Chapter 46

Romance Series 8051

"Kakak masuk rumah sakit? Kok bisa? Sakit apa?"

"Kata guru kamu, Kakak kamu jatuh dari lantai 2 dan sekarang di larikan kerumah sakit?" ucap Ayah Lisa dengan khawatir.

"Apa?!"

Lisa segera menuju rumah sakit bersama orang tuanya. Sementara Bunda mereka tidak henti-hentinya menangis mengkhawatirkan putri pertamanya itu. Sesampainya disana, mereka segera menuju UGD. Beberapa tim medis telah berupaya menyelamatkan putri mereka.

Kedua orang tua Lisa berjalan mondar-mandir. Lisa sendiri hanya bisa duduk di kursi ruang tunggu sambil ketakutan dan cemas. Pintu terbuka lebar, seorang dokter keluar dan langsung menjadi perhatian utama orang tua Lisa.

"Bagaimana keadaan putri kami, Dok?  Kondisinya nggak parah, kan?" tanya Ayah Lisa penuh was-was

Dokter tersebut menggeleng lemah dengan raut wajah penuh penyesalan. Melihat hal itu, akhirnya Mama Lisa menangis tersedu-sedu. Lisa sendiri sampai lupa dengan penyakit demam yang saat ini sedang menyerangnya. Semua teralihkan begitu saja setelah ia tahu kalau saudara perempuan yang ia sayangi itu telah tiada.

"Harusnya aku turun sekolah aja hari ini. Supaya aku tahu, kenapa Kakak bisa jadi begini."

*

Dengan perlahan Lisa menghapus sisa riasan make up yang menempel di wajahnya. Akad nikah baru saja berlangsung beberapa jam yang lalu. Sekarang, ia resmi menyandang status sebagai istri sah dari Randi Wijaya. Lisa menatap dirinya didepan cermin dengan raut wajah sedih setelah sebelumnya mengingat masalalu. Kak Lala, adalah seorang Kakak yang begitu ia sayangi.

"Bukankah sekarang kamu sudah bahagia mendapatkan diriku? Wajah kesedihanmu saat ini tidak berlaku buatku. Apalagi jika berakting. Nggak akan mempan."

Lisa menghapus sejenak sisa air mata di pipinya. Ia menatap Randi yang kini terlihat memakai bathrobe. Pria itu sudah bersih setelah mandi bahkan rambutnya yang basah saja semakin memancarkan aura ketampanan. Lisa tersenyum angkuh seperti biasanya.

"Jangan suka memfitnah, Ran.. Em maksudku.. " Lisa berdiri lalu berjalan kearah suaminya hingga mereka saling berhadapan. "Maksudku Mas Randi."

"Mas?" Randi menaikkan salah satu alisnya. Ia tertawa seolah-olah mengejek. "Fitnah memang lebih kejam daripada pembunuhan. Tapi, wanita sepertimu apakah masih bisa di percaya?"

"Kamu boleh percaya atau tidak. Itu terserahmu dan hak kamu. Allah lebih tahu daripada kamu. Kelak di akhirat nanti, Allah akan mengungkapkan kebenarannya bahwa saat ini aku memang tidak berbohong. Apalagi sama suami sendiri, bukankah itu berdosa?"

Dengan santai Lisa melepaskan ikatan rambut yang terpasang di kepalanya. Untuk pertama kalinya, setelah sah menjadi sepasang suami istri, Randi tertegun melihat rambut Lisa yang tergerai indah. Rambut yang panjang bergelombang dan lebat. Terlihat sekali kalau selama ini Lisa rajin soal perawatan rambutnya.

Setelah membalas ucapan Randi yang menohok, Lisa berlalu bahkan sempat menyenggol kuat lengan pria itu menggunakan bahunya. Randi mendengkus kesal. Lisa tetaplah wanita yang sombong dimatanya.

"Ya Allah, kenapa Engkau jodohkan aku dengan wanita seperti dia? Bukankah yang baik akan bersama pasangan yang baik pula?"

****

Ela mengulurkan salah satu tangannya ke depan, rintik hujan mulai turun dan terasa di telapak tangannya. Sementara tujuannya ke minimarket masih jauh. Apalagi kebutuhannya mulai menipis jika ia menunda aktivitas berbelanja.

Angin dingin mulai berhembus kencang ketika ia sudah berada didepan lobby apartemennya.
Dari jarak beberapa meter, Ela melihat sebuah ruko sembako yang bangunannya bertingkat dua.

"Sepertinya aku harus kesana, setidaknya menghemat waktu dan harganya pasti lebih murah dari minimarket."

Ela pun akhirnya pergi kesana kemudian memasuki toko tersebut dan mulai mencari keperluan yang hendak ia beli sambil menenteng tas canvas yang ia bawa. Dengan teliti, Ela menatap deretan perlengkapan mandi kemudian meraih pasta gigi dan sabun mandi.

Setelah itu, tak lupa Ela menuju tempat makanan. Sesampainya disana, Ela juga mengambil beberapa cemilan, kue, dan makanan lainnya.

Bruk!

"Astaghfirullah!" Ela terkejut. Tanpa diduga seorang pria memakai masker menabraknya dari samping.

"Maaf, Mbak. Maaf, saya tidak sengaja."

Ela terdiam, kemudian mengangguk. Ia mencoba untuk memaklumi sampai akhirnya membiarkan pria itu pergi. Butuh waktu kurang lebih 15 menit, akhirnya semua yang di butuhkan Ela pun selesai dan berlanjut menuju kasir.

Sesampainya disana, seorang pria yang merupakan pemilik toko terlihat sibuk mencari sesuatu di atas meja kasirnya. Tak hanya itu, ia juga membuka laci bahkan sampai menengok ke lantai bawah kolong meja.

"Ponselku kemana, ya?"

"Ada apa Pak?" tanya seorang wanita yang Ela pikir adalah istrinya.

"Ini, Ma. Ponsel Papa nggak ketemu. Tadi disini. Sekarang nggak ada."

"Ponsel yang mana? Pribadi atau buat bisnis jualan?"

"Yang pribadi."

"Allahuakbar. Itu kan baru beli. Harganya sangat mahal. Astaghfirullah, ponsel seharga 22 juta hilang begitu aja? Gimana ini Pah?"

"Maaf, permisi Pak. Saya mau bayar." sela Ela akhirnya.

Pria itu menghentikan aktivitasnya yang sedang mencari ponselnya. Ia menoleh menatap Ela, mau tidak mau ia harus melayani pembelinya. Pria itu pun akhirnya menerima tas canvas Ela dan mulai mengeluarkan semua belanjaan Ela satu per satu.

"Ini, saja Mbak?"

"Iya, Pak." jawab Ela seperlunya.

"Mie instan Rp.2500, Wafer Rp.8000, Susu kaleng kental manis Rp. 10.000, Biskuit rasa kelapa Rp. 9000, Astaghfirullah..."

Tanpa diduga, pria itu mengeluarkan sebuah ponsel yang ia cari sejak tadi. Ia memastikan ponsel itu adalah miliknya dengan memasukkan akses pasword dan melihat wallpapernya. Pria itu akhirnya menatap Ela dengan tajam.

"Kamu kesini mencuri barang saya, ya?"

"Ha?" Ela terkejut. "Ya Allah, kalau nuduh jangan sembarang, Pak!"

"Ini buktinya apa?!"

"Tapi-"

"Mbak Indah, Mbak Yuni, kalian kesini. Cepat!"

Dua orang wanita muda yang menjadi karyawannya datang setelah di panggil oleh bosnya. Sementara beberapa orang yang sedang berbelanja disana mulai berbisik-bisik menatapnya.

"Ada, Apa Pak?"

"Iya, Pak ada apa memanggil kami?"

"Tahan Mbak ini. Dia pencuri!" tunjuk pria itu ke arah Ela. Sementara Ela mulai menolak di pegang oleh dua orang karyawan tersebut.

"Pak! Please ya, saya kesini untuk belanja. Bukan untuk mencuri!"

"Terus kenapa ponsel ini ada di tas belanja kamu? HAH?!"

"Ya mana saya tahu, Pak!"

"Nggak ada maling yang mau ngaku."

"Eh, ini Bapak fitnah saya? Hati-hati loh Pak! Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan."

"Fitnah dari mana? Ini semua kenyataan! Ponsel saya ada di tas kamu, Mbak!"

Sementara itu, Danish yang kebetulan ada disana menatap kejadian tersebut sejak tadi. Ia juga terkejut, kenapa orang yang ia kenal tiba-tiba di tuduh mencuri sebuah ponsel?

Danish memilih tidak perduli. Karena berada di sini dan melihatnya, hanya akan membuang-buang waktu saja. Akhirnya Danish segera menuju ke meja kasir kedua untuk membayar semua belanjaannya.

"Intinya saya nggak ngaku salah, karena saya memang tidak mencuri!"

"Dan saya perlu bukti, Mbak!"

"Saya-" Ela terdiam. Ah, iya, bukti. Apa yang harus ia buktikan sekarang? Yang ada ia malah tidak pernah tahu kalau di dalam tas belanjaannya ada ponsel.

"Tuh, kan, Mbak nggak bisa jawab! Saya hubungi pihak kepolisian-"

"Kalau nggak percaya, tanya sama suami saya. Itu orangnya, Mas Danish!" panggil Ela tiba-tiba.

Dan Ela merasa dirinya bodoh saat ini, bisa-bisanya ia reflek melihat Danish dan menyebutnya sebagai suami. Danish menoleh ke arah sumber suara. Danish mengerutkan dahinya. Kenapa ia di panggil?

"Mas, sini." panggil Ela lagi.

Setelah membayar semua belanjaannya, dengan langkah masih ragu-ragu, secara perlahan Danish mendatangi Ela.

"Ada apa?"

"Mas, benar kan, aku nggak mencuri?"

"Ha?"

"Percaya nggak, orang seperti aku mencuri barang disini? Apalagi ponsel merek ginian?" tunjuk Ela ke arah ponsel yang di pegang pria didepannya, sementara Danish terlihat kebingungan mau menjawab apa. Apalagi ia tidak ikut campur dalam urusan seperti ini.

"Tuh, dari raut wajah suaminya saja seperti nggak yakin. Sudahlah, Mbak, situ ngaku saja."

"Iya, Mbak. Situ ngaku saja. Usia masih muda kok mencuri sih." dan lagi, seorang Ibu paruh baya malah mendesaknya. Padahal ibu tersebut hanyalah pembeli yang sama seperti Ela.

"Iya, betul Bu. Suaminya saja terlihat kebingungan. Seharusnya seorang suami itu, melindungi istrinya ya. Atau jangan-jangan dia bukan suaminya?" sambung Ibu-ibu yang ada di sebelahnya.

"Apa?" Danish terkejut. "Suami?  Saya-"

"Mas, kok begitu sih? Disaat darurat seperti ini, Mas nggak mau tolong aku?"

"Ela, Ya Allah, Aku-"

Ela menatap Danish dengan tatapan memohon, sementara Danish langsung cepat-cepat memalingkan wajahnya ke lain. Disaat yang sama, ntah kenapa ia sendiri ingin kabur dari sana, namun lagi-lagi beberapa orang malah menatapnya curiga. Seolah-olah ia sekongkol dengan Ela. Belum lagi ada saja warga yang usil, merekam kejadian saat ini menggunakan ponselnya. Supaya apa?

"Atau jangan-jangan, Mas kerja sama ya? Untuk mencuri ponsel saya?" tuduh pria si pemilik ponsel tersebut.

"Astaghfirullah, itu tidak benar, Pak. Saya-"

"Saya tahu mencuri itu dosa. Nggak mungkin suami saya mencuri dan menyuruh saya berbuat kejahatan seperti ini. Lagian, toko Bapak juga aneh! Masa tidak ada cctv. Gimana coba, saya mau memperlihatkan bukti yang ada? Ck, beli ponsel mahal bisa. Masa beli perlengkapan cctv saja nggak bisa." sindir Ela telak.

"Cctv di toko ini kebetulan baru saja rusak satu jam yang lalu. Sudahlah, Mbak. Tidak perlu mengelak lagi!"

Danish merasa pusing dengan semua ini. Kenapa takdir membuatnya berada di masa rumit seperti ini sih? Di sisi lain, ntah kenapa ia terlintas sebuah ingatan kalau Ela pernah membantu Nafisah dan keluarganya beberapa hari yang lalu. Apakah sudah waktunya ia membantu Ela? Percuma saja ia pergi, toh sekarang ia malah dituduh bekerja sama dengan Ela.

Brak! Dengan kesal pria pemilik ruko itu menggebrak meja kasirnya. Detik berikutnya, dua orang polisi datang ke lokasi. Ela semakin ketakutan karena tidak ingin di penjara. Belum lagi kekesalan Danish terhadap Ela yang mengaku bahwa dirinya adalah suaminya. Sudah bisa di pastikan, cepat atau lambat, kejadian ini akan segera viral di sosial media. Apa kata orang-orang di luar sana nantinya?
Ela dan Danish diam-diam menikah? Astaghfirullah..

"Selamat siang Pak polisi. Mbak ini, terbukti mencuri ponsel saya. Ponsel ini di temukan di dalam tas belanjaannya-"

"Dia tidak mencuri." potong Danish akhirnya reflek Danish tanpa sengaja. Semua mata menatap ke arahnya. "Istri saya.." Danish terdiam, ntah kenapa hanya untuk menyebut kata istri, seketika rasanya ingin mual.

"Istri saya tidak mungkin melakukannya. Saya yakin dengan hal itu."

"Kalau begitu, kami butuh bukti yang kuat dari Anda." ucap salah satu pihak kepolisian hingga akhirnya membuat Danish semakin dilanda kebingungan.

"Ya Allah, Ela, kamu benar-benar keterlaluan!" sela Danish dalam hati.

****

Hai, Masya Allah Alhamdulillah...
Akhirnya aku udh update ya ?

Oh iya, siapkan hati kalian buat chapter selanjutnya. Yang ini pemanasan dulu hhe ?

Jangan lupa komentar dan votenya??

With Love ?LiaRezaVahlefi

Instagram : lia_rezaa_vahlefii

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience