Menjadi Mata -Mata

Family Series 3263

Kabar Bang Hasan menikah lagi semakin ramai di perbincangkan, kali ini bukan hanya bisik-bisik dari temanku saja. Tetapi juga orang di luaran sana. Hingga para tetanggapun ikut bergosip.

Saat aku pergi ke warung untuk membeli kopi dan rokok suamiku. Banyak orang yang sedang memperbincangakannnya.

"Ima, itu si Hasan bawa boncengan mesra banget. Emang Kalau orang bawa penumpang gitu ya," tanya Bu Rukma- tetangga jauhku yang sedang berbelanja.

"Gitu gimana, Bu?" balasku, kali ini aku sedikit terpancing dan penasaran.

"Itu, sampai mesra pegang-pegangan. Tangan si perempuan melingkar di pinggang suamimu, terus, tangan si Hasan juga balas pegangin tangan si ceweknya sambil di elus-elus, emangnya siapa sich dia? Jangan-jangan istri mudanya." ujar Bu Rukma seperti memancing emosiku.

"Oh ..., itu penumpang langganan Bang Hasan. Dia karyawan pabrik Dua Hati, Bu" jawabku, berusaha menyembunyikan perasaan.

"Memangnya kamu tidak curiga, Ima?" tanya Bu Rukma lagi.

"Curiga gimana, Bu? Kan Bang Hasan kerjaannya emang ngojek, nanti kalau aku curiga terus sama penumpang bisa-bisa Bang Hasan tidak dapat penghasilan," kilahku.

"Tapi enggak ada salahnya kamu tuh curiga, Ima. Ya siapa tau, selama ini kamu kan pergi pagi pulangnya juga malam. Kan enggak tahu si Hasan di luar gimana?" terang Bu Rukma.

"Iya tuh, bener kata Bu Rukma, Ima. Tidak ada salahnya kamu curiga dan cari tahu soal suami kamu." timpal Bu Susi pemilik warung. Mereka biasa memanggilku 'Ima'.

"Enggak, kok. Lagipula mana mungkin Bang Hasan mau sama anak yang umurnya sama dengan anakku Ardan," aku mencoba menjawab untuk menghilangkan rasa kekhawatiranku yang mulai merasa tidak tenang.

"Ya sudah, Bu Rukma, Bu Susi. Aku duluan." pamitku setelah mendapatkan belanjaaan.

Percuma lama-lama berada di warung. Tetapi kurasa omongan mereka tuh tidak ada salahnya, mungkin sebaiknya aku cari tahu kebenarannya sendiri.

***
Kebetulan hari Senin aku hanya lembur sampai jam enam. Kesempatan itu tidak aku sia-siakan. Sengaja tadi pagi aku meminta Darma-keponakanku untuk antar jemput, sedangkan motorku di titipkan di rumah Bi Ijah

[Hallo, Bang. sekarang Abang pulang jam berapa?] tanyaku kepada Bang Hasan lewat telepone seluler.

[Sepertinya jam sepuluh, Ma. Memangnya ada apa? Mama lembur 'kan] jawab Bang Hasan dari dalam ponsel.

[Iya, Bang. Aku sepertinya pulang jam sepuluh bisa juga jam sebelas. Abang tidak usah nungguin aku makan, kalau masakannya sudah dingin tinggal minta di hangatin sama Quin.] pesanku, telepone langsung aku matiin.

Bang Hasan juga tidak lagi membalasnya, sepertinya dia telah mematikan telepone selulernya juga.

Setelah di jemput Darma, aku memintanya di antar ke tempat kerja Sindy untuk memata-matainya. Jarak antara pabrik tempat Sindy bekerja tidaklah terlalu jauh, hanya butuh waktu satu jam. Cuma arah jalannya saja yang berbeda dari pabrik tempat aku bekerja.

Biar tidak curiga dan tidak terlihat oleh Bang Hasan. Aku mampir ke sebuah warung bersama Darma sambil memesan dua gelas kopi dengan perasaan gelisah.

Netraku terus memindai ke setiap tempat dan melihat orang-orang di sekitar yang sedang menunggu. Sementara Darma dengan hati-hati mencari keberadaan Bang Hasan yang menunggu Sindy di tempat yang berbeda.

Untuk menghilangkan kejenuhan, sesekali aku mengajak ngobrol pedagang kopi di sebuah kios kecil.

"Maaf, Bu. Apa di sini setiap hari lembur ya?" tanyaku kepada pemilik kedai kopi yang usianya jauh lebih tua dariku.

"Enggak juga, Neng. Ya, paling sampai jama tujuh, kalau malam bisa setengah delapan saja." jawabnya.

"Oh," lirihku pelan. Aku manggut-manggut.

'Setengah delapan, tapi Bang Hasan selalu pulang jam sepuluh malam kadang juga jam sebelas.' aku membatin.

"Maaf, apa Neng baru ke sini, ya? Apa ada yang di tunggu?" tanya si ibu.

"Iya, Bu. Aku juga baru pulang kerja, ini mau nunggu saudara, katanya sih lembur," jawabku berbohong.

"Oh, mungkin sebentar lagi keluar, Neng. Kira-kira setengah jam lagi." jawabnya, akupun menyeruput kopi dengan santai.

Setelah menunggu hampir satu jam akhirnya semua karyawan keluar. Aku sudah tahu di mana Bang Hasan menunggu Sindy dari Darma.

Akupun segera membayar kopi dan mengenakan masker serta helm agar tidak di ketahui Bang Hasan, motorpun di parkir di tempat yang agak jauh dan gelap.

"Bu, sepertinya itu saudaraku sudah keluar, ini uang kopinya, terima kasih ya, Bu." ucapku sambil menyodorkan uang sepuluh ribu, karena di tempat kami harga kopi satu gelasnya lima ribu.

"Iya Neng, sama-sama." jawabnya.

Setelan membayar kopi aku buru-buru naik ke motor di bonceng oleh Darma.

Aku melihat Sindy ke luar dan menghampiri suamiku. Dia mencium tangan Bang Hasan, kemudian naik ke atas motor. Sindy melingkarkan tangannya di pinggang laki-laki yang bergelar suamiku itu dengan mesra. Ia menyandarkan kepalanya di bahu pria yang tidak tahu di untung itu dengan memeluk erat.

"Darma, kamu terus ikutin Bang Hasan, tapi jaraknya jangan terlalu dekat," perintahku dengan dada yang sudah bergemuruh menahan amarah.

"Iya, Teteh tenang saja," jawabnya yang sudah tahu maksudku.

Aku dan Darma terus mengikuti laju motor Bang Hasan. Hampir setengah jam lamanya. Tetapi aku di buat mengernyit saat lelaki itu membelokkan motornya ke arah kanan.

'Lho, kok Bang Hasan bawa motornya belok, bukannya lurus' gumamku. Tanpa di beri tahu Darma terus mengikuti kedua insan yang sedang di mabuk asmara itu.

Tentu saja Bang Hasan tidak curiga. Dia juga tidak akan sadar kalau aku mengikutinya, motor yang di bawa Darma adalah punya orang tuanya, dengan pakaian yang serba tertutup suamiku tidak akan mengenali kami.

Setelan belok ke arah kanan. Bang Hasan menghentikan motornya di sebuah rumah petak yang berjejer, lebih jelasnya seperti sebuah kontrakan. Darma memarkirkan motonya agak jauh di mana mereka berhenti.

Terlihat kedua mahluk penghianat itu turun dari motor, begitu mesra saling bergandeng tangan, dan masuk ke rumah kontrakannya lalu menutup pintu, sedangkan motornya di biarkan terparkir di luar.

Aku terus memantau dengan memakai jaket, jilbab juga masker. Perasan sudah tidak menentu, rasanya ingin langsung melabrak mereka, tetapi aku tidak mau gegabah, mencari waktu yang tepat untuk memberinya pelajaran.

"Gimana nich, Teh. Apa kita langsung labrak saja." Tanya Darma.

"Tidak usah, jangan sekarang, Darma. Kita tunggu di sini saja jam berapa Bang Hasan pulang," bisikku biar tidak terdengar oleh orang yang sedang berada di warung. Sambil menunggu suamiku keluar aku berpura-pura memesan nasi.

"Bu, numpang duduk ya, sekalian aku pesan nasinya dua pakai ayam bakar, tapi di bungkus ya, Bu," pesanku, padahal aku tidak lapar.

"Baik, Mbak. Tunggu ya." jawab si pemilik warung.

Hampir setengah jam Bang Hasan belum juga muncul. Nasipun sudah ada dalam genggamanku.

"Nunggu siapa, Mbak?" tanya pemilik warung ketika semua orang yang makan sudah selesai dan pergi.

"Ini, Bu, nungguin saudara pulang kerja, lagi ada perlu, katanya sich suruh nunggu di sini." jawabku berbohong

"Oh, kenapa enggak bareng saja, Mbak?" tanya si pemilik warung.

"Enggak, Bu 'kan beda tempat kerja." jawabku, akhirnya kamipun ngobrol seperti orang yang sudah kenal.

Malam semakin larut, sudah jam sembilan belum juga Bang Hasan keluar dari rumah petak itu. Aku dan Darma masih sabar menunggu.

Setengah sepuluh akhirnya Bang Hasan keluar yang di gandeng mesra oleh Sindy. Darma dengan cepat membisikkan kalau Bang Hasan akan pulang.

Terlihat mereka saling berpelukan. Bang Hasan mencium kening Sindy dan di balasnya mesra sambil bergelayut manja. ' Cuih! rasanya aku ingin menjambak wanita kurus malam itu juga.

Bang Hasan menghidupkan motornya dan jalan yang di antar lambaian Sindy.

"Bu, aku permisi pulang ya, sepertinya saudaraku itu tidak jadi datang"

Akupun segera pamit ke pemilik warung untuk pulang sebelum suamiku sampai di rumah biar tidak curiga kami memilih jalan yang berbeda. Aku mengambil jalan pintas untuk mengambil motor di rumah Bi Ijah dan harus sampai di rumah sebelum keduluan Bang Hasan.

"Teh, kenapa tadi tidak langsung di labrak saja itu perempuan? Kenapa harus pulang? Aku saja yang cowok kesel lihatnya," tanya Darma.

"Belum saatnya, Darma. Aku tidak mau gegabah, lagi pula ini sudah malam takut menganggu orang. Nanti saja. Aku sudah punya rencana." jawabku yang duduk di bonceng Darma.

Aku memang sedang menyusun rencana, biar Bang Hasan tidak curiga kalau aku akan memberi pelajaran kepada mereka.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience