Hilang Konsentrasi

Family Series 3266

"Aku tidak ada baju, A." jawab Quinsya

"Ah, jangan bohong, kamu. Pelit banget sich jadi orang, cuma minjemin baju, kok." balas Ardan tidak percaya.

Quinsya tidak menjawab, karena urusannya akan menjadi rumit. Setelah itu anak perempuanku datang dengan beberapa setel baju di tangannya.

"Nich, kamu pilih saja mana yang muat. Tidak usah di kembalikan lagi. Silakan, ambil saja, lemariku sudah penuh." jawab Quinsya ketus..

"Nah, dari tadi kek. Gak usah bertele-tele. Jangan lupa, nanti kamu cuciin bajunya Sindy. Dia kan sekarang sedang hamil, tidak boleh banyak bekerja." balas Ardan kepada adiknya itu. Aku hanya diam menahan marah.

"Cuci saja sendri. Maaf, A, aku banyak urusan. Kalau istri Aa tidak mau nyuci. Aa saja sendiri yang nyuci, jangan nyuruh orang lain. Kalian punya tangan kan?" sahut Quinsya. Terlihat Ardan melotot, wajahnya merah, matanya menatap nyalang. Tangannya mengepal.

"Sayang ..., tuch kamu lihat sendiri kan? Mereka semua tidak suka sama aku." ucap Sindy manja.

"Seharusnya kamu tuh ngaca. Kenapa kami tidak suka!" jawab Quinsya sambil berlalu dari hadapan mereka. Dia tahu kalau hanya diam pasti Ardan akan semakin marah.

Anak-anakku yang dulu saling menyayangi dan menjaga kini tak ubahnya seperti Tom dan Jerry, setiap hari ada saja yang di ributkan semenjak Sindy tinggal bersama kami.

"Udah, Sayang, cepetan kamu pakai bajunya, nanti kita terlambat." ajak Ardan, ia segera menghidupkan sepeda motornya sambil menunggu Sindy memakai baju. 'Dasar culas , baju sendiri saja tidak mau nyuci.' aku membatin.

Ardan dan Sindy pergi kerja tanpa pamit terlebih dahulu kepadaku dan Bang Hasan. Mereka seperti menganggap kami tidak ada.

"Bang Hasan." panggilku, dia datang dengan sedikit tergopoh.

"Ada apa, Ma? " tanyanya heran, karena tidak biasanya aku memanggil dia.

"Tuh, Abang tahu kan sekarang Ardan seperti apa? Semenjak dia menikah dengan mantan istri kamu itu Ardan seperti tidak punya adab. Aku mau tau. Bang Hasan itu pernah menjadi suaminya. Sebenarnya dia punya apa sih, Bang? Bisa-bisanya dia menghancurkan keluarga kita tuk kedua kali. Kalau dia terus tinggal di sini dengan sikapnya yang semakin hari semakin menjadi. Aku tidak sanggup lagi tinggal bersama dia. Tolong, Bang Hasan sebagai mantan suaminya bilangin tuch sama wanita yang tidak tahu malu itu." tuturku kesal.

"Ma, tolong, mengertilah. Abang tidak tahu harus bagaimana? Ardan itu anak kita, juga Sindy. Dia adalah menantu di rumah ini, tidak mungkin Abang memintanya untuk pergi dari rumah ini." bela Bang Hasan. Jawaban yang di luar dugaan.

Ternyata bukan hanya Ardan yang membuat aku kesal. Tapi jawaban suamiku yang membuatku bertambah sakit.

"Oh, jadi Abang tidak berani mengusir dia? Abang itu sebenarnya bukan tidak tega. Tapi karena Abang itu senang kan, mantan istri Abang tinggal di sini? Kamu masih cinta kan sama Sindy? Iya kan Bang!" cercaku dengan emosi. Bang Hasan menggeleng.

"Astagfirullah, Ma. Kenapa Mama sampai punya pikiran seperti itu? Dulu dan sekrang itu sudah lain, Ma. Sudahlah, Mama tidak usah berpikir macam-macam lagi." Bang Hasan terlihat marah, menambahnya amarahku, tapi aku hanya bisa diam.

Tanpa permisi dulu akupun pergi untuk ke tempat kerja. Sedangkan Quinsya sudah pergi terlebih dulu ke kampus.

Aku berangkat kerja dengan pikirkan yang terus berkecamuk. Semenjak Sindy tinggal di rumah. Aku menjadi orang yang seperti tidak punya semangat. Memilih lebih banyak diam dan murung.

Sikap Sindy setiap hari selalu membuat ulah, dan pada akhirnya Ardan semakin membenciku. Semua itu membuatku menjadi kurang konsentrasi dalam bekerja dan sering di marahi oleh atasan soal pekerjaan yang kurang berkualitas.

Bahkan harus mengalami gagal eksport, beberapa kali di panggil untuk menghadapi atasan, dan yang paling sering itu di panggil Pak Heru.

"Silakan duduk, Ima." tawar Pak Heru saat aku masuk ke ruangannya. Lama Pak Heru terdiam, sejenak ia meperhatikanku yang ada di hadapannya dengan wajah menunduk. Sesekali dia melihat book dengan tumpukan baju-baju yang gagal untuk di kirim.

"Ima. Kamu tahu aku memanggilmu ke sini?" tanya Pak Heru dengan menatapku tajam, aku semakin menunduk.

"Iya, Pak" jawabku masih dengan wajah menatap ke bawah karena tidak berani menatapnya.

"Ima, lihat aku. Aku mau tanya. Kenapa akhir-akhir ini kamu tidak seperti dulu? Kenapa line kamu selalu gagal eksport? Hingga selalu berujung pengembalian barang yang akan di kirim. Begitu banyak barang rizek dan jahitannya juga berantakan. Permakan menumpuk, kualitas buruk. Kamu tahu, itu semua akan berpengaruh terhadap perusahaan. Dan imbasnya akan sangat fatal kalau terus seperti ini. Kenapa, Ima? Apa kamu sudah tidak betah lagi kerja di sini? Sehingga kamu mencari alasan untuk ke luar dari perusahaan dengan pekerjaanmu yang amburadul? Atau kamu sedang punya masalah sehingga kamu tidak fokus?" Tutur Pak Heru, aku tidak tahu harus jawab apa?

"Ima, ada apa? Apa kamu punya masalah yang terlalu berat dengan kuluargamu, sehingga hilang konsentrasimu? Kalau memang kamu punya masalah dengan kelurga. Tolong, jangan bawa pekerjaan dengan masalahmu itu." sambung Pak Heru.

Aku menarik napas yang terasa sesak, seakan ingin mengutarakan sesuatu yang sulit kutahan, sakit dan berat. Seberat mataku yang menahan air mata agar tidak jatuh di hadapan Pak Heru.

"Ima, sekali lagi aku tanya. Apa kamu punya masalah yang begitu berat? Kalau kamu mau, aku bisa jadi teman bicaramu, siapa tahu aku bisa membantumu." ucap Pak Heru, aku menggeleng.

"Maaf, Pak. Apa masih ada yang ingin bapak sampaikan?" tanyaku mulai merasa risih.

"Maaf, Ima. Aku belum selesai bicara. Tapi kalau tidak mau lagi aku bertanya. Baiklah, aku hanya mau berpesan. Mulai dari sekarang kamu harus kerja lebih keras lagi dan tingkatkan kualitas. Kami tidak mau mendengar lagi gagal eksport untuk kesekian kalinya kalau pabrik ini ingin terus berdiri. Karena ini akan menentukan berlangsungnya perusahaan ini, kamu juga akan menerima SP ketiga. Aku tidak bisa membantumu lagi. Ayo, Ima. Kamu semangat, kamu pasti bisa. Jangan jadikan beban pikiranmu menjadi beban pekerjaanmu. Kalau kamu ada masalah dan ingin bicara, aku bisa menjadi temanmu. Kamu harus tetap semangat." terang Pak Heru, aku mengangguk kecil. Pak Heru benar-benar memberikan aku semangat yang tulus.

"Iya, Pak, aku akan berusaha kembali bekerja seperti semula. Aku janji, Pak. Terima kasih. Kalau begitu aku permisi untuk ke luar " izinku, Pak Heru mengangguk, dan menatapku dari ruang kerjanya saat aku meninggalkan ruangannya

Pak Heru, benar. Kalau kali ini aku gagal lagi pasti akan berakhir dengan pemecatan. Kalau sampai dipecat, aku tidak tahu lagi mesti harus mencari kerja di mana, mungkin juga bebanku akan semakin berat karena harus diam di rumah dan menyaksikan Sindy juga anakku yang semakin membuat aku stress. Aku harus kembali bekerja dengan semangat baru dan tidak mau terlalu fokus dengan masalahku.

***
Malam ini aku tidak tidak ke rumahku, melainkan ke rumah Bi Ijah, dia menyambutku dengan baik. Ia seperti memahami betul dengan keadaanku.

"Minumlah dulu. Kamu pasti haus, " Bi Ijah menyodorkan segelas air putih lalu duduk di dekatku.

"Kamu nggak pulang ke rumah, apa nanti Quinsya tidak mencarimu, Ima? " tanya Bi Ijah.

"Aku sudah menelepon Quinsya, Bi. Kalau boleh, aku mau nginep di sini barang semalam saja," pintaku.

"Boleh saja, tapi apa suamimu tidak akan mencarimu? " tanya Bi Ijah lagi

"Mana mungkin Bang Hasan akan mencariku, Bi. Dia sudah tidak peduli lagi, begitu juga denganku. Biarkan saja." jawabku.

"Ya, sudah, kamu mandi saja dulu, makan, terus istirahat, nanti kita bisa sambung lagi untuk mengobrolnya," ucap Bi Ijah. Aku pun bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh yang terasa kaku dan lengket.

Setelah mandi dan berganti baju aku kembali ke ruang tamu untuk menemani Bi Ijah dengan badan yang sudah terasa segar, nyaman dengan perasaan baru, lalu kuambil sepotong roti dengan teh hangat yang sudah disiapkan Bi Ijah sambil menonton TV

"Ima, apa sikap Ardan masih tidak berubah dan juga menantumu itu? " tanya Bi Ijah , aku menarik napas berat.

"Selama Ardan masih dengan Sindy, sepertinya mereka sulit untuk berubah, Bi."

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience