Chapter 48

Romance Series 8051

"Apakah benar, berita yang saat ini beredar adalah fakta?"

"Apa.. maksud, Mama?"

Latifah menatap menantunya dengan tatapan tidak suka. Selain berharap bawah semua yang ia lihat di sosial media kemarin hanyalah kebohongan, disisi lain ia tidak bisa menepis bahwa raut wajah Danish terlihat gugup. Ia dan suaminya bela-belain kembali ke Jakarta hanya untuk memastikan secara langsung.

"Saya nggak ada pernah mendengar cerita dari Nafisah kalau kalian bermasalah. Tapi kenapa, justru Mama tahu sendiri dari sosial media kalau selama ini kamu sudah menikah dengan wanita lain? Apakah kamu dan Nafisah sedang bertengkar?"

"Mama-"

"Islam memang tidak melarang adanya poligami. Tapi sebagai seorang Ibu yang melahirkan Nafisah, saya kecewa kalau disaat Nafisah sedang berjuang melawan penyakitnya, kamu malah menikah dengan wanita lain!"

Beberapa karyawan yang berlalu-lalang tanpa sengaja mendengar semua ucapan Latifah. Danish berusaha menenangkan, tapi tidak bisa. Selain malu, ia juga merasa tidak enak hati ketika tanpa sengaja Randi melihatnya dari jarak kejauhan.

"Ma, tolong dengarkan aku. Itu semua tidak benar."

"Berita kriminal memang begitu cepat beredar luas. Tapi di video itu jelas-jelas kalau kamu mengatakan bahwa wanita itu istri kamu. Atau jangan-jangan..."

"Ma, Please-"

"Tante! Aku bisa jelasin semuanya."

Tiba-tiba Ela datang, Danish mendengar suara Ela yang panik. Namun tetap tidak menoleh ke arah wanita itu. Yang ada ia malah semakin kesal dengan Ela.

"Oh! Jadi kamu orangnya? Yang sudah merebut kebahagiaan anak saya!"

"Bukan begitu, Tante. Sebenarnya saya-"

"Astaghfirullah, Ma, Danish, semuanya!"

Dan lagi, perselisihan mereka terjeda. Ayah mertua Danish datang setelah di ketahui ia baru saja dari rumah sakit menjenguk Nafisah.

"Mas, ngapain kesini?" tanya Latifah tidak suka dengan suaminya, merasa semua rencananya untuk mencaci maki menantunya gagal kali ini.

"Ma, kalau mau selesaikan masalah, tunggu Danish dan wanita disebelahnya itu selesai dalam urusan kantor. Saat ini mereka sedang bekerja. Tidak baik mendatangi mereka."

"Tapi, Mas-"

"Allah akan kecewa dengan kita karena sudah mengganggu jam kerja mereka. Mereka bekerja untuk di bayar. Satu detik saja, begitu berharga untuk perusahaan. Jangan sampai dengan adanya kedatangan kita dalam urusan pribadi, mereka jadi korupsi waktu. Itu tidak akan baik dengan penghasilan yang mereka peroleh sebagai karyawan. Apakah Mama mengerti?"

Latifah terdiam. Akhirnya Latifah mengalah. Kini, ia pun menatap Danish dan Ela secara bergantian.

"Saya tunggu penjelasan dari kalian berdua di penginapan dekat rumah sakit. Kami menginap di kota ini hanya 2 hari. Nanti saya sherlock lokasinya." kesal Latifah dan tatapannya beralih ke Danish sejenak.

Tanpa menunggu respon dari Danish dan Ela, Latifah pergi begitu saja. Sementara Kakeknya Diyah, saat ini iatidak nyaman hati dengan Danish meskipun tidak sedikitpun melihat kearah Ela. Setelah kepergian mereka, Ela menatap Danish lagi.

"Maafkan aku, Danish."

Danish tetap diam. Dan pergi berlalu dengan tatapan-tatapan para karyawan yang kini mengarah padanya.

****

Semua keluarga sudah berkumpul, ada kedua orang tua Ela yang kini menatap putrinya dengan harap-harap cemas di campur rasa masih tidak percaya kalau apa yang mereka lihat di sosial media itu benar. Lalu ada Mama dan Papa Danish serta kedua orang tua Nafisah.

Mereka, kini menatap Danish dan Ela secara bergantian meskipun keduanya duduk di sofa yang panjang dan berjarak.

"Kalian harus bertanggung jawab atas semua ucapan kalian." ucap Aminah, ibu kandung Danish.

"Saat itu aku tidak sengaja dan refleks mengucapakannya. Situasi mendesak diriku untuk menyebut Ela sebagai istriku."

"Tapi sayang sekali," Latifah menimpali. "Ucapanmu malah membuat heboh satu kampung. Bahkan Ibu RT sampai bertanya semua itu pada Mama. Belum lagi kabar Nafisah masuk rumah sakit dan koma juga terdengar. Saat ini, tetangga pada menganggap Ela sebagai perebut suami orang."

"Itu benar," sambung ibunda dari Ela. Selain menjadi Ibu RT, rupanya Ibu nya Ela juga merasa malu. "Satu kampung pada menggunjingmu, Ela. Jujur, saat itu Bunda sampai syok bahkan tidak percaya."

"Jadi bagaimana dengan kasus kepolisian waktu itu? Apa yang di minta mereka sebagai bukti?" tanya Supomo, Ayah Ela yang menjabat sebagai ketua RT di kampung halamannya.

"Mereka, meminta beberapa bukti kalau aku tidak bersalah, Ayah. Salah satunya," Ela menundukkan wajahnya. "Salah satunya kalau aku dan Danish memang sepasang suami istri. Kalau tidak, mereka akan ikut menangkap Danish yang di tuduh bekerja sama denganku."

"Apakah saat kejadian itu, tidak ada cctv?" sela Mahmud, Papa Danish.

Ela menggeleng lemah. "Kata si pemilik toko, Cctv mereka rusak, satu jam sebelum kejadian itu berlangsung. Jujur, saat itu aku benar-benar tidak bisa berbuat apapun apalagi ponsel orang itu ada di tas belanjaku."

"Tidak ada cara lain." ucap Mahmud akhirnya. Ia mengusap raut wajahnya yang lelah. "Kalian.. "

"Saya nggak setuju kalau anak saya di madu." potong Latifah sambil bersedekap.

"Tapi, maafkan saya Ibu Latifah." Lanjut Mahmud. "Seperti yang di ucapankan Ela, jika mereka tidak bisa menunjukkan bukti bahwa keduanya suami istri, Danis dan Ela akan di penjara. Jujur, saya juga tidak mau hal ini terjadi. Tapi biar bagaimanapun, tidak baik untuk posisi Diyah dan Nafisah nantinya kalau mereka di penjara."

"Dan tidak baik pula untuk kebutuhan biologis Danish secara perlahan. Putriku memang sudah koma, tidak bisa di pastikan kapan akan sadar. Putriku ada di antara hidup dan mati. Malaikat maut bisa datang kapan saja mencabut nyawanya." ucap Papa Nafisah dengan nada sedih.

"Apakah Papa tega, melihat putri kita di poligami setelah sadar?"

"Kita tidak pernah tahu kapan Nafisah sadar. Mama juga tidak mengerti bagaimana usaha seorang suami menahan hasrat seksualnya. Danish mungkin bisa saja berpuasa, tapi tidak baik dengan untuk menahan hawa nafsunya sendiri."

"Dan aku tidak ingin, kalau putraku terjerumus dalam perzinahan dan kemaksiatan." sambung Ayah Danish akhirnya.

Baik dari Mama Nafisah, Bunda Ela, dan Mama Danish, hanya bisa diam dan berpasrah. Mau di paksakan agar tidak terjadi pernikahan, namun setelah di pikir-pikir, Danish tetaplah seorang pria normal yang memang butuh semua itu.

Dan lagi, disisilain, Danish juga terdiam. Ya, semua yang dikatakan para laki-laki paruh baya disini benar. Jujur saja, semenjak Nafisah sakit, sesungguhnya kebutuhan biologisnya memang sering tertunda dan jarang terlaksana. Ia juga tidak tega meminta hal itu pada Nafisah.

"Sebenarnya.." Ela akhirnya bersuara. "Dua bulan yang lalu, Mbak Nafisah menyuruh saya bersama Danish. Dan.. saat ini, polisi juga mendesak saya untuk segera memberikan bukti yang ada."

Air mata meluruh di pipi Ela. "Dulu saya memang menyukai Danish sebelum dia menikah dengan Mbak Nafisah. Tapi sekarang, tidak mudah juga untuk saya bisa bersama Danish. Saya tidak ingin menyakiti hati Mbak Nafisah dan hati saya sendiri nantinya."

"Tidak ada cara lain, selain usulan yang kita bicarakan tadi. Pihak kepolisian terus menunggu kabar dari kalian. Mau tidak mau..." Ayah Ela pun menghela napasnya. "Kalian tetap harus menikah dan segera memberi bukti kalau kalian berstatus suami istri dan Danish memang tidak bersekongkol denganmu.  Lalu kalian bisa memberi bukti kalau Ela tidak bersalah agar fitnah dan pergunjingan orang-orang yang terjadi di antara kalian, bisa teratasi dengan baik di kampung kita nantinya."

****

Setelah apa yang terjadi beberapa jam yang lalu, Danish menyempatkan waktu untuk mendatangi Nafisah. Dan lagi, seperti sebelumnya, tidak ada tanda-tanda kalau Nafisah akan sadar.

Kulit yang putih dan memucat bahkan mulai sedikit gemuk akibat cairan impus yang terpasang di punggung tangan Nafisah. Danish meraih pergelangan tangannya secara pelan-pelan yang tidak terpasang jarum impus kemudian menggenggamnya.

"Istriku, kapan kamu sadar?"

Danish mencium punggung tangan Nafisah. Ia menatap istri tak berdaya itu dengan sendu.

"Terakhir kita ngobrol, waktu malam sebelum kamu tidur. Bukankah kita sudah sepakat untuk pergi umroh bersama Diyah? Kumohon bangunlah.."

Danish akhirnya merasa lelah, air mata itu, akhirnya meluruh di pipinya.

"Ya Allah, kenapa Engkau memberiku 3 wanita didalam hidup hamba? Apakah sudah menjadi takdir, kalau hamba memiliki 3 istri? Almarhumah Alina, Nafisah, dan.."

Detik berikutnya, Danish terisak. Ia menumpahkan curahan hatinya di sela-sela kerinduannya pada Nafisah.

"Dan Ela.. "

"Ya Allah, bagaimana mungkin hamba bisa adil nantinya? Apakah Allah memberi ujian pada hamba karena Allah mengetahui apa yang tidak hamba ketahui?"

****

Bersambung..

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience