Chapter 31

Romance Series 8051

Dengan perlahan Danish membersihkan darah mimisan Nafisah menggunakan tisu yang untungnya saja sudah berhenti mengalir. Danish menghela napasnya, ia menatap istrinya.

"Akhir-akhir ini wajah kamu pucat. Besok setelah pulang bekerja, kita ke dokter."

"Tidak." Nafisah menggeleng pelan. "Aku hanya butuh istirahat. Akhir-akhir ini aku memang lelah."

"Tapi Nafisah-"

Detik itu juga Nafisah langsung memeluk Danish. Ia menyenderkan pipinya pada tubuh Danish. Tanpa ragu Danish pun juga memeluk Nafisah.

"Biarkan seperti ini sejenak." ucap Nafisah akhirnya. Ia merasa bersyukur akhirnya Danish mau memaafkannya.

"Bukan hanya sejenak, tapi selamanya." lanjut Danish lagi.

Nafisah mendongakkan wajahnya menatap suaminya. Ia tersenyum tipis.

"Terima kasih, sudah menerimaku."

Sekarang Danish sadar, dalam posisi sedekat ini, Nafisah begitu manis. Ntah kenapa tiba-tiba hatinya berdebar untuk pertama kalinya.

"Seharusnya aku yang berterima kasih karena kamu begitu sabar menunggu semua ini. Maafkan semua kesalahanku."

Setelah mengucapkan itu, tak ada kata-kata lagi yang terucap ketika saat itu juga untuk pertama kalinya Danish mencium kening istrinya.

****

"Jadwal Ibu Nafisah mulai minggu depan lagi ya. Jam praktek dari pukul 10.00-12.00."

Nafisah terdiam menatap sebuah pesan singkat dari bagian pendaftaran berobat rumah sakit. Jadwalnya minggu depan, padahal ia memutuskan untuk tidak melanjutkannya. Kenapa dirinya harus kembali berobat?

Tanpa banyak bicara Nafisah pun segera membuka lemari dan mencari stelan gamisnya. Ketika ia sibuk mempersiapkan semuanya, tiba-tiba pintu terbuka.

"Nafisah, aku-"

"Aaaaaaa.. Astagfirullah!"

Dengan cepat Danish memutar badanya. Ia memunggungi istrinya. Tanpa sadar raut wajahnya merona merah.

"Seharusnya Mas ketuk pintu dulu."

"I.. Iya, Maaf. Aku tunggu diruang tamu."

Akhirnya Danish pergi. Ia menghela napasnya di balik pintu. Hatinya tiba-tiba berdebar sebagai pria dewasa yang normal dan menginginkan sebuah kebutuhan hasrat. Setelah kejadian yang ada belakang ini, sesungguhnya ia belum meminta hak nya pada Nafisah. Apalagi akhir-akhir ini istrinya itu kurang sehat. Sekilas, ia melihat rambut panjang Nafisah sambil tersenyum.

"Cantik. Aku suka rambutnya. "

"Apanya, Mas?"

"Ha?"

"Rambut apa?" tanya Nafisah memicing.

"Ah itu.. Rambut.. Ya rambut.." mendadak Danish seperti orang bodoh. Tapi secepat itu ia merubah ekpresi wajahnya dengan serius seolah-olah mengalihkan semuanya.

"Kamu mau kemana?"

"Em, mau ke rumah sakit."

"Ayo aku temani."

"Tidak." tolak Nafisah cepat. Sedangkan ia belum siap memberitahu semua nya. Khawatir kalau suaminya itu akan merasa sedih apalagi almarhumah Alina meninggal dalam keadaan sakit kanker.

"Temanku ada yang sakit. Aku ingin menjenguknya. Apakah boleh?"

"Beneran?"

"Iya." Nafisah mengangguk cepat. Dalam hati ia merasa bersalah karena sudah berbohong.

"Kalau begitu tunggu aku. Ini sudah jam 10 siang. Sekalian aku ingin berangkat bekerja."

"Baiklah."

Danish segera berlalu. Nafisah menghela napasnya. Tapi Danish kembali menghentikan langkahnya.

"Oh iya.. "

"Apa?"

"Kamu cantik juga begitu lepas jilbab."

"Ih, Mas Danish apa'an sih!"

Danish tertawa lebar hingga membuat Nafisah merona merah. Selagi menunggu, ia pun juga menyuruh Diyah untuk bersiap-siap berganti pakaian.

****

"Apa? Ini serius Bu?" tanya Nafisah tak percaya.

"Iya Ibu Nafisah. Semua data pembayaran ini bukti nyata. Seseorang yang mengaku sebagai dermawan dengan baik hati membantu Ibu untuk membayar lunas semua pengobatan yang akan di lakukan di rumah sakit ini."

"Semua pengobatan? Maksudnya sampai saya sembuh?"

"Iya Bu, benar."

"Em, kalau begitu. Terima kasih Bu. Saya permisi dulu.."

Nafisah pergi dari sana sembari dengan pikiran yang berkecamuk. Ia melangkah pelan sambil menggandeng tangan Diyah.

"Seorang Dermawan? Apakah orang terdekat?" sela Nafisah dalam hati.

"Atau pihak keluarga? Rasanya tidak mungkin. Sampai sekarang tidak ada yang mengetahui penyakit ku. Biaya pengobatanku tidaklah sedikit. Bahkan untuk jaminan kesehatan, aku dan Mas Danish belum mengurusnya."

Nafisah memukul pelan jidatnya. "Nafisah kamu ini gimana sih? Kenapa nggak urus jaminan kesehatan dari awal setelah menikah? Tapi kalau urus sekarang, Mas Danish akan tahu semuanya. Lagi-lagi, aku belum siap."

"Ma?"

"Rasanya aku ingin bertemu dengan orang itu. Hatinya baik banget. Semoga Allah senantiasa membalas semua kebaikannya, Aamiin."

"Ma?"

"Ya Allah, berilah hamba kesembuhan. Semoga selama ikhtiar menjalani pengobatan. Aku bisa sembuh dan hidup sehat."

"Mamaaaa.. "

"Ya?"

"Mama kenapa sih? Dari tadi aku panggil tapi Mama diam mulu."

Nafisah tersenyum tipis. Ia berjongkok menyamakan posisi putrinya. Hatinya bahagia karena memiliki harapan untuk sembuh.

"Sayang, maaf ya. Tadi Mama lagi memikirkan satu hal."

"Memangnya mikir apa?"

"Kira-kira, Diyah mau es cream rasa apa?"

"Em, rasa apa ya?"

Dengan lucu Diyah mengusap dagunya. Nafisah mencubit pelan pipi putrinya.

"Lebih baik kita beli es creamnya sekarang. Oke?"

Nafisah pergi dengan langkah semangat bersama Diyah dan keluar melalui lobby rumah sakit.

****

"Maaf Pak. Kemungkinan besar pasien tidak melanjutkan pengobatannya karena masalah biaya. Apalagi beliau tidak memakai jaminan kesehatan."

"Kalau boleh tahu, berapa semua biaya pengobatannya?"

Seorang wanita muda menyerahkan daftar rincian semua biaya pengobatan kanker darah pada seorang pria di hadapannya. Dengan seksama pria itu membaca semuanya. Tanpa pikir panjang ia tersenyum ramah.

"Saya yang akan membayar semuanya sampai lunas."

"Maaf, kalau boleh tahu anda siapa pasien?"

"Saya seorang dermawan. "

Wanita muda itu tak banyak bertanya lagi. Ia pun segera menyerahkan beberapa berkas yang harus di tanda tangani dan dilunasi kepada pria tersebut. Sudah pria itu duga, Nafisah tidak melanjutkan pengobatannya karena terhalang biaya.

"Ini semuanya sudah lunas ya Pak. Kami akan menghubungi pasien untuk segera melanjutkan pengobatannya."

"Alhamdulillah. Baiklah. Ah iya, satu lagi."

"Ada yang bisa saya bantu, Pak?"

"Tolong jangan beritahu nama saya pada siapapun kalau saya yang membiayai semua pengobatan pasien. Termasuk keluarganya."

"Baik Pak, saya mengerti."

Drrrt.. Drtt...

Tatapan Randi terlalihkan setelah bayangan percakapan kemarin siang dirumah sakit ketika ponsel nya bergetar. Ada notip pesan WhatsApp dari Fino yang baru saja masuk. Pesan tersebut memperlihatkan sebuah foto seorang wanita dari belakang sambil menggandeng gadis kecil.
Randi mengerutkan dahinya. Kenapa Fino mengirim foto tersebut?

Randi : "Kenapa Fin?"

Fino : "Itu foto Nafisah. Beberapa menit yang lalu aku melihatnya. Kurasa dia sudah tahu ada seorang dermawan yang membantu semua biaya pengobatannya. Dia baru saja dari bagian administrasi."

Randi tak membalas pesan tersebut. Ia tersenyum tipis sembari menatap jendela besar yang memperlihatkan cuaca ibu kota yang begitu cerah.

"Semua kulakukan sebagai permintaan maafku dimasalalu karena telah memberi luka padanya. Semoga dia cepat sembuh."

****

Masya Allah Alhamdulillah. Sudah up ya chapter 31??

Maaf baru up karena akhir-akhir ini kondisi aku sedang tidak enak badan??

Jazzakallah khairan sudah baca. Jgn lupa tinggalin komentar dan votenya yaaa ???

Randi emang baik banget ya. Moga dia segera mendapatkan jodoh yang baik ?

With love?
LiaRezaVahlefi

Instagram : lia_rezaa_vahlefii

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience