Kedatangan Sindy

Family Series 3263

"Ma, kok diam saja kaya ada yang di pikirin." tanya Bang Hasan.

Ketika aku sedang duduk santai di waktu libur, kebetulan dia juga sedang tidak pergi ngojek. Dia hanya di rumah kalau sedang tidak narik.

"Aku lagi mikirin omongan teman-teman, Bang," jawabku sambil menarik napas.

"Omongan yang mana, Ma?" tanyanya, nampak ia mendekat.

"Itu, Bang. Di pabrik lagi rame ngomongin Abang. Tidak sengaja aku mendengar pembicaraan mereka, kalau Abang menikah dengan karyawan jemputan Abang sendiri. Katanya Abang mesra banget kalau boncengan di motor berduaan sampai di pegangin segala," jawabku tanpa basa-basi dengan nada agak kesal.

"Mama ... Mama. Ya, ialah Abang duduk berduaan, namanya orang ngojek. Lagian, ngapain Mama dengerin omongan mereka?" jawab Bang Hasan sambil terkekeh.

"Ya, siapa tahu apa yang mereka omongin itu benar?" ucapku lagi sedikit mencebik.

"Mama curiga sama, Abang? Kan Abang tiap hari lewat rumah Mbak Fatimah. Anak yang menggunakan jasa ojek Abang tuh tetangganya. Boleh dech, Mama tanya sama dia. Lagi pula, itu karyawan masih anak-anak, Ma. Umurnya juga sama dengan anak kita, dia baru lulus SMA, sudahlah! Gak baik terus curiga sama sama Abang."

"Ya, bisa saja, awalnya gosip jadi kenyataan." balasku dengan hati dongkol.

"Ya, terus. Mama maunya gimana? Apa Abang berhenti saja antar jemput Sindy? Terus, Mama mau menanggung rokok Abang, kopi, sama setoran motor? Nanti kalau Abang diam saja, di bilang malas lah, gak mau kerjalah." sahut Bang Hasan, dari nada suaranya terdengar seperti menahan emosi.

"Ya, enggak maulah, Bang! Aku juga sudah lelah kalau harus kerja terus, aku maunya kita buka usaha saja di rumah. Ya, bikin warung gitu, tapi 'kan harus punya modal banyak. Eh, siapa tadi nama anak itu?" tanyaku penasaran.

"Namanya Sindy, Ma. Emangnya kenapa Mama nanyanin dia?" tanya Bang Hasan seperti heran.

"Nggak apa-apa, kok. Dia itu cantik enggak sich, Bang?" tanyaku lagi penasaran.

"Biasanya saja tuh, malah masih cantik Mama kok!" jawabnya meyakinkan.

"Ah, gombal saja, lebay. Pasti dalam hati Abang tuh bilang. ' tapi bo,ong' ia 'kan? Ngaku dech." cecarku.

"Masa Abang bohong. Tuh "kan gak percaya kalau Abang bilang cantik. Mama tuh makin kesini kaya curiga aja, terus baperan lagi." timpalnya.

"Ya udah, Bang! Aku pusing ah, aku pamit dulu mau ke Bank. Apnak kita udah minta transfer tuch." ucapku dengan gerakan badan agak sedikit menghentak.

Aku meninggalkan Bang Hasan pergi ke Bank dengan motor gigi peninggalannya. Semenjak punya motor baru dia tidak pernah lagi mengantarku. Ke mana-mana aku selalu pergi sendiri.

Sebenarnya, aku juga lebih nyaman bawa motor sendiri, tinggal pergi dan pulang tidak harus di tungguin karena Bang Hasan selalu saja telat kalau menjemput.

***
Semakin hari santer terdengar soal pernikahan Bang Hasan. Tetapi aku masih santai saja. Toh, selama ini suamiku itu tidak pernah menunjukan sikap yang aneh.

Namun tiba-tiba aku mendengar Bang Hasan mengalami kecelakaan, dia terjatuh dari motor setelah menjemput Sindy, penumpang langganannya.

Lukanya juga cukup serius, sampai-sampai aku harus meminta izin untuk merawatnya. Motor juga rusaknya lumayan parah.

"Assalamu'alaikum," ucap salam seseorang dari luar

"Waalaikumsallam, ia sebentar .... Quin, tolong itu buka pintunya, Nak. Sepertinya ada tamu datang, Mama tanggung lagi nyupin Bapak," pintaku kepada Quinsya yang sedang belajar di kamar

"Ia, Ma, sebentar," Quinsya menyahut, dia keluar langsung membuka pintu depan.

"Maaf, dengn siapa ya?" Terdengar suara Quinsya bertanya.

"Mm ..., aku Sindy, karyawan Dua Hati yang sering di antar jemput Bang Hasan. Apa benar ini rumahnya? Katanya Bang Hasan habis jatuh ya." tanya seseorang di luar.

"I-ia," jawab Quinsya.

"Siapa, Quin?" tanyaku yang berada di ruang tengah saat mendengar pembicaraan Quinsya.

"Ini, Ma. Ada tamu, katanya mau melihat Bapak," jawab Quinsya.

"Oh, suruh masuk saja, Quin," titahku

Tidak lama Quinsya datang dengan seorang anak remaja, masih sangat muda, hampir seumuran dengan anakku-Ardan.

"Silahkan duduk, Neng," sambutku.

"Terima kasih, Teh," jawabnya sambil menyalami kami dengan ramah.

"Maaf, kalau boleh tahu, Neng ini siapa ya? Dan ada keperluan apa?" tanyaku menelisik.

"Aku Sindy, Teh, yang sering di antar jemput Bang Hasan. Maaf, Ya Teh, aku merepotkan suami Teteh terus. Ini Teh, buah ala kadarnya. Bang Hasan nya sudah berobat ke mana saja, Teh?" jawabnya, sambil bertanya.

Gadis yang bernama Sindy begitu perhatian. Sepertinya dia khawatir dengan keadaan Bang Hasan. Dia juga membawa banyak buah-buahan dengan macam-macam jenis.

"Oh, ini yang namanya, Sindy? Nggak usah repot-repot, Neng. Bang Hasan sudah berobat ke dokter, di urut juga sudah." jawabku sambil melirik ke arah Bang Hasan yang sedang terbaring.

Sekilas terlihat mata Bang Hasan melirik ke arah Sindy tanpa bicara apa-apa. Tidak lama Quinsya datang dengan segelas air putih.

"Silahkan di minum airnya, Neng," tawarku kepada Sindy.

"Iya, terima kasih. Airnya aku minum ya,Teh." ucap Sindy sambil mengangkat gelas dan meminumnya, setelah itu di taruhnya gelas di meja.

"Apa Neng Sindy sudah lama kerja di pabrik Dua Hati" tanyaku memecah keheningan ruangan saat kami terdiam.

"Baru setahun,Teh." jawabnya.

"Oh ... terus umur Neng Sindy berapa sekarang?" tanyaku lagi.

"Baru delapan belas tahun, Teh, aku lulus SMA langsung melamar kerja. Alhamdullilah aku di terima," jawab Sindy.

Akhirnya kamipun mengobrol panjang lebar, Sindy sepertinya orang yang mudah bergaul dan cepat akrab.

Mungkin karena itulah banyak orang-orang yang menyalah artikan kedekatan Bang Hasan dengannya. Lagi pula, masa ia Sindy suka sama suamiku yang lebih pantas menjadi bapaknya.

Setelah mengobrol kesana kemari, tidak lama kemudian Sindy pamit pulang, untuk beberapa hari ia kerja tanpa di antar Bang Hasan.

"Neng Sindy tadi ke sini sama siapa?" tanyaku, karena aku melihat dia hanya sendiri.

"Naik ojek, Teh, tapi ojeknya langsung pulang." Jawabnya.

"Kalau gitu, aku anterin kamu sampai depan ya," tawarku.

"Tidak usah, Teh. Biar jalan kaki saja," tolaknya seperti tidak enak hati.

"Udah. Aku anterin, sekalian mau Indomaret," tawarku lagi, akhirnya Sindy tidak menolak ajakanku.

Aku mengantarnya sampai di depan jalan raya. Di jalanpun kami masih sempat ngobrol.

"Teh, udah sampai. Di sini saja. Terima kasih ya Teteh udah mau anterin aku, semoga Bang Hasannya cepat sembuh." tutur Sindy. Akupun mengangguk seraya tersenyum.

"Sama-sama, Neng. Terima kasih juga karena udah mau jenguk Bang Hasan. Kamu hati -hati ya." balasku.

Sindy mengangguk seraya tersenyum. Dia kemudian berdiri di tepi jalan menunggu angkot, dan aku masuk ke Indomart.

Setelah mendapatkan belanjaan yang kubeli, aku langsung pulang, tidak lagi kulihat Sindy di jalan, mungkin dia sudah pergi.

Jarak rumah ke Indomaret tidaklah terlalu dan aku sudah sampai. Kemudian menghampiri Bang Hasan yang masih terbaring. Aku mengambil buah jeruk bawaan dari Sindy, lalu ku kupas untuk di berikan kepadanya.

"Nih Bang, jeruknya di makan, sudah aku kupasin. Sindy baik ya, sampai bawain buah sebanyak ini," tuturku berganti mengupas buah apel. Bang Hasan tidak menjawab, hanya melirik saja, entah apa yang ada di pikirannya, apa mungkin karena luka si bibirnya yang membuat dia hanya terdiam?

"Wah, aku juga mau dong buah pir sama anggurnya, Ma," ucap Quinsya.

"Ya, ambil saja," jawabku.

Akhirnya kamipun makan buah bawaan dari Sindy sama-sama. Sindy begitu baik, dia bukan hanya ramah, tetapi juga pintar memilih buah- buahan yang sangat manis-manis itu.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience