Ular Berkepala Dua

Family Series 3263

"Mama mertua, aku ini lagi bicara, gak dengar apa kalau aku dari tadi ngomong? Aku ini lapar. Apa tidak ada makanan, gitu?" ucap Sindy sambil mendekat.

"Kamu kalo laper tinggal masak saja, tidak usah nyuruh-nyuruh aku, karena aku ini bukan pembantumu." jawabku menahan kesal.

"Ihh, Mama mertua kok gitu sich jawabnya. Aku kan di sini menantumu, pengen dong sekali-kali ada yang nyiapin." sahutnya.

"Aku tidak punya menantu muka tembok seperti kamu. Dasar anak tengil," balasku kesal.

"Mama mertua, tidak baik marah-marah terus. Nanti cepet tua dong. Lihat nich kayak aku, wajahku makin kinclong, badan juga makin seksi." ejeknya sambil memutar badannya sendiri.

"Eh, dasar mantan pelakor, kamu jangan coba-coba terus memancing emosiku. Sekarang aku mau tanya. Doktrin apa yang sudah kamu kasih terhadap anakku? Sehingga dia selalu menganggapku seperti orang lain, dan dia tidak pernah menghormatiku sebagai Mamanya yang telah melahirkannya. Sedangkan kamu. Kamu hanya anak kemarin sore yang hanya bisa merusak ketenangan rumah tanggaku. Apa kamu tidak punya malu sedikitpun?" balasku. "Atau rasa malu kamu memang benar-benar sudah hilang?" lanjutku tak kalah pedas yang tersulit emosi.

Aku berusaha menarik tangannya hendak kusingkirkan agar menjauh dariku. Namun secepat kilat dia mendorongku, dan mendekatkan dirinya kehadpanku.

"Mama mertua, jangan marah-marah terus, tidak baik untuk kesehatan," ucapnya. "Jangan coba-coba menyentuhku. Dulu kamu boleh menang dan telah berhasil menyiksaku. Dulu aku memang tidak berdaya untuk menghadapi kamu, Mama mertua. Tapi itu dulu, sekarang lihat. Aku sudah tidak sama lagi dengan yang dulu, dan Mama mertua akan tahu akibatnya." ancam Sindy.

Entah dia punya keberanian dari mana untuk menantangku? Dan Ardan adalah andalannya sebagai tameng. Sindy memang bukan lagi Sindy seperti dulu yang badannya kecil dan kurus juga agak dekil. Sekarang tubuhnya terlihat berisi juga montok, serta wajahnya yang glowing, sekarang dia berani melawanku.

"Ini ada apa lagi sich pagi-pagi udah pada ribut?" tanya Ardan yang sudah berada di antara kami. Sindy berlari kecil lalu menjatuhkan badannya ke pelukan anakku.

"Sayang, aku tidak sanggup untuk terus tinggal di rumah ini. Aku selalu salah di mata Mamamu. Aku sudah berusaha menjadi menantu yang baik. Aku bermaksud untuk membantu Mamamu mencuci piring, tapi Mamamu malah memakai-maki aku." adu Sindy yang sangat bertolak belakang dari kenyataan. Aku hanya menarik napas berat.

"Mama, mau sampai kapan sich kalian selalu ribut terus? Aku pusing, Ma. Aku tinggal di sini maunya tenang, apa lagi Sindy sekarang sedang hamil. Aku tidak mau kehamilannya itu terganggu." bela Ardan tanpa mau tahu masalah yang sebenarnya.

"Tapi, Ardan, tidak seperti itu kenyataannya. Sindy itu katanya lapar. Mama hanya memintanya untuk masak sendiri. Mama sibuk sedang mencuci piring. " belaku sambil menahan sabar.

"Ya, ampun, kalau itu saja kenapa sih harus pakai ribut? Mama kan bisa bantu Sindy bikin sarapan. Aku juga lapar," sahut Ardan. Sindy tersenyum puas.

"Ardan, Mama ini bukan pembantumu. Kalau kalian memang lapar bisa dong bikin sendiri. Dan kamu! Mantan pelakor. Apa kamu tidak punya rasa malu barang sedikitpun menikah dengan anakku dan tinggal bersama mantan suami dalam satu rumah? Di mana muka kamu? Apa memang urat malu kamu sudah hilang." balasku sengit, aku benar-benar naik darah setelah selama ini diam dan masa bodo.

"Cukup, A! Kenapa sih setiap hari Aa harus selalu memperlakukan Mama seperti ini? Aa tidak tahu kalau Mama yang telah melahirkan dan membiayai semua keperluan Aa waktu itu, " Tiba-tiba Quinsya datang membelaku saat dia pulang sehabis membeli pulsa. Selama ini aku tidak pernah cerita dan dia sudah tahu apa permasalahannya.

"Quin, sejak kapan kamu melawan Aa-mu ini? Kamu juga sebagai anak perempuan harusnya menyiapkan sarapan untuk kami, " balas Ardan semakin menjadi.

"Aku heran sama Aa. Semenjak menikah dengan Teh Sindy sikap Aa kepada Mama semakin menjadi. Seperti apa sih kelebihan wanita ini? Sampai Aa dibuatnya menjadi buta mata dan hati? " sahut Quinsya. Ardan semakin meradang.

Plak!

Sebuah tamparan mendarat di pipi Quinsya, anak perempuanku itu mengaduh sambil memegangi pipinya.

"Kamu sudah benar-benar keterlaluan, Ardan." balasku. Aku berteriak histeris memanggil Bang Hasan. Kemudian dia datang.
"Iya, ada apa, Ma? "tanyanya.

"Lihat, Bang. Anak lelakimu sudah berani menampar Quinsya hanya gara-gara membela perempuan ini. Sekarang kamu urusin anak dan mantan istrimu itu. Ayo, Quinn, kita pergi dari tempat ini, " ajakkku sambil melempar serbet yang ada di tanganku.

Aku menarik tangan Quinsya. Meninggalkan ruangan itu. Aku tidak bisa lagi membendung rasa nyeri yang semakin menggores hati melihat anakku seperti kehilangan adab terhadap ibunya.

"Sindy, tolong, jangan ribut terus sama Mamamu. Biar bagaimanapun dia itu mertua kamu. Dan kamu juga, Ardan. Tolong, jaga sikap kamu, ya." pinta Bang Hasan terdengar menasehati mereka. "Apa kamu tidak kasihan sama Bapak yang akan jadi pelampiaskan mama kamu? Sindy, aku harap kamu nurut, ya." lanjut Bang Hasan.

"Ich, Bapak mertua sama saja kaya Mama mertua, Semua orang di sini pada nyalahin aku. Kenapa sich kalian?" jawab Sindy membuatku semakin jengah di buatnya.

"Bukan gitu, Sindy ...." ucap Bang Hasan terjeda.

"Oh, Bapak juga nyalahin istriku? Sudahlah Pak, jangan ikutan seperti Mama tuch." bela Ardan terdengar jelas di telingaku yang berada di ruang tangan dengan menahan sesak di dada.

'Ya, Allah ... kenapa Engkau berikan cobaan dalam hidupku seberat ini?' keluhku dalam hati.

"Mama, sudah ya jangan nagis lagi. Mama tidak usah banyak pikiran, biarin Aa seperti itu. Mudah-mudah-mudahan mereka cepat sadar dengan perbuatannya." hibur Quinsya mencoba menenangkan walau sebenarnya dia juga kesal dengan tingkah Sindy dan Ardan.

***
"Yang, bajuku di mana? Kok enggak ada. Aku mau kerja nanti telat, nich." Suara Sindy sudah membahana di ruang tengah. Ia terus mencari bajunya.

"Kok, kamu nayain sama aku sich, Yang. Emangnya baju kamu di kemanain? " jawab Ardan terheran.

"Bajuku kotor semua, belum di cuci. Kamu sich kemarin bukannya nyuci, malah main hp mulu." timpal Sindy. Aku yang sedang bersiap pergi kerja hanya bersikap acuh.

"Kok kamu malah nyalahin aku sich, Yang. Kan kemarin juga kamu tiduran terus sama main hp juga," balas Ardan tak mau kalah.

"Ya, terus, aku kerja mau pake apa?" tanya Sindy.

"Pinjam baju Quinysa aja, kan ukurannya juga sama." balas Ardan dengan enteng.

"Ich, gak mau." tolak Sindy.

"Ya, terus, maunya Ayang tuch gimana? Udah, pake saja baju Quinsya. Quinsya ...." panggil Ardan sambil menghampiri kamar adiknya itu.

"Ada apa, A? " jawab Quinsya seperti malas sambil membuka pintu kamarnya.

"Kamu pinjaman Teteh baju ya. Baju dia kotor semua." ucap Ardan sepertinya dia lupa dengan kejadian kemarin yang sudah nenampar adiknya itu

"Bajuku tidak ada yang cukup, A." jawab Quinsya.

"Ah, jangan bohong, kamu. Pelit banget jadi orang, cuma minjemin baju, kok." jawab Ardan tidak percaya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience