Sindy Pembuat Onar

Family Series 3263

" Assalamualaikum Ma, " ucap Ardan sambil meraih tanganku. Aku hanya terpaku, namun mataku langsung menatap tajam ke arah Sindy yang hendak menyalamiku, tanganku segera menghindar dari sentuhan tangan Ardan.

"Kamu masih ingat sama Mamamu ini, Ardan? Untuk apa kamu membawa perempuan itu ke rumah ini?" tanyaku kepada Ardan penuh emosi.

Hampir saja aku tidak bisa mengendalikan amarah, dan ingin sekali menjambak rambut Sindy kalau saja Ardan tidak reflek menepis tanganku dengan kasar.

"Mama ini apa-apaan sich? Aku ini baru datang. Kenapa Mama kasar begitu sama Sindy?" bela Ardan dengan ketus.

"Kamu yang apa-apaan, Ardan? Kenapa kamu bawa dia ke rumah ini? Mama tidak sudi melihatnya lagi. Sekarang, cepat kamu bawa dia pergi dari sini." usirku yang tidak bisa menahan amarah lagi.

"Ma! Kenapa aku harus membawa Sindy pergi dari sini? Suka ataupun tidak! Sekarang Sindy sudah menjadi istriku. Dan mulai sekarang, aku juga Sindy akan tinggal di rumah ini." tegas Ardan dengan kasar membuat aku terperangah mendengar ucapannya.

Sikap Ardan seperti tidak menganggapku orang tuanya lagi. Aku terperanjat, bukan hanya sakit saat mendengar dia bicara. Dan yang lebih membuat aku terkejut, ternyata Ardan membawa Sindy untuk tinggal bersama, ini sungguh membuatku semakin merasa sakit.

"Apa?! Mama tidak salah dengar kan, Ardan? Kamu mau mengajak dia untuk tinggal di rumah kita?" tanyaku seakan tidak percaya.

"Ya, itu sudah menjadi keputusan kami. Setuju atau pun tidak, aku dan Sindy akan tinggal di sini." sahut Ardan.

"Ardan, kalau saja dia bukan mantan istri bapak kamu, Mama pasti dengan lapang dada dan senang, kamu juga istrimu tinggal di sini. Tapi ingat, dia adalah wanita yang pernah menghancurkan rumah tangga Mams. Kemana pikiranmu?" hardikku.

"Ma! Apa susahnya sich Mama menerima Sindy? Dan jangan selalu mengungkit masa lalunya. Hargai dia, menantu Mama. Setiap orang punya kesalahan." bela Ardan. Sindy terus menunduk dan bersembunyi di balik punggung anakku.

Sindy seperti seorang perempuan yang alim, dan seolah polos membuat aku semakin muak melihatnya. "Udah, Ma! Aku tidak mau tahu lagi. Tolong, izinkan keputusan kami untuk tinggal disini." lanjut Ardan. Aku melongo dibuatnya dengan pernyataannya yang semakin tidak bisa terkendali, seperti halnya emosiku yang meluap-luap.

"Mama tidak menyangka, kamu akan sejauh ini menyakiti perasaan Mama, seperti halnya yang di lakukan Bapak kamu dengan perempuan yang sama!" celaku.

"Tolong, Ma! Hentikan mengungkit masa lalu Bapak dengan Sindy. Sekarang Sindy adalah masa depanku." pungkas Ardan.

"Kamu bener-benar keterlaluan, Ardan. Setan apa yang sudah merasukimu? Kamu tahu, Ardan? Dalam agama kita tidak di perbolehkan untuk menikahi perempuan yang sama." jelasku. "Eh, pelakor, apa yang sudah kamu lakukan terhadapa anakku, sehingga dia sudah berani terhadapku?" aku mendekati Sindy yang seperti ketakutan dengan bibirnya seperti terkuci. Dia sama sekali tidak menjawab pertanyaanku.

"Aah! Udahlah, Ma. Jangan bawa-bawa agama. Mungkin kedatanganku ke sini bukan waktu yang tepat. Kenapa Mama begitu tidak suka dengan kedatangan kami ke sini?" gertak Ardan seperti telah di butakan oleh Sindy. Entah punya kemistri apa dia?

"Ayok, Yang, kita masuk." ajak Ardan kepada Sindy yang terus berada di punggung Ardan, meninggalkanku yang sedang kesakitan atas perkataan dan perlakuannya.

Tidak sedikit tetangga yang datang melihat keributan di antara aku dan Ardan. Tidak sedikit juga dari mereka yang berdecak sambil menggeleng.
"Ck, ck, ck, gak nyangka ya Ardan bisa berbuat begitu sama Mamanya sendiri."

"Iya, tuch. Dasar anak durhaka."

"Ceweknya juga ke gatelan tuch, gak tahu malu."

"Heran sama anak jaman sekarang pada melawan sama orang tua, susah kalau di ingetin."

"Jangan-jangan ceweknya itu punya pelet tuch, dulu si Hasan ia rebut. Eh. Sekarang malah si Ardan di embat juga. Bener-bener maruk."

"Kuat banget tuh si Ima, di sakitin sama anak juga suami, kalau aku sudah di apain tuh cewek."

Begitulah ucapan para tetangga. Aku terus tersedu menangis pelan. Bang Hasan yang dari tadi menyaksikan itu seperti tidak bisa berbuat apa-apa.

"Bubar ... bubar!! Kalian semua kaya gak ada kerjaan saja ngomongin orang. Dasar tetangga tukang gibah." usir Ardan kepada mereka. Aku hanya bisa mengurut dada.

"Eh, Ardan. Apa kamu tudak kasihan sama Mama kamu, tuch? Kamu benar-benar anak yang tidak bisa menjaga perasaan Mamamu." balas tetanggaku, kemudian mereka satu persatu pergi dan menghilang dari pandanganku.

"Dasar tetangga kepo, pengen tau aja urusan orang lain, hah!" rutuk Ardan mencebik. Lantas ia masuk sambil menuntun Sindy, aku kembali hanya bisa mengelus dada yang terasa semakin sakit.

"Sayang, kenapa kamu nangis?" Aku mendengar suara Ardan dari dalam.

"Hik, hik, hik. Aku sedih, Sayang. Sepertinya Mama kamu tidak suka denganku hanya karena dulu aku pernah menjadi istri Bapakmu. Lebih baik aku pulang saja ke rumah Ua." jawab Sindy.

"Sayang, kan kamu sudah setuju kalau kita akan tinggal di sini. Kamu jangan pernah menghiraukan omongan Mama ataupun yang lain. Kita kan sudah sepakat untuk tetap tinggal di sini apapun yang terjadi dengan kita." balas Ardan.

"Terima kasih, Sayang, karena kamu sudah membelaku. Aku makin sayang sama kamu," balas Sindy.

Aku yang mendengar pembicaraan mereka saat itu amarahku kembali terasa mendidih. Dada terasa sakit. Ingin rasanya aku mengamuk dan mencaci maki wanita yang ada di rumahku itu. Tapi aku takut akan menambah luka hatiku karena pembelaan anakku.

Saat ini tidak ada yang bisa mendamaikan jiwaku. Panas, sakit, kesel, marah menjadi satu di dalam dada membuatku seakan sulit hanya sekedar untuk bernapas pun.

Ingin aku pergi dari rumahku. Namun aku ingin tetap ada di rumahku demi menjaga anak-anakku. Tidak ada yang bisa mengeluarkanku dari rumahku sendiri.
Biarlah untuk saat ini aku tetap bertahan. Ini hanya baru permulaan. Aku ingin tahu seberapa kuat wanita itu tinggal bersamaku, dan seberapa hebat pengaruhnya terhadap anakku hingga dia lupa untuk menghormatiku sebagai ibunya?

***
Semakin hari keberadaan Sindy di rumahku semakin membuat aku merasa tidak betah dan sangat tidak nyaman. Dia kerap kali membuat aku jengkel dan marah. Tapi aku berusaha untuk terus bersabar untuk tidak terus menerus karena malu sama tetangga dan berusaha menerima nasib.

Sindy yang pemalas dan manja membuat aku semakin membencinya, dia tidak pernah sekalipun membantuku dalam urusan pekerjaan rumah. Seperti halnya waktu itu saat libur kerja, dia akan bangun sampai siang dan langsung mencari makan. Sindy membuka tutup saji, tapi ternyata tidak ada apa-apa.

"Masa tidak ada makanan sama sekali," gumamnya sambil menutup kembali tutup saji dengan kasar. Aku yang sedang mencuci piring tidak menghiraukannya.

"Mama mertua, kok tidak ada makanan buatku. Mama mertua, aku laper nich." ucap Sindy sok manja dengan nada mengejekku.

Seperti itulah setiap hari sikapnya, dan aku tidak ingin meladeninya apalagi membalas. Kalau aku membalasnya dia akan semakin besar kepala. Itu yang membuat aku semakin jengkel karena ia selalu mampu memancing emosiku.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience