menonjok saat Quinsya bicara, napasku seakan berhenti. Kenapa Quinsya bisa tahu kabar itu? Aku mulai mengeluarkan keringat dingin dengan perasaan mulai cemas, takut kalau kabar itu Maima tahu.

"Itu kamu tahu dari siapa, Quin? Terus kejadiannya di mana?" tanya Maima menyelidik..

"Itu, Ma. Cuma selentingan saja, kabarnya juga gak jelas gitu. Kayanya sih kampungnya sama di kampung Teh Sindy." jawab Quinsya mampu membuat badanku berkeringat.

"Quin, sudah. Kamu membicarakan apa sich? sudah belajar sana. Tidak baik membicarakan kabar gak jelas, nanti itu masuk berita hoak." titahku, Quinsya hanya menurut. Sebelum akhirnya pergi karena ada temannya yang datang dan pamit kepadaku juga Maima. Aku sedikit bernapas lega, karena Quinaya tidak akan bicara lagi.

"Bang. Apa benar yang di bicarakan Quin tadi?" tanya Maima membuatku kaget.

"Abang juga tidak tahu, Ma. Malah dengar dari Quinsya barusan." jawabku sambil menenangkan pikiran yang tadi sempat ketar-ketir.

"Ya, mudah-mudahan itu bukan Abang," balasnya.

"Duh, Mama apa-apan sich? Sudah Abang bilang. Berhenti curiga terus sama Abang." jawabku agak kesal, karena kalau berhubungan dengan perselingkuhan pasti di kait-kaitkan denganku walaupun itu memang benar adanya.

"Ya, gak gitu juga, Bang. Aku cuma takut terjadi sama Abang. Maklum, Abang 'kan sering pulang malam dari rumah Sindy. Enggak salah 'kan kalau aku bertanya." tukas Maima

"Ya, nggak, Ma. Tapi 'kan kalau Mama selalu mengaitkan Abang juga jadi gak enak," protesku berusaha mengelak.

"Ya, sudah. Abang istirahat gih sana,'" titah Maima, sudah pasti aku akan senang sekali karena itu adalah sebagai penyelamat.

"Tapi temenin ya," pintaku pura-pura manja.

"Udah, Abang istirahat sendiri saja. Aku masih banyak kerajaan," tolak istriku sambil mematikan televisi.

"Ma, bagi duit dong," rengekku sebelum dia pergi ke belakang.

"Duit buat apa sich, Bang?" tanyanya.

"Buat beli bensin, bensin motor Abang sudah habis," jawabku.

"Kok, perasaan Abang akhir-akhir ini sering minta duit. Emang itu ngojek duitnya di kemanin, Bang? Terus, bukankah Sindy setiap bulan ngasih ya? Motor juga sekarang aku yang setorin." tanya Maima mengernyitkan dahi.

"Ya, Ma. Sindy 'kan kasih duitnya sebulan sekali. Buat bensin sebulan sama kopi, juga rokok itug gak cukup." kilahku.

"Makanya, Abang harus ngirit, rokok sama kopi tuh di kurangin. Jangan mentang-mentang aku yang setor motor. Abang jadi keenakan. Dulu aja sebelum nyicil motor janjinya Abang yang mau setor, tapi mana buktinya? Kalau gini terus aku cape, Bang. Apa-apa harus aku. Kan Abang kepala rumah tangganya." protes Maima.

"Ya, Mama mulai itung-itungan. Kan Abang juga kalau punya gak sayang-sayangan, pasti di kasih semua sama Mama," jawabku.

"Bukan itung-itungan, Bang. Tapi masalahnya itu motor masih lama cicilannya. Lagian Abang juga kapan punya uang banyak? Selama ini aku yang kerja." ungkit Maima

"Iya, dech. Semua punya Mama. Jadi nggak nich kasih Abang uang?" tanyaku lagi seraya mengedipkan mata.

Buat aku, sekeras apapun sifat Maima tetapi kalau terus di lembutin dan banyak ngalah dia selalu luruh hatinya, dan pada akhirnya ia tidak bisa lagi menolaknya.

"Iya, nanti Mama ambil duitnya dulu di kamar," jawabnya sambil melangkah masuk ke dalam kamar, dan tidak lama Maima keluar.

"Nich, Bang. Untuk dua hari," pesan Maima sembari menyodorkan tangan dengan uang lima puluh ribu, akupun meraih uang itu, dan bergegas hendak pergi.

"Tunggu, Bang! Abang mau ke mana lagi? Kan baru pulang." tanya Maima yang mampu menghentikan langkahku sampai tertahan.

"Kan Abang mau pergi ngojek, Ma.' jawabku.

"Oh, kirain mau kemana, Bang. Itu si Sindy jadi 'kan beli motor? Katanya kalau dia beli motor Abang tidak akan antar jemput lagi." tanya Maima.

"Udah Abang tanyain, katanya sich uangnya belum cukup, soalnya dia mau beli cas," jawabku.

"Emangnya dia mau beli motor apa, Bang?" Kembali Maima bertanya.

"Abang juga tidak tahu, Ma. Sepertinya mau motor matic keluaran baru dech." jawabku sekenanya.

"Ya, Abang bilangin sama dia. Jangan dulu beli motor baru, beli aja yang bekas tapi yang masih terlihat bagus," pesan Maima.

"Ya, itu 'kan hak dia mau beli motor baru atau bekas. Ya udah, Abang berangkat dulu, Ma," izinku, Maima mencium tanganku.

"Hati-hati ya, Bang. Sekarang lagi musim hujan, jalannya licin. Terus, juga lagi rawan, banyak begal." pesan Maima.

"Iya, Ma. Makasih ya udah ngingetin Abang. Tapi kalau begal kayanya enggak dech, Ma. Abang kan gak pernah narik jauh, sore juga udah pulang." jawabku meyakinkan.

"Ya, bagus. Itu bukan hanya orang yang mau berbuat jahat aja. Tapi hati Abang juga bisa di begal janda." balas Maima.

"Tuh 'kan, Mama mulai lagi dech. Udah ya, Abang pergi dulu. Doain biar dapat rezeki banyak." pamitku.

"Aamiin, Bang." jawab Maima. Aku tidak lagi membalas dan langsung pergi.

"Sesampainya di pangkalan ojek semua teman-temanku berkumpul dengan santai.

"Eh, eluh Hasan. Tumben luh kesini. Gak balik ke bini luh? Apa dia lembur lagi?" tanya Tono teman satu profesiku.

"Pada libur, makanya Gue ke sini. Gimana, rame gak hari ini?" aku balik bertanya.

"Ya, lumayan lah, baru ada dua. Gimana itu istri Luh, belum tahu kalau Luh sudah nikah dengan Sindy?" tanya Dodi-temanku.

Teman-temanku memang sudah tahu soal pernikahan siriku dengan Sindy.

"Belum, masih aman, kok." jawabku sekenanya

"Ya, sekarang Luh masih aman. Tapi belum tahu nanti. Hati-hati aja luh, Hasan," pesan Kardi, masih teman satu profesi juga.

"Kalian, tenang. Semua baik-baik saja, yang terpenting asal jangan kalian aja yang membocorkan rahasia ini." pesanku kepada mereka.

"Ya, mana mungkin lah kami. Kita 'kan laki yang satu golongan," celetuk mereka hampir bersamaan lalu dengan di iringi suara tertawa mereka.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience