Kesiangan

Family Series 3263

Azan subuh berkumandang, aku sudah siap pulang ke rumahku sebelum Maima datang. Aku mendekati pintu kamar Sindy lalu mengetuknya.

"Neng, udah bangun belum? Abang pulang dulu ya, nanti kesini lagi." pesanku.

Namun Sindy tidak keluar dari kamarnya, mungkin dia belum bangun. Ya, sudahlah, aku mengeluarkan motor dulu lalu menghidupkannyabdi luar hendak bergegas pulang.

"Abang!!" Tiba-tiba Sindy keluar dan memanggil manja sambil menyeru, Kemudian dia menghambur ke arahku dan memelukku. Aku jadi salah tingkah di buatnya. Ternyata Sindy lebih agresif dari yang kuduga. Dia memang selalu membuat aku tak habis untuk memikirkan sifatnya.

"Iya, ada apa?" tanyaku yang balik memegangi tangannya.

"Jangan pulaaang," pintanya manja.

"Cuma sebentar kok, gak lama. Nanti juga Abang kesini lagi." Jawabku sambil berusaha melepaskan pelukannya pelan.

"Janji!" balasnya sambil menjulurkan jari kelingking.

"Iya ... janji," balasku, mungkin dia sudah tidak marah lagi.

Aku pun naik ke atas motor karena harus segera sampai di rumah sebelum Maima datang.

"Abaaangg," panggilnya lagi. 'Duh ada apaan lagi sih?' aku membatin.

"Iya ... apa lagi?" tanyaku mulai sedikit kesal namun berusaha lembut.

"Sini dulu, aku bisikin," pinta Sindy.

Aku menuruti dan mendekatkan telinga dengan posisi wajah agak miring.

Cup!

Tiba-tiba sebuah ciuman menempel di pipi kiriku, dan Sindy langsung berlari kecil masuk ke rumahnya.

Sesaat aku terkesima apa yang barusan Sindy lakukan. Bukan tidak senang menerimanya, lagi-lagi aku sungguh sangat kaget dengan tingkah Sindy. Kalau saja tidak ingat Maima pulang, mungkin aku akan terus berdua-duaan dengan Sindy.

"Ingat, Bang. Jangan lupa, nanti cepetan kesini lagi," pintanya mengagetkanku yang langsung tersadar, lalu menghidupkan motor dan melaju pelan.

Di sepanjang perjalanan aku terus di bayang-bayangi tingkah Sindy tadi bikin aku kangen. Sesekali aku mengusap pipi yang tadi Sindy cium, lalu aku mengusapnya serta mencium tanganku, agak sedikit bau iler, mungkin Sindy lupa tidak membersihkan mulutnya dan belum menggosok gigi dan baunya sampai gak hilang. Aku senyum-senyum sendiri dan menggeleng karena merasa lucu dengan sikapnya itu.

Sesampainya di rumah. Aku sengaja tidak memasukkan motor dan memilih tidur di luar, padahal kunci pintu aku bawa serepnya.

Aku memlih tidur di luar di bale-bale dengan udara yang dingin. Kututupi tubuhku dengan jaket kulit yang baru Maima belikan. Sengaja aku tidur di luar biar istriku itu tidak curiga. Hingga akhirnya aku tertidur betulan kemudian terbangun saat ada yang menggerak-gerakan badanku.

"Bang, Abang. Bangun." panggilnya. Aku mengerjap. Ternyata Maima sudah pulang.

"Eh, Mama. Udah pulang? Emangnya ini jam berapa?" tanyaku sambil mengerjap.

"Hampir setengah tujuh, lagian Abang kenapa tidur di luar, terus sampai kesiangan? Emangnya Quinsya ke mana?" tanya Maima. Sontak aku terperanjat dan langsung bangkit dari tempat tidur.

"Setengah tujuh, Ma. Abang semalam gak bisa tidur nungguin Mama. Eh, tadi sebelum subuh baru bisa tidur tapi malah kesiangan. Quinsya nginep di rumah Bi Ijah" jawabku dengan segala alasan dan pura-pura seperti orang bingung.

"Lha, terus, ngapain Abang kaya orang bingung gitu?' tanya Maima.

"Ya, gak bingung gimana, Ma? Sekarang udah setengah tujuh. Abang harus antar Sindy kerja. Mama juga baru pulang.Terus, kalau Abang langsung pergi nanti Mama kira Abang mentingin orang lain dari pada istri sendiri," keluhku pura-pura. Selalu seperti itu, harus pandai-pandai bersandiwara.

"Ah, Abang ini lebay, biasanya juga emang kaya gitu 'kan? Ya udah Abang cepetan anterin Sindy. Nanti dia kesiangan," titah istriku. Aku seperti mendapatkan angin segar.

"Iya, cepatan sana. Lagian aku juga ngantuk, Bang. Mau langsung tidur saja," lanjut Maima lagi.

Akupun langsung bersiap-siap pergi untuk mengantar Sindy tanpa menunggu Maima bicara lagi.

Perlu satu jam untuk sampai ke rumah Sindy, pastilah akan terlambat masuk, akupun memacu motorku lebih cepat lagi dengan menambah kecepatan jarak tempuh.

Sesampainya di rumah Sindy, dia sudah menunggu sambil berkacak pinggang dengan wajah agak sedikit merah.

"Tuh 'kan! Abang telat datangnya. Padahal aku sudah wanti-wanti. Jangan lama-lama! Nanti aku telat, Bang! Benar 'kan!" ujar Sindy dengan suara agak kasar dan sedikit membentak. Padahal Maima saja tidak berani. Jangankan membentak, memarahiku saja tidak pernah.

"Maaf, Neng. Abang tadi ketiduran. Ayo cepetan naik, nanti takut terlambat.

"Ini memang udah telat, Bang! Alasan ketiduran, bilang saja lagi nungguin istri tercinta. Iya 'kan!" sindir Sindy, sambil naik ke motor.

Sindy seperti memperlihatkan sifat aslinya yang mudah marah dan nggak sabaran. Belum apa-apa sudah berani membentak, sangat jauh berbeda dengan Maima. Tetapi tidak apalah karena akupun suka dengan sifat manja dan pemarahnya.

Kini aku sedang bahagia-bahagianya, karena keinginan punya istri dua tercapai sudah. Istri tua pekerja keras tidak banyak mengeluh dan menuntut. Istri muda yang gampang marah tetapi juga menyenangkan. Istri tua bekerja istri muda kumanja, hidup ini hanya sekali, aku harus benar-benar menikmatinya.

Soal bagaimana kedepannya itu urusan nanti. Sindy sudah berjanji untuk membeli motor dan aku harus terus membujuknya sebelum dia benar-benar berubah pikiran.

***
"Neng, kapan nich mau beli motor, ini udah dua bulan kita nikah, Abang tidak mau Maima tahu dan curiga?" aku mulai mengingatkan Sindy

"Ya entar, Bang. Uangku belum cukup, aku maunya chas, biar gak pusing. Emangnya Abang ada buat nambahinnya?" Sindy balik bertanya.

"Ya nggak ada sich, tapi nanti gimana kalau Maima nanyain?" Tanyaku lagi, hampir saja aku menyebut Maima dengan panggilan istri, sudah pasti Sindy akan sangat marah.

"Ya, Abang bilang saja, uangku belum cukup, kan Abang juga gak pernah kasih aku uang," Sindy seperti balik menyerang yang membuat aku diam seketika.

"Neng, kan tahu Abang masih punya cicilan," kilahku, padahal sesungguhnya aku hanyalah suami yang mengandalkan penghasilan dari para istri.

"Makanya Abang jangan cuma ngandelin dari istri saja. Abang tuh harusnya kerja cari sampingan buat bantuin aku," ucap Sindy kembali seperti sedang menasehstiku.

"Kan, Neng tahu, sampingan Abang cuma dari Neng. Abang juga bukan tidak berusaha, tapi jaman sekarang sulit juga cari kerjaan Neng. Kan Sekarang Neng juga tidak kasih lagi Abang uang. Ngojek juga sepi penumpang." Tuturku.

"Eh, Bang! Itu bukan kewajibanku aku kasih Abang uang. Tapi Abang tuh yang harus kasih uang sama aku! Enak saja. Harusnya Abang tuh mikir! Sudah bagus aku tidak pernah menuntut dan tidak bilang sama Teh Maima kalau kita sudah menikah." Terang Sindy merajuk.

Sekarang bicaranya tidak pernah lagi lembut, suka kasar dan sering marah-marah. Aku seperti tidak berkutik dan harus banyak mengalah.

"Maafin Abang ya kalau belum bisa kasih Neng apa-apa." Ucapku. Akhirnya aku kembali yang harus meminta maaf.

"Ya, makanya Abang tuh sabar dulu, kalau aku gak kasih lagi Abang uang, itu karena untuk nambahin buat beli motor," jawab Sindy.

"Ya udah, Neng. Abang berangkat ngojek dulu. Neng istirahat saja mumpung ini hari Minggu," titahku.

"Ngojek apa mau berdua-duaan sama Teh Maima, nich?" sindir Sindy, selalu begitu kalau dia itu pencemburu dan curigaan.

"Udah, ah, Neng. Jangan mulai lagi. Nanti Abang mampir lagi ke sini kalau narik. Neng mau di bawain apa sama Abang?" tanyaku.

Aku gak mau apa-apa, Bang!" seru Sindy, dalam hati aku bersyukur. Akupun pergi untuk pulang ke rumah Maima padahal bilangnya sama Sindy mau ngojek.

Sindy tidak curiga, ia mengantarku sampai di luar dengan sedikit mencebik, itu tandanya Sindy kesal aku tinggalin. Ya, karena aku hanya punya sedikit waktu untuk dia agar Maima tidak curiga.

Sindy juga pernah memintaku untuk menceraikan Maima dan menikahinya secara resmi, tetapi aku selalu memberi dia alasan dan janji bahwa itu perlu waktu dan harus bersabar selama Maima belum mengetahuinya.

Setelah sampai di rumah, aku segera mematikan mesin motor dan langsung masuk duduk di sofa. Maima datang menghampiri.

"Tumben jam segini Abang sudah pulang narik." Maima memyambutku seraya bertanya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience