Di Usir Lagi

Family Series 3263

"Maafin Abang, Neng. Abang bener-bener minta maaf." Lirihku.

"Ngapain Abang kesini? Lebih baik Abang pergi, sana!" jawab Sindy sambil menepis tanganku kasar.

"Tidak, Neng. Abang akan tetap di sini," jawabku.

"Hasan, ngapain kamu masih di sini? Kamu mau menambah kami sakit hati? Kami semua sudah merasa malu dengan adanya Video yang viral itu, mau di taruh di mana muka kami?" Ujar Pak Miun terlihat marah.

"Lebih baik kamu pulang, kami tidak mau lagi menambah masalah." usir Bu Oneng.

"Pak, izinkan aku tetap di sini, biar aku yang merawat Sindy. Aku juga sudah di usir sama Maima, Pak. Jadi, kalian tidak usah khawatir, tidak akan ada lagi yang akan menyakiti Sindy. Ini juga kan keinginan Sindy kalau dia mau aku jadi suami satu-satunya." jelasku, berharap mereka mau menerimaku.

"Oh, bagus ya. Kamu di usir oleh istrimu, dan kamu mau tinggal di sini dengan alasan merawat Sindy. Mau merawat Sindy atau kamu mau menumpang hidup di sini, Hasan? Hidup kamu saja di sebatang kara. Itu artinya kamu hanya mau menjadi benalu di rumah kami." tutur pak Miun. Sepertinya dia sudah tahu maksudku.

"Hasan! Lebih baik kamu pergi dari rumah ini, kami tidak mau lagi melihat kamu!" Bu Oneng yang dari tadi hanya diam ikut bicara

"Pergi kamu, Bang! Pergi dari hadapanku. Aku tidak sudi melihatmu lagi, aku sudah sakit hati sama kamu yang tidak bisa melindungiku, pergiii!!" usir Sindy

"Maafkan Abang, Neng. Abang tidak tahu kalau istri Abang sudah tahu hubungan kita."

Aku mencoba kembali mendekat dan meraih tangannya. Tetapi kedua kakaknya menghalangi serta menarikku ke luar, dan mendorong tubuhku sampai di pintu, aku masih diam karena tidak tahu lagi harus ke mana?

Sedangkan perutku juga sudah sangat lapar. Mau ke rumah teman yang pernah menolongku dulu tidak mungkin karena rumahnya jauh. Masa ia aku harus jalan kaki.

Terpaksa aku harus tidur di rumah Sindy walupun hanya di luar. Tetapi setidaknya aku masih ada tempat berteduh.' nasib ... nasib.' gumamku.

***
Tidak terasa malam sudah menyapa pagi, aku mengernyit saat netra tersentuh matahari dan berusaha bangun dengan perut yang sangat lapar.

"Oh, belum pergi juga kamu, Hasan." suara itu mengagetkanku, rupanya kakaknya Sindy.

"Bang, tolong ya, izinkan aku tinggal di sini, aku kan masih suaminya Sindy, Bang." rengekku memelas.

"Apa kamu, bilang? Sindy masih istrimu? Justru Sindy mau cerai sama kamu? Jadi sekarang buat apa lagi kamu masih di sini? Lebih baik pergi, cari uang sana yang banyak untuk mengganti pengobatan Sindy." hardiknya. "Masih untung Sindy bisa selamat. Kalau sampai terjadi apa-apa dengan dia. Kamulah orang pertama yang akan aku tuntut, Hasan!"lanjutnya.

Separah itukah Maima menyiksa Sindy? 'Ah, wanita mamang tidak bisa di tebak, di balik sikap lembut dan perhatiannya, ada amarah yang luar biasa besar.' gumamku.

Setelah semua keluarga Sindy tidak mau lagi menerimaku, termasuk Sindy. Akhirnya aku pergi meninggalkan rumah itu. Rumah yang telah menumbuhkan cinta dengan cara yang salah, dan kini aku harus menerima dari banyaknya kesalahan itu.

Berjalan dengan perut lapar dan tidak punya uang. Entah ke mana tujuanku? Akhirnya terbersit di pikiranku untuk menuju counter yang berada di depan jalan raya dengan berjalan kaki untuk menjual ponsel yang belum lama Maima belikan, kini harus berpindah tangan.

Ponsel yang sudah lama aku impikan itu hanya di hargai lima ratus ribu. Satu-satunya benda yang masih kupunya terpaksa harus di jual demi mengisi perut.

"Kamu kenapa, Hasan? Kok, murung?" Tanya Kardi ketika aku berada di pos pangkalan ojek..

"Tau, tuch, datang kaya orang bingung. Terus, motor kamu kemana, kok gak di bawa?" Tanya rekan satu lagi, aku menarik napas panjang, lalu mengeluarkannya kasar.

"Aku diusir," jawabku.

"Hah, kamu di usir?"

"Di usir siapa? Istri Luh? Itu mah gampang, tinggal ke rumah istri muda, Luh aja. "

"Istri Luh ganas juga ya, Hasan. Istri muda Luh sampai babak belur begitu. Itu gimana kalau di tempat tidur?"

"Lagian sih, Luh. Mainnya kurang halus, baru sembuh dari jatuh udah minta ngontrak. Gak sabaran amat, Luh," ledek mereka sambil sesekali di iringi tawa puas seperti ada hiburan.

'Huh, sama saja saat aku begini mereka bisanya cuma meledek.' aku membatin

"Itu dia. Maima marah dan mengusir aku setelah puas menyiksa Sindy. Terus, aku pulang ke rumah istri mudaku. Eh, sama saja, aku malah di usir sama mereka. Motor gak boleh di bawa sama Maima. Uang gak ada, sampai semalam aku gak makan." keluhku. "Untung masih ada handphone dari Maima yang dia belikan. Ya, terpaksa dech Gua jual." lanjutku.

"Terus, sekarang kamu tujuannya mau kemana? Motor gak ada kerjaan belum punya?" tanya Kardi seperti prihatin dengan keadaanku.

"Aku belum tahu, mungkin nanti sore ke rumah teman. Untuk sementara aku di sini dulu. Boleh dong aku pinjam motor kalian buat ngojek ya, boleh ya,." rengekku memelas.

"Ya udah, Hasan. Dari pada Luh belum ada kerjaan, nanti gantian kalau kita istirahat. Kamu boleh gantiin kita. Nanti hasilnya di bagi dua." tutur mereka.

Aku cukup senang walaupun harus berbagi hasil, tetapi biarlah daripada tidak ada kerjaan sama sekali.

***
Sudah hampir jam empat sore, lumayan lah aku dapat dua penumpang. Setelah memarkirkan dan memberikan kunci motor aku pamit untuk pergi, tetapi entah kemana?

"Ini baru jam empat, kamu mau keman, Hasan?" tanya Kardi.

"Aku mau ke rumah teman dulu, siapa tahu ada kerjaan buatku. Terima kasih ya atas pinjaman motornya." jawabku sambil meraih ransel buluk yang di berikan Maima.

"Iya, Hasan. Semoga kamu segera mendapatkan pekerjaan. Kalau ada apa-apa jangan sungkan sama kita." timpal yang lain, aku senang mereka semuanya baik.

Aku melangkah untuk menyetop angkot. Tujuanku tak lain adalah ke rumah Bang Firman yang dulu mengajakku narik angkot, mudahan-mudahan dia masih mau menolongku.

Tidak butuh waktu lama aku sampai di rumahnya. Keadaan rumah Bang Firman sudah berubah setelah lama aku tidak berkunjung. Di depan rumahnya sudah ada warung sembako yang cukup besar.

"Assalamualaikum, Bang," ucapku yang memanggil dia Abang, karena dia lebih tua dariku.

Tidak lama ke luarlah orang yang kumaksud.

"Waalaikumsalam. Eh, kamu, Hasan. Tumben, ada apa? Aku kira kamu sudah lupa," sambutnya agak sedikit malas.

"Ah, Abang bisa saja. Gak lupa kok, Bang. Cuma sedikit agak sibuk," jawabku. Bang Firman tersenyum sinis.

"Paling kamu sibuk ngurusin istri-istrimu? Kamu ada perlu apa lagi. Terus, ngapain juga kamu bawa-bawa tuh ransel?" ucap Bang Firman sambil asyik merapikan dagangannya dengan sedikit ketus. Aku mulai tidak enak hati.

"Wah, toko Abang besar juga ya. Terus, sekarang Abang tidak narik lagi?" jawabku basa-basi.

"Aku udah lama gak narik semenjak buka warung," jawab Bang Firman masih bersikap acuh.

"Terus, istri dan anak Abang ke mana?"

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience