Merasa Asing

Family Series 3266

Hari-hariku kujalani tidak lagi seperti dulu, aku dan Bang Hasan tak ubahnya bagai orang asing yang tidak saling mengenal. Kami jarang bertutur sapa.

Aku yang tidak pernah di rumah karena bekerja dan Bang Hasan mulai merasa tidak enak hati kerap kali dia tidak nampak di rumah ketika aku pulang kerja. Tapi aku sudah tidak peduli. Walaupun ada di rumah kami hanya saling diam, tiba-tiba suara ponsel berdering.

[Iya, Nak, ada apa? Jadi kan kamu pulang?] jawabku.

[Iya, Ma, jadi. Mama sama Bapak gimana kebarnya, semua baik-baik saja kan?] tanyanya di sebrang sana. Dia adalah Ardan.

[Iya, Nak, kami semua baik-baik saja, terus gimana kabar Nenekmu? kalau dia tinggal sendiri nanti gimana?] tanyaku khawatir. Kami saling bertanya dan menjawab satu sama lain, setelah cukup saling menyapa kami menutup ponsel.

"Ada apa, Ma?" tanya Bang Hasan yang mendengar pembicaraan kami dengan masih membersihkan kamarnya.

"Itu, anak kita mau pulang." jawabku malas.

"Kapan?" tanya Bang Hasan lagi.

"Mungkin dua Minggu lagi." jawabku masih dengan perasaan malas.

"Ma, sampai kapan kita mau terus begini? Abang takut kalau nanti Ardan pulang akan berpikir macam-macam kalau kita masih seperti ini" tanya Bang Hasan, dia mendekat saat aku duduk nonton televisi.

"Sampai Abang sadar?" jawabku kesal.

"Emangnya Abang masih belum sadar apa, Ma?" Tanyanya lagi.

"Masih!" jawabku sewot.

"Maksud, Mama?" sahutnya seperti merasa tidak bersalah.

"Apa Abang masih suka godain janda di belakang rumah kita? Gak tahu malu!" rutukku kesal.

"Ich, Mama apa-apan sich? Bukan Abang yang godain, tapi dia, Ma." jawab Bang Hasan seenaknya.

"Ya, sama saja. Abang suka sama janda itu, kan? Boleh Bang. Aku setuju Abang kalau mau nikahi dia, tapi kita harus cerai." pintaku.

"Udah deh, Ma. Jangan mulai lagi, Abang tidak ada hubungan apa-apa sama dia." kilah Bang Hasan.

"Terserah Abang dech. Udah, sana jangan ganggu. Aku mau nonton" hardikku, Bang Hasan pun pergi.

***
Setelah dua Minggu menunggu kepulangan Ardan. Akhirnya dia datang tepat jam lima sore, tentu saja aku menyambutnya dengan senang hati.

"Assalamualaikum, Ma." ucapan salam dari anakku.

"Waalaikumsalam, Nak. Kamu sudah datang? Kok sendirian. Nenek kamu gak ikut?" tanyaku yang menyambutnya langsung dengan memberondongkan pertanyaan.

"Mungkin nanti Nenek nyusul, Ma." jawabnya, dia bergegas menyalami kami. Quinsya juga menyambutnya dengan senang hati.

"Asyiikk, sekarang aku di rumah tidak sendirian lagi dong, kan ada Aa." sambut Quinsya sambil memeluk Ardan.

"Iya, Quin. Aa juga kangen, gimana kuliah kamu?" tanya Ardan.

"Baik kok, A." jawab Quinsya, aku menyodorkan segelas air putih.

"Ardan, gimana kabar Nenek kamu?" tanya Bang Hasan.

"Nenek baik kok, Pak. Mungkin nanti Nenek akan nyusul ke sini." jawab Ardan.

Setelah beberapa menit mengobrol. Aku membiarkan Ardan untuk beristirahat, dia begitu terlihat lelah.

Sampai waktu Isya kami melaksanakan salat berjamaah, dan di lanjutkan makan malam. Usai makan kami lanjut ngobrol asyik bersama untuk melepaskan rasa rindu yang sudah lama tidak pernah terjadi selama Ardan tinggal bersama neneknya.

"Ma, kenapa dapur di bikin ruangan, itu buat apa?" tanya Ardan karena pulang dapur sudah berubah.

"Itu ruangan buat semedi." jawabku.

"Semedi, maksud, Mama." tanya Ardian terheran.

"Gak maksud apa-apa kok, itu ruangan untuk mencari ketenangan." jawabku sekenanya. Bang Hasan hanya melirik ke arahku.

"Itu, A. Kamar Bapak. Sengaja Mama pisahin." jawab Quinsya. Ardan mengernyit.

"Memangnya kenapa, Ma?" tanya Ardan. wajahnya berbalik ke arahku.

Dia seperti telah melupakan peristiwa lima tahun yang lalu, di mana dulu Vidio penyeranganku kepada istri muda Bang Hasan sempat viral. Jadi mungkin dia tidak tahu alasanku menyekat dapur menjadi kamar pribadi Bang Hasan karena aku masih menyimpan rasa sakit hati terhadapnya.

"Udah malam. Ardan, pastinya kamu masih capek, sebaiknya tidur, sana. Mama masih ada kerjaan." titahku untuk menghentikan obrolan malam itu.

***
"Ma, kok masih belum tidur? Ini Udah malam. Apa tidak ngantuk?" tanya Ardan. Sedangkan Quinsya dan Bang Hasan sudah terbuai dengan mimpinya.

"Belum, kok." jawabku.

"Ma, besok aku mau melamar kerja, boleh ya, soalnya aku tidak betah di rumah." izin Ardan.

"Kamu mau kerja di mana? Emangnya ada untuk lulusan Sarjana Ekonomi? Lagi pula, kamu di sini masih baru beberapa hari, belum tahu daerah sini. Di kampung Nenek sama di sini pasti beda."

"Ya, cari-cari saja, Ma. Soal lama belum lama di sini itu tidak jadi soal. Itung-itung cari pengalaman." jawabnya.

"Terserah kamu saja." jawabku dengan duduk santai.

"Oh, iya, Ma. Gimana hubungan Mama sama Bapak, kenapa kalian harus pisah ranjang?" tanya Ardan seperti penasaran.

"Hubungan Mama sama Bapak kamu baik-baik saja, kok."

"Kalau baik-baik saja, kenapa pisah kamar? Terus, sepertinya Mama juga kaya udah gak peduli lagi sama Bapak." balas Ardan, membuat aku jadi serba salah untuk menjawabnya.

"Mama hanya mau tenang, Ardan. Mama hanya tidak mau ada yang menganggu saat capek pulang kerja." jawabku sekenanya.

"Itu bukan alasan, pasti ada sesuatu. Iya kan, Ma? Apa Mama masih sakit hati dengan perlakuan Bapak dulu? Apa Mama tidak bisa melupakannya?" tanya Ardan, aku pikir dia tidak mengerti apa-apa.

"Semuanya terasa sulit, tidak semudah itu, Ardan. Sudahlah, kamu tidak usah membahas itu lagi, ya." pintaku.

"Mau sampai kapan, Ma? Sudahlah, bukankah kejadiannya sudah cukup lama? Mama harus bisa melupakannya, kan semua orang pasti punya kesalahan."

"Tolong, kamu jangan bahas itu lagi ya. Akan ada waktunya di mana Mama lupa kelakuan Bapak kamu yang tidak hanya di lakukannya satu atau dua kali. Sekarang Mama hanya mau menata hati Mama untuk berusaha berdamai dengan kesalahan Bapak kamu." tuturku. Sekarang kamu tidur saja, Mama juga mau ke kamar," lanjutku.

Ardan tidak lagi menyahut, dia hanya menurut saja. Aku berusaha mencerna setiap perkataan Ardan, tetapi tidak semudah itu melupakan semuanya. 'Tapi apa salahnya aku mencoba memafkan dan melupakannya?' gumamku

Aku beranjak dari tempat duduk dan menuju kamar bersiap untuk tidur, agar besok badan terasa segar. Di kamar yang berbeda mungkin Bang Hasan sudah tertidur pulas.

'Ya Allah, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk rumah tanggaku ke depannya. Berikan petunjuk sekali ini saja untuk dia menyayangiku, mencintaiku, membuat aku merasakan masih ada rasa percaya terhadap Bang Hasan. Engkau menghadiahkan dia sebagai kesempurnaan hidup di dunia untukku. Tapi mengapa pengkhianatannya yang sulit aku lupakan?' hatiku terus bergumam. Setelah itu mungkin aku terlelap dalam tidur.

“Justru kamu adalah hadiah terindah yang dititipkan Allah untukku Ma. Maaf, jika Abang selalu menyakitimu dan menunungguku yang tidak bisa mengobati kegalauanmu. Maafkan Abang, kita bisa memulainya dari awal." lirih Bang Hasan.

"Tapi, aku tak bisa menerimamu lagi, Bang . Tahukah kamu? Semuanya terlalu menyakitkan buatku."

“Itu artinya kamu tidak mau memaafkan aku, Ma?"

“Sekali lagi maafkan aku Bang, aku masih butuh waktu."

“Ma, tolong katakan kepada Abang. Harus bagaimana agar Mama bisa memafkan Abang?" tanya Bang Hasan memelas.

"Kamu sudah banyak menyakiti aku, Bang. Jadi, tidak semudah itu untuk menerima semua perbuatanmu. "

“Tidak, Ma, jangan lakukan itu. Sekali lagi maafkan Abang. Abang benar-benar meminta maaf." ucapnya mendekat.

"Kamu mau ngapain, Bang? Jangan mendekat, dan kamu jangan coba-coba menyentuhku, lepaskan tanganku." hardikku sambil menepis tangan Bang Hasan yang berusaha memelukku.

"Mau sampai kapan kita akan begini, Ma? Apa tidak malu sama anak-anak yang melihat kita seperti ini? Tidurpun harus terpisah" tanya Bang Hasan.

"Kamu masih bertanya, Bang? Justru seharusnya yang malu itu kamu. Kenapa kamu dulu melakukan hal yang membuat anak-anak kita malu?"

Kali ini emosiku kembali terusik, kenapa Bang Hasan begitu sulit untuk memahamiku?

"Aku hanya manusia biasa, Bang. Mungkin bagi Abang begitu mudah untuk melupakannya, karena kamu adalah pelakunya, tapi bagi aku yang sering kamu sakiti itu tidak mudah." sambungku. Bang Hasan menghela napas, tetapi tidak menghentikan aksinya dan berhasil memelukku .

"Lepaskan aku, Bang!"

.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience