Chapter 36

Romance Series 8051

Dengan teliti Nafisah mengancingkan kemeja Danish satu per satu. Wajahnya terlihat serius, namun Danish sadar, istrinya itu tidak bisa menutupi rasa kecewanya.

Setelah berhari-hari membutuhkan waktu, akhirnya Nafisah menyetujui permintaan Danish kalau pria itu menjadi asisten atasannya. Atasan yang Nafisah benci di muka bumi ini.

"Maaf, sudah mengecewakanmu."

"Tidak apa-apa. Aku mengerti."

"Setidaknya, sisi baiknya, aku tidak bekerja satu ruangan dengan Ela."

Tepat pada satu kancing terakhir, Nafisah menghentikan aktivitasnya. Ia mendongakkan wajahnya menatap Danish.

"A-apa? Satu ruangan?"

"Hm, begitulah."

"Kok nggak bilang sama aku selama ini? Ngapain aja selama satu ruangan?"

Dalam satu tarikan, Nafisah memasangkan ikatan dasi bahkan hampir membuat Danish tercekik dan berakhir dengan terbatuk.

"Sayang, pelan-pelan. Kalau cemburu jangan sampai membunuhku."

"Itu akibatnya kalau selama ini nggak ngomong kalau Mas satu ruangan sa dia!"

"Nafisah.... " Dengan perlahan Danish memegang kedua pipi istrinya, bahkan mencubit pelan hidungnya. "Aku seorang pembawa berita. Sebelum on air, ada bagian tim wardrobe yang mempersiapkan pakaian yang akan aku kenakan."

"Jadi dia yang nyiapin semua pakaian Mas disana?" tanya Nafisah sewot, ia menjauhi Danish dan bersedekap.

"Ya iya, memangnya siapa lagi? Itu sudah menjadi profesinya. Aku nggak berhak melarangnya apalagi-"

"Tapi dia nggak bantuin Mas pakaikan baju, kan?"

Danish tertawa kecil. Ia merasa Nafisah begitu sensitif pagi ini. Dan lagi, ia malah memeluk istrinya dari belakang.

"Kalau marah-marah nanti calon adiknya Diyah bisa mirip sama aku ketimbang kamu." goda Danish sambil mengelus pelan perut Nafisah.

"Ih, Mas ini apa-apaan sih." Nafisah merasa pipinya bersemu merah. "Aku lagi nggak hamil Mas."

"Hamil atau belum, Bismillah saja, semoga Allah segera memberi rezeki keturunan buat kita. Ntah itu kapan."

"Aamiin.."

"Sudah ya, jangan marah. Ini hari pertama aku bekerja dengan posisi baru. Yang penting, sekarang pakaian yang kamu siapkan tiap pagi, aku akan memakainya dan tentu saja tidak akan terganti seperti sebelumnya ketika aku sampai di kantor. Aku akan memakainya seharian selama aku bekerja."

"Iya deh iya, maaf kalau begitu."

"Kamu tahu satu hal Nafisah.. " Danish berpindah posisi, ia berdiri menghadap Nafisah dan memegang kedua pundaknya. "Seorang pria kalau sudah menundukkan pandangan kepada yang bukan mahram, tentu saja dia akan merasa risih bila berinteraksi dengan wanita yang bukan siapa-siapanya di luar sana. Apalagi kalau satu kerjaan. Terkadang mereka merasa heran, kenapa setiap kali berbicara denganku, aku menatap kearah lain. Seolah-olah mereka menganggapku sombong. Padahal sebenarnya tidak."

Nafisah tersenyum tipis. Merasa tersentuh dengan semua sifat Danish dan kewajibannya sebagai seorang muslim. Ia menyentuh pipi Danish dan merabanya dengan pelan.

"Terima kasih. Aku semakin mencintai Mas."

"Jangan pernah ragu denganku dan tolong percaya padaku. Sebagai hamba, aku takut pada Allah, bagaimana mungkin, kalau aku sampai menyakiti amanah dariNya? Kamu dan Diyah, adalah amanah yang harus aku jaga."

*****

"Ini semua berkas-berkas penting yang sempat di simpan oleh almarhum asisten saya. Sekarang aku serahkan padamu dan mulai sekarang kamu menempati meja ini."

Danish hanya mengangguk. Ada sekitar 10 berkas penting yang ia terima dari Randi. 30 menit ia menjalani jabatannya yang baru, Danish sudah begitu paham semua pekerjaannya.

"Jam berapa meeting hari ini?"

Danish langsung mengecek jadwal meeting Randi melalui iPad yang ia pegang dengan teliti.

"Insya Allah jam 2 siang ini Pak."

"Oke, terima kasih. Kamu lanjutkan saja pekerjaanmu."

Danish mengangguk begitu Randi pergi meninggalkannya dan memasuki ruangan. Meja yang ia tempati hanya bersebrangan dengan ruangan atasannya. Semua fasilitas lengkap dan suasananya juga begitu sejuk sehingga tidak membuatnya bosan.

Ketika pekerjaan mulai membuatnya sibuk, Danish membuka rak laci minimalis di sampingnya untuk mencari berkas-berkas yang ia butuhkan.

Sedangkan Randi, ia memasuki ruangannya dengan bernapas lega. Akhirnya ia kembali memiliki asisten pribadi yang ia yakin Danish adalah sosok pria yang amanah dan bertanggung jawab. Randi pun terpikir untuk membuat secangkir kopi hitam dan segera berjalan menuju mesin kopi di sudut ruangannya. Baru saja ia hendak menuangkan air panas, seketika Randi menghentikan aktivitasnya.

"Astagfirullah, aku lupa sesuatu."

Seperti orang yang kelabakan, Randi berlari keluar ruangan dan menuju meja kerja Danish. Tak perduli ketika kakinya sampai menabrak ujung sofa hingga membuatnya sakit. Namun apa yang ia takutkan, kini menjadi kenyataan. Dilihatnya Danish berdiri, sambil memegang sebuah foto seorang wanita di tangan kanannya, sedangkan di tangan kirinya masih memegang berkas perusahaan. Selembar foto Nafisah yang masih tersimpan.

Tatapan Randi beralih ke rak laci minimalis yang masih terbuka disana. Randi memijit pelipisnya yang tiba-tiba serasa pening.

"Danish.. Aku, aku bisa jelasin semuanya."

****

Masya Allah Alhamdulillah..
Chapter 36 sudah up ya ?

Jazzakallah khairan sudah baca. Jangan lupa di beri vote, komentar, sebagai bentuk dukungan buat author supaya semangat update ??

Btw..

Kenapa Randi masih menyimpan foto Nafisah ya? Terus kenapa di temuin di laci rak almarhum asistennya? ??

Tetap stay sama cerita ini.. ??

With Love ?
LiaRezaVahlefi

Instagram : lia_rezaa_vahlefii

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience