Tinggal Di Rumah Bi Ijah

Family Series 3263

"Ima, ada apa?" tanya Bi Ijah heran.

"Semua sudah berakhir, Bi. Untuk sementara aku tinggal di sini dulu. Itupun kalau Bibi tidak keberatan." jawabku dengan hati sedih.

"Tentu saja Bibi tidak keberatan. Sekarang kalian masuklah," tawar Bi Ijah mengajak kami masuk dan menyuruhnya duduk. Kemudian menyuguhi kami dua segelas air.

"Ini, kalian minumlah. Tenangkan dulu pikiranmu." suruh Bi Ijah.

Terima kasih, Bi." balasku.

" Ada apa, Ima? Apa yang terjadi sehingga kamu dan Quinsya datang ke sini dengan membawa koper?" tanya Bi Ijah tidak sabar.

"Ardan dan Sindy sudah keterlaluan, Bi. Mereka mengusirku, ini sudah kedua kalinya." terangku.

Akupun menceritakan apa yang selama ini terjadi. Terlihat Bi Ijah sangat emosi saat aku menceritakan semuanya.

"Kurang ajar, mereka benar-benar sudah keterlaluan. Terus, bagaimana dengan sikap suamimu?" tanya Bi Ijah geram.

"Bang Hasan tidak pernah membelaku, malah terkesan selalu menyalahkanku." aduku. "Aku sudah muak dan sakit hati dibuatnya, Bi." lanjutku lagi. Bi Ijah menarik napas.

"Lalu apa yang akan kamu lakukan?" tanya wanita paruh baya itu.

"Entahlah, Bi. Aku hanya mau istirahat dulu, aku akan memikirkannya nanti. Hanya saja aku merasa ada yang aneh saat mencari sertifikat rumah. Di dalam lemari tidak ada. Aku sudah menyibak semua baju-bajuku, mencarinya ke tempat lain tapi tidak ada, Bi." terangku. Bi Ijah menggeleng. "Aku tidak mengerti kenapa sertifikat rumah yang di simpan rapi bisa hilang? Tapi untuk menanyakan kepada mereka aku yakin mereka tidak ada yang tahu." lanjutku sambil mengingat-ingat.

"Mungkin kamu lupa menyimpannya, Ima." sahut Bi Ijah.

"Tidak, Bi. Selama ini aku menyimpannya hanya di dalam lemari, dan lemari itu selalu terkunci." jawabku sambil mengernyitkan dahi.

" Ya sudah, kamu istrahat dulu si kamar Bibi, nanti kita bicarakan lagi. Ngomong ngomong apa kamu tidak masuk kerja?" tnay Bi Ijah yang terlihat bingung saat aku menceritakan semua.

" Iya, Bi , terima kasih. Aku izin dulu untuk tidak masuk kerja. Maaf, Bi, kalau selama ini aku selalu merepotkan Bibi." ucapku

"Kamu tenang saja, Ima. Dalam keluarga tidak ada yang namanya direpotkan. Justru di saat seperti inilah kita harus saling membantu satu sama lain, sekarang kamu istirahat." tutur Bi Ijah serasa mendamaikan.

Aku melangkah sambil menjinjing koper yang di ikuti Quinsya. Menarik napas panjang, lelah dan sakit menjadi satu atas perlakuan anak menantu dan suamiku , tapi aku tidak boleh larut dalam kesedihan ini.

"Jangan sedih terus. Mama harus kuat, semoga mereka segera sadar dengan perbuatannya, terlebih Aa." hibur Quinsya. Hanya dialah dan Bi Ijah yang selalu menguatkan. Wanita paru baya yang sudah di tinggal suaminya.

"Terima kasih, Quin. Kamu selalu ada buat Mama. Tapi tidak seharusnya kamu ikut Mama ke sini. Nanti bagaimana keadaan di rumah kita?" tanyaku.

"Aku sudah muak melihat mereka, Ma. Aku tidak betah, Teh Sindy semakin menjadi dan semena-mena sama aku kalau Mama tidak ada di rumah." jawab Quinsya yang sama menyimpan sedih. Aku mendekap anak gadisku itu.

***
Malam berganti pagi. Rasa lelah yang melanda tubuhku mulai hilang. Aku sudah siap dengan rutinitasku untuk pergi bekerja.

"Apa kamu mau tetap bekerja, Ima?" tanya Bi Ijah yang menyiapkan sarapan untukku.

"Iya, Bi." jawabku singkat sambil memperhatikan Quinsha yang siap untuk pergi ke kampus.

"Apa kamu tidak izin saja? Tenangkan dulu pikiranmu. Bibi takut kamu tidak konsentrasi saat bekerja." cegah Bi Ijah.

"Justru kalau aku tidak bekerja pikiranku semakin tidak karuan, Bi. Hanya di tempat kerja aku bisa melupakan semua masalahku, lagi pula aku kemarin sudah izin." terangku.

"Ya, sudah, kalau begitu kamu hati-hati." pesan Bi Ijah. Aku hanya mengangguk..

"Iya, terima kasih, Bi. Aku pergi dulu." jawabku yang siap pergi dengan mengantar Qunsya terlebih dulu sampai di jalan raya.

***
"Ima, bagaimana? Apa semuanya baik-baik saja?" tanya Pak Heru ketika kami bertemu di kantin untuk sarapan. Aku menggeleng.

"Belum, Pak. Malah mereka mengusirku. Gara-gara masalah Bidan Emma. Sindy dan Ardan, mereka benar-benar mengusirku, mereka sangat membenciku." aduku

"Apa?! Ardan mengusirmu. Benar-benar-benar keterlaluan menantumu itu." sahut Pak Heru geram.

"Iya, Pak." jawabku sambil menahan rasa nyeri di dada.

"Terus, sekarang kamu tinggal di mana, dan bagaimana dengan sikap suami?" tanya Pak Heru menyelidik.

"Tidak ada reaksi apa-apa. Bang Hasan malah membela mereka. Sekarang aku tinggal di rumah Bi Ijah. Mungkin nanti aku mau mencari kontrakan." jelasku. Pak Heru terdiam.

"Permisi, Pak. Aku masih banyak kerjaan." izinku mencari alasan, karena aku mulai risih apalagi banyak yang memperhatikan kami, dan aku tidak mau mereka salah paham dengan kedekatan kami.

"Baiklah, Ima. Nanti kita akan mencari solusinya. Aku siap membantumu kapanpun kamu perlukan." jawab Pak Heru, aku mengangguk.

Aku bekerja seperti biasa, tidak ingin memikirkan apapun, mencoba menenangkan diri walaupun hati masih sakit atas perlakuan Sindy dan sikap Ardan.

***
Hampir satu bulan aku tinggal bersama Bi Ijah. Aku sering kali mendengar kalau Ardan dan Sindy sering ribut. Itu yang aku dengar dari tetangga.

Setelah maghrib, aku mendapatkan Bang Hasan datang ke rumah Bi Ijah. Bi Ijah menyambutnya dengan dan menyuruhnya duduk.

"Mau apa Abang datang ke sini?" tanyaku kesal, aku yang kebetulan baru pulang kerja langsung bertanya dengan perasaan kesal. Bang Hasan menunduk.

"Kalian ngobrol aja, ya. Bibi masih ada kerjakan di dapur." izin Bi Ijah meninggalkan kami

"Mama Bagaimana kabarnya?" tanya Bang Hasan basa- basi.

"Aku baik, Bang. Bang Hasan sendiri bagaimana? Kenapa datang kesini? Urusin saja kedua makhluk itu di rumahmu." jawabku ketus.

"Seperti Mama lihat. Ma, tolong maafin Abang yang tidak bisa berbuat apa-apa saat Ardan dan Sindy meminta Mama pergi." ucap Bang Hasan lirih.

"Maaf, Abang bilang. Bang Hasan itu dari dulu memang tidak pernah bisa melakukan apa-apa. Bahkan menghadapi kedua orang itu pun Abang cuma bisa diam. Malah selalu membela mereka. Aku ini sudah terlalu sakit hati Bang dengan sikapmu." jawabku sambil memainkan jari tangan.

"Abang tidak tahu harus melakukan apa, Ma? Mereka itu anak dan menantu kita, dan Mama istri Abang. Abang bingung harus di posisi mana?" terang Bang Hasan.

"Iya, itu karena Abang masih mencintai pelakor itu hingga lebih membela dia dari pada aku, istrimu." timpalku.

"Astagfirullah, Ma. Itu tidak benar. Tolong, jangan mulai lagi. Abang tidak tahu harus bagaimana? Abang ke sini ingin tahu keadaan Mama dan Quinsya. Sekarang, kita kembali ke rumah, ya." ajak Bang Hasan. Aku sedikit mendelik.

"Balik ke rumah katamu, Bang. Tidak, sampai kapanpun aku tidak akan pernah pulang ke rumah sebelum pelakor itu pergi dari rumah kita." tegasku kesal.

"Tolong, Ma, maklumin mereka. Mungkin waktu itu mereka benar-benar sedang marah. Abang juga tidak bermaksud membela mereka." kilahnya.

"Mereka sudah sering mengusirku, dan selalu berkata kasar, belum lagi mereka menganggapku seperti musuh. Sedangkan Abang hanya diam. Aku sakit, Bang. Dan sekarang Abang memintaku kembali ke rumah kita. Sampai kapan pun aku tidak akan pernah pulang." jelasku.

"Terus, sampai kapan Mama dan Quinsya di sini?" tanya Bang Hasan.

"Sampai mereka itu sadar baru aku mau pulang. Dan satu lagi, Bang. Sertifikat rumah kita tidak ada. Aku sudah mencarinya sebelum pergi. Apa Abang tahu, atau Abang yang menyimpannya?" tanyaku mulai merasa resah.

Apa, sertifikat rumah hilang, Ma?"

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience