Chapter 54

Romance Series 8051

Danish dan Ela terlihat duduk saling bersebelahan. Keduanya terlihat bersikap biasa saja meskipun saat ini berada di ruang kantor polisi untuk melakukan pemeriksaan. Ela merasa kesal, bosan, dan tidak terima. Bisa-bisanya ia dituduh sebagai pencuri ponsel pemilik toko.

"Jadi, bisa jelaskan di sebelah anda waktu itu ada siapa?" tanya seorang Pak Polisi yang kini serius menatap Ela.

"Saya tidak terlalu ingat, Pak. Sekilas dia seorang wanita bercadar. Itu saja."

"Saling kenal?"

"Tidak."

Di waktu yang sama, seorang wanita bercadar masuk kedalam ruangan. Dengan sopan dia duduk di samping Ela.

"Maaf, nama anda siapa?" tanya polisi tadi dengan sopan.

"Saya Risa, Pak."

"Anda adalah saksi mata. Bisa jelaskan secara singkat waktu kejadian tersebut?"

"Baik, saya tidak akan banyak memberi penjelasan karena waktu kejadian itu, yang saya lihat ada dua orang remaja berjalan dengan tergesa-gesa melewati beberapa orang didalam toko lalu meletakkan ponsel tersebut ke dalam tas belanja Mbak ini. "

"Apakah anda dan Mbak Ela saling mengenal?"

"Tidak, Pak."

"Bisa sebutkan ciri-ciri pelakunya?"

"Remaja dengan usia kisaran 17 tahun. Yang satu bertubuh tinggi dan yang satunya lagi saya lupa, Pak."

"Jadi, yang mana yang memasukkan ponsel tersebut ke tas belanja Mbak Ela?"

"Anak muda yang bertubuh tinggi."

Detik berikutnya, salah satu bagian pihak kepolisian menyerahkan sebuah file yang berisi video rekaman detik-detik kejadian. File berupa rekaman CCTV yang di dapatkan dari kamera yang berasal di sekitar kejadian perkara. Di video tersebut terlihat dua orang remaja yang memasuki sebuah toko setelah memarkirkan motornya. Tak lama kemudian dua orang remaja tadi kembali keluar sambil tergesa-gesa sembari menaiki motornya.

"Coba zoom, lihat nomor plat kendaraannya. Kita bisa menyelidikinya melalui nomor plat tersebut."

"Baik, Pak."

Ela terdiam, teringat kejadian sebulan yang lalu. Begitu singkat hingga akhirnya semua masalah terjadi begitu saja.

"Jika waktu itu kamu tidak membawa namaku dan memaksaku untuk mengakui bahwa aku suamimu, semua itu tidak terjadi."

"Tapi kenapa Mas mengiyakan?"

"Pertanyaan macam apa itu Ela? Apa kamu tidak sadar dengan apa yang kamu tanya barusan?"

"Mas-"

"Maaf aku menyela, kamu pikir situasi waktu itu begitu mudah buat aku? Tidak! Tidak sama sekali. Mereka sudah mengira kalau kita bekerjasama, sedangkan dompet itu ada di tas kamu walaupun kamu tidak mencurinya. Dan lagi, kamu pakai bilang kalau tidak percaya dengan semua yang kamu katakan, tanyakan saja sama suami kamu. Kamu ingat, siapa yang kamu tunjuk saat itu? Aku Ela, aku! Bahkan akupun tidak ingin semua orang menganggapku bekerja sama denganmu. Terlebih orang-orang banyak yang merekam kejadian itu hingga videonya menjadi viral. Semua orang pada tahu dan mengira kita menikah diam-diam."

Air mata mengalir di pipi Ela. Rasa bersalahnya begitu besar. Terutama pada Nafisah nantinya. Tidak ada yang menginginkan semua kejadian buruk tersebut terkecuali semua sudah tercatat di lauhul mahfudz. Ia menjadi istri kedua sudah menjadi takdir untuknya. Semua kejadian itu membuatnya terus teringat dan tidak akan terlupakan sampai kapanpun.

****

Semilir angin begitu terasa mengenai kulit Lisa begitu ia membuka jendela kamarnya. Sudah dua hari ia di rumah orang tuanya. Rasanya begitu menenangkan meskipun hatinya masih saja terluka. Terluka setelah Randi berkata kalau dia tidak menginginkan calon anak darinya.

Memang rasanya begitu menyedihkan. Kodratnya adalah seorang wanita, menikah dan memiliki anak dengan proses kehamilan. Bagaimana mungkin jika Randi sebagai seorang suami tidak menginginkan anak yang terlahir dari rahimnya? Apakah ia di takdirkan menjadi wanita yang tidak memiliki pengalaman kehamilan dan menjadi seorang ibu?

Pintu terbuka pelan. Tetapi Lisa tidak menyadari hal itu. Masuklah Randi yang hanya menghela napasnya. Ia melihat istrinya yang diam termenung sembari berdiri didepan jendela. Dugaanya benar, Lisa sedang merajuk padanya.

"Assalamu'alaikum."

Lisa menoleh ke belakang, terkejut kalau suaminya datang tiba-tiba. Dalam sekejap, ia berusaha untuk bersikap kalau semuanya baik-baik saja.

"Wa'alaikumussalam. Mas.."

Randi hanya bisa diam begitu Lisa mendatanginya dan mencium punggung tangannya. Namun secepat itu, Randi menahan tangan Lisa.

"Kenapa?" tanya Lisa heran.

"Kamu yang kenapa?"

"Aku?" Lisa mengerutkan dahinya. Lalu tersenyum lebar. "Memangnya kenapa denganku?"

"Langsung ke intinya saja. Apakah kamu sedang marah denganku?"

Lisa berusaha menarik kembali tangannya. Tapi sayang, Randi malah menahannya. Bahkan menghapus jarak di antara mereka. Randi menatapnya dengan intens, hingga membuat Lisa menahan rasa groginya.

"Untuk apa aku marah denganmu?"

"Hanya Allah dan kamu yang tahu, Lisa. Jangan membuatku bingung."

"Justru aku yang bingung. Mengapa pria sepertimu tidak ingin memiliki keturunan?"

Randi terdiam, dengan perlahan ia melepaskan tangan Lisa begitu saja. Ia juga memundurkan langkahnya.

"Tentu saja aku ingin memiliki keturunan."

"Dengan wanita lain?"

Randi menatap Lisa dengan raut wajah marah, ia berusaha menahan emosinya.

"Kenapa kamu berpikir seperti itu?"

"Bukankah kamu sendiri yang mengatakannya padaku kalau kamu tidak ingin memiliki keturunan yang berasal dari rahimku."

"Lisa.. "

Lisa tersenyum miris. Ia membalikkan badannya dan berjalan menuju jendela. Sebulir air mata mengalir di pipinya.

"Istri mana pun akan tersinggung ketika mendengar ucapanmu, Mas. Seolah-olah aku ini seorang istri yang tidak berguna."

"Lisa, please-"

"Allah menciptakan diriku sesuai kodratnya. Mengalami haid, hamil, melahirkan, menyusui dan merawat anak. Sejahat itu ucapanmu tidak menginginkan anak dariku? Di luar sana banyak pasangan suami istri yang berusaha memiliki keturunan tetapi kamu malah menolaknya. Aku tersinggung sebagai seorang wanita!"

Randi menatap Lisa yang terlihat rapuh. Ia ingin mendekatinya dan meminta maaf, namun kenapa hanya untuk mendekatinya rasanya sulit. Menikah tanpa cinta, rasanya tidak mudah hanya untuk memberi sebuah pelukan dan kata maaf untuknya.

"Tentu saja aku ingin memiliki keturunan Lisa. Hentikan semua perkataanmu yang tidak-tidak itu."

"Oh ya?"

"Iya, jangan memperpanjang masalah."

Lisa pun membalikkan badannya hingga membuat Randi terkejut. Untuk pertama kalinya ia melihat Lisa menangis ketika selama ini wanita itu terlihat sombong dengan raut wajahnya yang angkuh.

"Tapi bukan bersamaku. Mungkin sama wanita lain."

"Lis-"

"Bukankah kamu sendiri yang bilang, Mas? Kamu bisa saja menikahi dua hingga 3 wanita sekaligus? Aku mengizinkanmu."

"Jangan konyol Lisa!"

"Itu masuk akal. Sejak awal kamu tidak pernah mencintaiku. Jadi rasanya begitu nihil kalau kamu ingin memiliki anak dariku. Kalau kamu tidak bisa mencintaiku, mungkin kamu bisa mencintai wanita lain."

Lisa berjalan ke arah pintu luar dan menghentikan langkahnya.

"Maaf sudah memaksakan dirimu dan hatimu untuk menerimaku. Seegois itu diriku sama kamu, Mas."

Ponsel Randi berbunyi. Randi menerima panggilan tersebut yang ternyata berasal dari Danish.

"Ya, Danish?"

"Pak, saya ingin meminta izin untuk menunda satu jam pekerjaan di kantor setelah jam istirahat. Apakah bisa?"

"Apakah ada masalah?"

"Tidak. Hanya saja begitu jam istirahat nanti saya harus pergi kerumah sakit."

"Apakah istrimu baik-baik saja?"

"Alhamdulillah, Pak, Istri saya sudah sadar. Apakah boleh saya izin ke rumah sakit sebentar?"

Seketika Randi terdiam. Ia teringat Nafisah. Tanpa sengaja ia menatap Lisa yang kini menatapnya sedih hingga akhirnya wanita itu pergi keluar kamar.

****

Masya Allah Alhamdulillah. Sudah up chapter ini ya ??

Liburnya kelamaan nih, seminggu lebih. Maaf ya, lagu butuh refresh pikiran hhe??

Jgn lupa vote dan komentarnya ya..??

With Love Lia?

Instagram : lia_rezaa_vahlefii

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience