Di Grebek Warga

Family Series 3263

[Bang, tidak usah nungguin aku ya. Aku lembur sampai pagi. Besok soalnya mau ekspor.] pesan chat dari Maima.

[Iya, Ma. Mama hati-hati ya, dah Mama Sayang.] balasku dengan di sisipi emot love untuk membuat hati istriku selalu berbunga agar dia percaya kalau aku sangat mencintainya.

[Dah, Abang. Oh, ia Bang. Jangan lupa bilangan sama Quinsya, kalau Mama pulang pagi. Kuota Mama habis soalnya jadi gak bisa chat dia.] sambung Maima.

[Ia, Mama Sayang. Mama jangan khawatir, udah ya. Abang mau narik dulu.] balasku langsung mematikan ponsel.

Memang terdengar lebay. Sebenarnya aku juga gak suka berbasa-basi, tetapi biar istriku makin terlena dengan ucapan mautku. 'YES!' ucapku dalam hati.

[Quinsya, Mama bilang gak bisa pulang. Katanya lembur sampai pagi. Kamu kalau lapar beli saja ya. Terus kalau Bapak tidak pulang ngojek kamu nginep di rumah Bi Ijah]

Pesanku kepada anak perempuanku, tanpa menunggu jawaban darinya aku langsung menutup chat. Quinsya juga pasti sudah mengerti dan tidak pernah menuntut Mamanya untuk selalu ada di rumah.

Maima tidak pulang, dan aku menjemput Sindy. Sehari tidak bertemu rasa rindupun mulai hinggap di hatiku.

"Kok, Abang jam segini baru datang menjemput." protes Sindy sedikit merajuk.

"Tadi ada keperluan dulu sedikit, ayo naik" jawabku.

Sindy langsung naik, akupun melaju, dan membelokan motor ke arah kiri.

"Kok,motornya belok, Bang? Memangnya kita mau kemana?' tanya Sindy.

"Abang lapar, Neng. Kita mampir ke warung pecel dulu, di sana nasi uduknya enak." aku menyahut.

Beberapa menit aku dan Sindy sampai di tukang pecel ayam, kemudian kami turun lalu memesan nasi uduk dua porsi.

Setelah beberapa menit menunggu, makanan sudah tersedia. Tanpa merasa canggung kami makan dengan lahapnya.

Sindy tanpa malu-malu dia menyendok nasinya, lalu menyuapiku. Aku sedikit kaget, gadis cantik yang kuanggap lugu ternyata dia lebih berani dariku.

"A, aaaa, Bang." titahnya, memaksaku untuk membuka mulut.

Aku yang memang mulai suka terasa ada angin segar dan langsung menyambut suapan dari Sindy dengan ragu. Gadis di depanku itu tersenyum.

'Ah, kupikir anak ini pemalu,' gumamku.

"Enak ya Bang pecel ayamnya?" ucapnya seraya memberikan suapan ke dua.

Aku yang sedang berbunga sudah siap menampungnya. Mulutku sudah terbuka lebar.

Namun kali ini bukan masuk ke mulutku yang sudah siap menerima suapan selanjutnya, melainkn masuk ke mulutnya sendiri. wajahku langsung terasa memerah karena menahan malu.

Usai makan, sebelum pulang aku mengeluarkan sebatang rokok lalu membakarnya dan mulai menghisapnya. Kepulan asap rokok dari mulutku mampu membuat Sindy terbatuk-batuk.

"Uhuk! Uhuk! Kamu merokok juga, Bang?" tanyanya.

"Iya, Neng. Kenapa? Neng gak suka Abang merokok? Ya udah rokoknya Abang matiin," jawabku. Sindy tidak menjawab, ia malah mengajak pulang.

"Bang, di hitung ya, ini semuanya jadi berapa?" panggilku kepada si pemilik warung.

"Nasi pecel dua, sama teh manis Dua, jadi empat puluh lima ribu, Bang." jawab si pemilik warung pecel.

Akupun mengeluarkan uang lima puluh ribu dan mengambil kembaliannya. Setelah itu menghidupkan motor langsung pulang menuju rumah Sindy.

Jam delapan malam aku sampai di rumah Sindy. Dan pukul 23:00 masih berada di rumahnya. Itu berarti sudah tiga jam aku berada di rumahnya. Dia masih mau menemaniku walaupun bapak dan ibunya sudah tidur.

"Neng, boleh nggak Abang nginep di sini." izinku kepada Sindy.

"Boleh, Bang. Tapi apa istri Abang tidak nungguin di rumah? Apa nanti kalau Abang nginep dia gak marah?" jawab Sindy dengan suara cemprengnya.

"Istri Abang tidak akan tahu kalau Abang tidur di sini. Sekarang dia lembur sampai pagi. Anak Abang juga nginep. Abang kesepian di rumah sendirian." jawabku, aku memang sedang malas pulang.

"Ya, udah. Abang tidur di ruang tamu ya." jawab Sindy.

Kembali pucuk di cinta ulampun tiba, malas pulang nginepun di bisa. Sindy keluar dari kamarnya dan memberikan sebuah bantal, akupun menerimanya.

"Aku tidur duluan ya, Bang. Takut besok kesiangan," izinnya yang kubalas dengan anggukan.

Akupun meraih bantal itu dan mulai merebahkn tubuhku di atas sofa, dengan pikiran sedikit berbunga. Aku tersenyum kecil hingga membuatku tertidur dan hanyut dalam mimpi

***
Tiba-tiba suara riuh orang-orang terdengar di luar. Aku yang terbuai dalam mimpi indah seketika terperanjat sambil mengucek mata pelan lalu mengumpulkan kesadaranku.

"Pak Miun! Buka pintunya! Pak Miun, jangan diam saja di dalam."

"Pak Miun, Bu Oneng. Buka pintunya!" seru teriakan warga di luar sambil menggedor-gedor pintu rumah Pak Miun.

Kemudian Pak Miun dan Bu Oneng-orang tua Sindy keluar bersamaan menuju ke depan pintu.Tidak lama Sindy juga keluar dari kamarnya, sedangkan aku duduk terpaku.

"Maaf, Pak RT, Pak Hansip, juga bapak- bapak. Ini ada apa ya jam segini rame-rame datang ke rumahku?" tanya Pak Miun yang terheran-heran.

"Maaf, Pak! Kami datang ke sini bersama beberapa warga sudah sangat merasa terganggu. Terutama saya sebagai ketua RT di sini sudah sangat malu setiap kali mendengar laporan warga kalau di rumah Bapak ada tamu yang pulang sampai larut malam dengan suara motor yang bising, dan katanya tamu itu sekarang nginep di rumah Bapak." tutur Pak RT.

Aku yang berada di dalam tamu sedikit gematar, termasuk Sindy. Tiba-tiba Pak RT dan Pak hansip merangsek kedalam di ikuti beberapa warga.

"Maaf, Bang. Siapa nama Abang," tanya Pak RT.

"Ha--hasan, Pak." jawabku dengan wajah menunduk dan sedikit bergetar.

"Maaf, Bang Hasan. Bukankah warga kami sudah memperingatkan Abang untuk tidak mengganggu kenyamanan warga sini?" tanya Pak Hansip. Di sampingnya ada orang yang dulu pernah memperingatiku.

"I-ia, Pak. Maafkan aku," jawabku sedikit gemetar.

"Maaf, Bang Hasan. Kami tidak bisa mentolerir Abang lagi dan Sindy juga. Kami sudah sangat resah dengan kehadiran Abang di ruamh Bu Oneng dan Pak Miun." tutur Pak RT. Aku dan Sindy hanya menunduk.

"Bawa dia ke kantor polisi saja Pak." usul warga di luar.

"Ah, mending di arak nih kalau sudah begini," timpal yang lain bikin aku tidak kepalang takutnya.

"Maaf, Pak. Aku tidak melakukan apa-apa di sini, aku hanya bermalam saja, Pak," jawabku sekenanya.

"Maaf, Bang. Kami sudah cukup memperingatkan Abang, terpaksa sekarang Abang kami bawa ke kantor polisi atau mau kami arak?" sahut yang lain.

"Pak, jangan Pak! Jangan arak Sindy dan Bang Hasan. Maafkan kami, Pak. Maafkan orang tuaku juga. Sindy janji tidak akan mengulanginya lagi," ujar Sindy memelas yang sama takutnya.

"Maaf, Sindy, Bang Hasan, juga Ibu Oneng dan Pak Miun. Kami tidak bisa berubah pikiran. Atau gini, kami punya usul. Bagaimana kalau kalian kami nikahkan?" tanya Pak RT. Sontak aku dan Sindy serta orang tuanya terperanjat.

"Ta-tapi, aku punya anak juga stri bapak-bapak. Tidak mungkin aku menikahi Sindy," jelasku, padahal jujur aku sangat ingin menikah dengannya.

"Maaf, Bang. Soal anak istri itu urusan Abang, kami di sini hanya memberikan solusi demi menjaga nama baik kampung ini dan juga kalian. Terserah Bang Hasan mau pilih yang mana? Di laporkan ke kantor polisi karena mengganggu kenyamanan warga, atas tuduhan perzinahan dan di arak keliling kampung, atau kami paksa menikah?" tutur Pak Hansip yang dari tadi diam.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience