POV Hasan

Family Series 3263

Aku Hasan, usiaku 38 tahun, sebelum bertemu dengan Maima-istriku, aku hanyalah seperti gelandangan. Baru beberapa hari aku datang ke daerah Ciawi untuk merantau.

Karena bingung tidak punya pekerjaan, berkat bantuan seorang teman aku di ajak menemui bosnya dan melamar menjadi supir angkot. Kebetulan kemampuanku hanya nyupir

Penumpang juga terkadang ramai kadang juga sepi. Tidak jarang aku harus nombok setoran, akhirnya aku mencoba ngetem di sebuah pabrik. Menunggu karyawan pulang, dari situlah aku bertemu dengan istriku, dari sering naik angkot, dan dia adalah langganan pertamaku yang tidak pernah ketinggalan. Terkadang pagi juga dia sudah ada di pinggir jalan nunggu aku lewat.

Dari seringnya bertemu akhirnya kami saling suka, Maima selalu duduk paling depan. Awalnya tidak saling menyapa, tetapi aku beranikan diri untuk berkenalan saat penumpang lain sudah turun semua.

"Sudah lama kerja di pabrik itu, Neng?" tanyaku.

"Belum kok, Bang. Baru beberapa bulan. Aku baru lulus SMA langsung melamar kerja." jawabnya.

"Abang sendiri, sudah lama jadi sopir? Kok aku baru lihat," sambungnya.

"Baru beberapa bulan, Neng. Ini juga di ajak teman." balasku.

"Oh," jawabnya singkat.

"Boleh kenalan? Maaf, namanya siapa, Neng?" tanyaku

"Maima, Bang. Panggil aja Ima." jawabnya dengan senyum malu-malu.

"Apa Neng Ima udah punya pacar?" tanyaku lagi, memberanikan diri.

"Belum." Maima kembali menjawab.

"Masa sich, Neng. Kalau gitu, boleh dong Abang jadi pacar Eneng. Tapi ... siapa juga sich yang mau sama Abang? Cuma sopir angkot, orang perantau pula." ucapku merendah agar Maima tersentuh hatinya.

"Abang gak usah merendah gitu, mau sopir mau apa yang penting itu halal, Bang." jawabnya dengan senyum-senyum malu.

"Jadi, Neng Ima mau dong jadi pacar Abang?" pancingku lagi. Maima tidak menjawab, ia hanya mengangguk kecil.

Pucuk di cinta ulam pun tiba, itulah kata pepatah, singkat cerita akhirnya kami resmi pacaran.

***
Setahun sudah kami berkenalan sebagai pacar, aku berusaha mendekati orang tuanya untuk mengambil hati mereka. Karena keramahan dan sopan santunku mereka menerimaku dengan baik dan memintaku untuk segera melamar anaknya yang berumur 18 tahun. Sedangkan aku waktu itu berusia dua puluh tahun, kami sama-sama masih muda. Aku bingung dengan keadaanku yang tidak punya apa-apa.

Merekapun tidak memintaku lebih, cukup menyediakan mas kawin, karena semua di tanggung oleh keluarga Maima. Aku bersyukur Maima bukan hanya pekerja keras tetapi juga baik, dia selalu menuruti apa yang aku mau.

Dua tahun setelah menikah Maima hamil, dan usai melahirkan dia tidak berhenti kerja, hanya mengambil cuti. Setelah masa cuti habis dia kembali bekerja dan anak kami di rawat oleh mertuaku.

Setelah anak pertamaku berusia dua tahun. Maima kembali hamil dan melahirkn anak perempuan, maka lengkaplah sudah kebahagiaan kami. Maima juga bukan istri pelit, dia selalu menuruti apa yang aku pinta.

"Ma, kayanya Abang mau punya motor deh, biar nanti kalau angkot di ambil bos sudah ada sampingan, gak apa deh Abang jadi tukang ojek. Motornya juga gak harus baru, Ma. Yang penting masih bagus dan gak rusak. Mama masih punya tabungan 'kan?" rengekku.

"Ada, Bang. Tapi kalau buat beli motor baru kayanya gak bakalan cukup." jawabnya.

"Kan, udah Abang bilang, gak harus yang baru," balasku.

Maima memang selalu berusaha mengabulkan permintaanku tanpa harus melakukan kekerasan, cukup dengan sering merayunya dia pasti luluh. Dengan bujuk rayuanku Maima akan selalu menurutiku.

Akhirnya dia membelikan aku motor. Memang bukan baru, tetapi masih lumayan bagus, toh nanti aku bisa meminta lagi untuk beli yang baru.

Setelah dua bulan punya motor aku tidak lagi menarik angkot. Aku ikut mangkal jadi tukang ojek pangkalan.

Pendapatanku masih sama. Terkadang rame kadang juga sepi. Tetapi istriku tidak pernah mempermasalahkan, dia tidak pernah menuntut.

Hingga sebelas tahun pernikahanku, akhirnya aku tergoda sama janda anak satu. Namanya Nurani, biasa di panggul Nur. Dia sering naik ojekku setiap kali pulung dari pasar membawa belanjaan.

Nuraini punya warung nasi, setiap kali mengantarnya pulang berbelanja, setiap kali itu juga aku bisa berlama-lama hanya untuk meminum kopi. Akhinya tumbuh perasan suka dan aku ingin menikahinya.

"Bang, nanti gimana kalau Mbak Maima tahu? Dia pasti akan marah, aku gak mau, ah, Bang. Resikonya jadi istri muda tuh berat. Belum lagi dengan status pelakor." tolak Nuraini waktu itu, yang jauh lebih muda dariku.

"Eggak bakalan lah, Mih," jawabku dengan panggilan Mimih. Aku terus meyakinkan janda cantik Itu.

Tetapi entah tahu dari mana tiba-tiba Maima datang melabrkku saat aku sedang berdua-duaan di dapur bersama Nuraini yang sedang memasak.

Maima yang sudah tahu hubunganku dia mengamuk, tetapi tidak sampai menyakiti Nuraini yang sedang ketakutan.

Akhirnya batalah pernikahanku. Maima memintaku untuk menceraikannya. Tetapi menolak dan meminta serta meyakinkannya kalau aku tidak akan mengulanginya lagi. Karena kalau sampai bercerai pasti hidupku yang sudah lumayan enak akan kembali seperti waktu pertama kali datang yang seperti gelandangan.

Ternyata sepertinya aku lupa dengan janjiku yang tidak akan mengulangi perbutanku setelah hampir lima tahun. Akhirnya aku kenal dengan Sindy, karyawan Dua Hati yang baru lulus SMA sudah bekerja, hampir sama seperti Maima dulu.

Waktu itu hujan cukup deras, dia turun dari angkot yang baru pulang kerja.

"Bang, ojek," panggilnya, kebetulan itu giliranku narik setelah yang lain dapat tumpangan.

"Hujannya deras banget, Neng. Nanti aja ya, tunggu sampai hujannya reda," pintaku, diapun hanya menurut dan duduk di bale-bale yang sudah tersedia di tempat kami berkumpul.

Tidak lama kemudian hujan reda, aku memberinya helm serta jas hujan. Aku pun segera mengantarnya pulang yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat mangkalku.

Lalu kami berhenti dan dia memberiku ongkos. Namun di saat aku mau kembali ke pangkalan hujan kembali tiba-tiba deras.

"Bang, hujannya makin deras, mampir saja dulu. Itu juga petirnya sangat keras dan anginnya kencang," tawarnya.

Akupun hanya menurut dan memilih duduk di ujung kursi yang ada di teras rumahnya tanpa berbicara sedikit pun. Kemudian datanglah seorang laki-laki yang sudah sepuh.

"Dari mana, Jang." tanya bapak sepuh itu memanggilku 'Jang. Maksudnya Ujang ( panggilan orang Sunda untuk laki-laki yang di bilang masih cukup muda)

"Ini, Pak, habis anter." jawabku sedikit bingung mau nyebut anaknya siapa.

"Itu, Pak, yang Sindy ngojek, tadinya si Abang mau langsung pulang. Tapi hujannya makin deras." aku mendengar anak itu menyebut namanya 'Sindy.' Pria paruh baya itu pun hanya manggut-manggut.

"Mangkal di mana, Jang? " tanyanya lagi.

"Itu, Pak, di pos depan yang prapatan," jawabku.

"Ujang mau nggak, antar jemput anak Bapak?" tawarnya.

"Antar jemput anak, Bapak? Emangnya tidak ada yang antar, Pak?" tanyaku lagi.

"Tadinya ada, sama ponakannya, tapi sekarang mulai sekolah. Bapak juga tidak ada motor." lanjutnya.

"Aku sempat berpikir untuk tidak menerima tawarannya, tetapi tidak apa-apa deh dari pada pagi-pagi belum ada penumpang.

"Emangnya anak Bapak mau?" tanyaku lagi.

"Pastilah, Jang. Nanti Bapak tanya dulu kepada Sindy." balasnya.

"Iya, Pak. Aku mau, kadang juga suka bingung kalau lagi pas pulang malam tidak ada yang jemput, itu juga kalau Abang ojeknya mau dan tidak keberatan," timpal Sindy. tentu saja aku tidak keberatan dan tidak akan menolak..

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience