Di Panggil Supervisor

Family Series 3263

Aku mencoba menghubungi nomor telepon milik Ardan.

[Ardan, kamu di mana? Ini sudah sangat malam? Kenapa belum juga pulang? Maaf, Mama baru bisa telpon kamu sekarang. Tadi Mama ketiduran.]

[Maaf, Ma. Hujannya sangat deras, jalanan banjir, jadi aku terpaksa menginap di rumah teman. Sore mau nelpon Mama hpku mati.] jawaban Ardan bisa sedikit menghilangkan rasa kekhawatiranku.

[Temannya cewek apa cowok?] tanyaku penuh selidik karena khawatir takut kejadian dulu terulang lagi.

[Ya cowok lah, Ma. Masa cewek. Mama tidak usah khawatir, sekarang masih malam, Mama tidur aja. Ya udah, aku tutup dulu telponnya takut mengganggu temanku yang tidur, besok aku pulang.] jawab Ardan.

Aku pun tidak menjawab lagi dan langsung menutup ponselku. Lalu pergi ke kamar Quinsya. Terlihat dia tidur sangat pulas dengan wajah menelungkup di meja belajarnya dengan laptop yang masih menyala. Mungkin dia lupa mematikannya saat mengerjakan tugas kuliahnya. Aku pun mematikan laptopnya dan kembali ke kamar.

***
Malam berganti pagi, aku seperti biasa dengan rutinitas harikku setelah salat subuh, mandi dan berpakaian dengan baju seragam pabrik.

Aku pun pergi dengan sepeda motorku yang diiringi dengan tatapan Bang Hasan tanpa mengajaknya bicara sepatah katapun.

Hingga waktu mengantarku sampai ke tempat kerja. Seperti biasa, sebelum masuk aku memesan sarapan di warung kopi langgananku. Di sana sudah berkumpul semua temanku. Setengah jam cukup untuk memanjakan perut.

"Kok diam saja, Teh. Kenapa, lagi bete ya?" tanya Mbak Sum.

"Enggak kok, mungkin ini di akibatkan karena kekenyangan." jawabku sekenanya.

"Jangan bohong ..., pasti itu ada masalah sama Bang Hasan karena tidak dapat jatah malam. Iya kan, hihi?" timpal Sinta berceloteh sambil cekikikan dengan tangannya menutupi mulut usianya.

"Ich, apaan sich? Kalian-kalian itu memang senengnya godain aku terus." jawabku agak kesal.

"Habisnya dari tadi kelihatannya ngelamun terus." timpal Teh Fatimah.

"Teh Ima, di cariin Pak Heru tuch." panggil temanku yang berbeda line datang, sepertinya dia habis mencariku

"Pak Heru nanyain aku, memangnya ada apa?" tanyaku heran.

"Tidak tahu, pokoknya Teh Ima diminta untuk menemui di ruang kerjanya." jawabnya sekali lagi.

Aku segera membayar bekas sarapanku. Dengan perasaan heran dan sedikit bertanya, akhirnya aku pergi menemui Pak Heru, dia adalah supervisior line-ku.

"Teh, aku duluan ya." pamitku kepada sahabatku yang sedang berkumpul.

"Iya, Teh."

"Cie ... yang dicariin duren."

" Ada apa tuch ...?"

"Jangan-jangan Teh Ima mau dapat bonus nich."

"Iya tuch, jangan lupa ya traktirannya."

"Semoga sukses Mbak Ima!" seru yang lain.

Itulah sederet guyonan dari mereka, aku membalasnya dengan tersenyum sambil melangkah untuk menemui Pak Heru di ruangannya.

Aku terus berjalan dengan perasaan sedikit deg-degan dengan segala pertanyaan di hati, karena tidak biasanya Pak Heru memanggilku. Bahkan kami tergolong orang yang cuek dan jarang sekali menyapa kalau bukan urusan pekerjaan. Langkahku semakin dekat ke ruangan Pak Heru. Akupun memberanikan diri masuk setelah mengetuk pintu ruang kerjanya.

"Permisi, Pak. Apa Bapak memanggilku?" tanyaku dengan sopan.

"Iya, Ima, masuklah. Silakan duduk." tawar Pak Heru, aku pun duduk dengan perasaan sungkan dan risih.

" Maaf, ada apa ya Bapak memanggilku?" tanyaku dengan sedikit was-was. Pak Heru tersenyum yang terlihat sangat manis.

"Maaf, Ima. Sengaja aku memanggilmu. Apa kamu sudah tahu alasanku memanggilmu kesini?"

"Belum, Pak." jawabku masih dengan perasaan was-was.

"Begini, Ima. Ada kabar baik yang harus aku sampaikan kepadamu." lanjutnya.

"Kabar baik, kabar baik apa ya, Pak?" tanyaku sedikit mengernyit.

"Begini, Ima, kebetulan aku diangkat menjadi bagian kepala produksi. Aku ingin kamu yang menggantikan posisiku sebagai supervisor." jawab Pak Heru membuat aku terkejut.

"Bagaimana, Ima. Apa kamu setuju?"

"Maksudnya, Pak Heru menginginkan aku untuk menggantikan posisi, Bapak?" tanyaku lagi tidak yakin.

"Iya, Ima." Pak Heru menjawab dengan sangat meyakinkan.

"Kalau gitu, sebelumnya aku ucapkan selamat untuk Bapak, tapi untuk menggantikan posisi Bapak. Maaf, aku belum siap, Pak." jawabku sedikit menunduk.

"Kenapa, Ima?" tanya Pak Heru seperti terlihat kecewa.

"Maaf, Pak, aku hanya merasa tidak pantas, karena masih ada orang yang lebih layak untuk menggantikan posisi Bapak."

"Kata siapa kamu tidak pantas? Justru kamu orang yang sangat layak, karena aku tahu bagaimana kamu bekerja selama di pabrik ini. Kamu orang lama dan orang kepercayaanku, Ima. Kita bekerja dari awal pabrik ini di buka dan masih kecil, dan sekarang sudah menjadi pabrik besar."

"Tapi, Pak ...."

"Tapi apa, Ima?"

"Tapi aku tidak bisa apa-apa, Pak."

"Kalau cuma itu alasannya, kamu bisa belajar dan aku siap untuk membantumu, Ima. Bagaimana, Ima. Apa kamu masih ragu?"

Mendengar pertanyaan Pak Heru membuatku merasa bingung. Aku hanya terdiam memikirkan jawaban apa yang harus aku berikan sambil menarik napas berat.

"Maaf, Pak. Aku tidak bisa memberikan keputusannya sekarang, aku perlu waktu."

"Baiklah, Ima, aku memberi waktu sehari, dan setelah itu kamu harus mengambil keputusan." ucap Pak Heru tegas.

"Iya, Pak. Kalau sudah tidak ada lagi yang mau di sampaikan, aku permisi." jawabku masih dengan perasaan binggung.

"Iya, Ima. Silakan. Jangan lupa, kamu harus kasih jawabannya secepatnya. Ingat, Ima. Kesempatan itu tidak akan datang dua kali." pesan Pak Heru.

"Iya, Pak." Hanya itu yang bisa aku jawab, setelah itu aku ke luar untuk menghabiskan sisa waktu sebelum bekerja.

***
"Ma, kok tumben belum tidur, ini udah jam sebelas lho. Apa Mama tidak ngantuk? Besok kan harus kerja." tanya Quinsya.

"Iya, Ma. Mama tuh udah kerja seharian, sebaiknya tidur." timpal Ardan.

"Quin, Ardan. Mama belum ngantuk. Kan kalau siang Mama cuma tiduran, makan, nonton TV, minum kopi sambil merokok. Mama kan punya uang yang kalian kasih, enak lho tinggal leha-leha saja." jawabku pura-pura tidak melihat Bang Hasan yang ada di depan televisi, netranya sedikit melirik k arahku.

"Udah dech, Ma. Mending Mama tidur aja." balas Quinsya, seakan dia paham arah pembicaraanku selalu berusaha untuk menghentikan sindiranku terhadap Bang Hasan.

"Mama belum bisa tidur, Quin. Lagian ngapa sih kamu maksa Mama terus untuk tidur? Biasanya juga Mama tidur jam satu kalau pulang lembur. Mama tuh lagi pikiran." jawabku.

"Emangnya Mama kepikiran apa sich sampai gak bisa tidur?" tanya Ardan.

"Iya, Ma. Mama kepikiran apa sich? Jangan-jangan Mama lagi deket sama duren." Quinsya menimpali. Bang Hasan mendelik.

"Iich, Quin. Kalau ngomong itu jangan sembarangan, nanti ada yang salah paham. Jangan mengada-ada. Memangnya boleh ya kalau ada duren yang nyangkut?" jawabku sambil becanda, tapi mampu membuat Bang Hasan salah tingkah dan berubah ekspresinya.

Entah kenapa semenjak Bang Hasan menikah lagi? Quinsya seperti cuek terhadap Bapaknya. Padahal aku tidak pernah mengajari apapun walaupun Bang Hasan selalu membuatku kecewa.

"Ya, nggaklah, Ma. Mana boleh Mama deket sama cowok. Lagian, siapa juga yang mau?" balas Quinsya.

"Ya, makanya kamu tuch jangan ngomong yang aneh-aneh." timpalku.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience