Chapter 33

Romance Series 8051

Danish menatap boneka beruang besar yang kini berada di samping putrinya. Ia mengerutkan dahinya, merasa curiga dengan boneka tersebut. Apakah mungkin, terpasang sesuatu diboneka itu? Seperti di film-film yang diam-diam terpasang kamera kecil untuk mengintai segala aktivitas lawannya.

Danish menggeleng cepat. Tidak mungkin. Ia dan Nafisah hanya keluarga kecil yang sedang merantau. Mana mungkin Ia punya musuh di kota metropolitan ini.

"Mas?"

"Ya?"

Nafisah datang menghampirinya sambil membawa nampan berisi secangkir teh. Ia sadar, pasti saat ini Danish bertanya-tanya tentang boneka itu.

"Sepertinya kita sedang sepemikiran, Mas."

"Soal boneka itu kan?"

"Iya. Harganya pasti mahal. Aku tidak pernah terpikir untuk membelikannya. Lalu tiba-tiba pria asing tak di kenal pergi begitu saja setelah meninggalkan Diyah."

"Maksudmu, apakah dia orang jahat?"

"Diyah bilang bukan. Justru dia om yang baik dan ramah."

Sekali lagi, Danish dan Nafisah menatap putrinya yang tertidur pulas. Jam sudah menunjukkan pukul 23.00 malam. Mereka sadar, Diyah memang terlihat baik-baik saja setelah bertemu dengan pria asing tadi. Tapi tetap saja, keduanya masih khawatir. Dengan hati-hati, Danish meraih boneka beruang tersebut dan membawanya keluar kamar.

"Mau di bawa kemana? Bagaimana jika Diyah terbangun dan mencarinya?"

"Kita akan mengembalikannya setelah Diyah menjelaskan ciri-ciri pria tersebut. Tidak baik menerima pemberian dari orang asing, Nafisah."

****

Pagi harinya Diyah terbangun dengan keadaan paling suntuk buatnya. Gadis kecil itu sudah rapi memakai seragam sekolah taman kanak-kanak motif polos kombinasi kotak-kotak yang di padukan dengan jilbab tosca.

"Ini hari pertama kamu sekolah, kenapa terlihat tidak bersemangat?" tanya Danish pelan, sembari menyuapkan sesendok nasi kuning bumbu ke dalam mulutnya.

"Boneka beruangku mana, Pa? Papa kan yang ambil?"

"Sayang ayo makan dulu."

Nafisah menyajikan sepiring menu yang sama seperti Danish pada Diyah. Bedanya untuk Diyah, Nafisah tidak memberi nya sambal.

"Aku nggak mau makan. Aku mau boneka ku."

"Sayang-"

"Please, Maaaa.. "

Tatapan Diyah kali ini benar-benar membuatnya tidak tega. Sampai akhirnya Danish berdeham.

"Sebutkan ciri-ciri om asing yang sudah memberi kan boneka itu padamu. Apakah kamu masih ingat?"

Diyah mengangguk. "Tingginya sama kayak Papa. Orang nya baik. Bukan orang jahat."

"Lalu?"

"Itu saja. Sekarang, mana boneka aku?"

"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Kabar duka datang dari seorang pria paruh baya yang sering kita kenal dengan Bapak Sofiyan. Beliau di kabar kan menghembuskan napas terakhirnya tepat pada pukul 04.00 WIB dirumah sakit kota Jakarta. Sebelumnya, beliau di kenal sebagai asisten pribadi seorang Direktur Utama Perusahaan penyiaran bernama Randi."

Sebuah tayangan berita pagi terdengar di layar lcd. Mereka yang saat ini sedang melanjutkan sarapan bersama harus terunda melihat tayangan tersebut. Apalagi Danish, tentu saja ia pernah beberapa kali berpapasan dengan mereka.

"Terakhir ketemu, dua hari yang lalu. Almarhum memang terlihat kisaran usia 50 tahun. Umur memang rahasia Allah. Semoga almarhum Bapak Sofiyan husnul khotimah."

"Aamiin. Tapi kenapa atasanmu jahat sekali? Pria pertengahan tahun bukannya disuruh pensiun malah tetap kerja."

Danish menatap Nafisah. Sadar kalau istrinya itu terlihat sinis jika mendengar nama Randi.

"Kita tidak pernah tahu bagaimana jalan pikiran seorang pembisnis, Nafisah. Bisa jadi Randi sudah pernah menyuruh almarhum pensiun namun  di tolaknya. Mungkin semua sudah di perhitungkan, tidak mudah mencari asisten pengganti yang bisa di percaya apalagi sudah bertahun-tahun setia bekerja dengannya."

"Kok Mas jadi bela dia sih?" kesal Nafisah, mood sarapannya mendadak hilang.

"Mama, Papa! Lihat, itu dia. Om baik yang sudah membelikan boneka beruang buat aku."

Keduanya sontak menoleh ke arah lcd. Terlihat berita kali ini yang memperlihatkan Randi masih memakai kacamata bingkai berwana hitam yang tersemat di hidung mancungnya. Randi menjawab semua beberapa pertanyaan wartawan padanya. Di lihat dari lokasi, Randi berada di kediaman almarhum.

Tatapan Danish berubah datar. Apa maksud atasannya itu membelikan boneka untuk putrinya? Apakah pria itu begitu baik karena ada sosok Nafisah di keluarganya? Sepertinya, ia harus menanyakan hal tersebut pada pria itu. Tapi apakah orang penting seperti Randi bisa di temui dengan mudah apalagi hanya untuk urusan pribadi?

Danish sama seperti Nafisah. Mendadak sarapannya terasa hambar. Ia langsung berdiri tanpa berucap sepatah katapun.

"Mas?"

"Papa, bonekaku bagaimana?"

"Papa?"

"Pa-"

"Sayang, ayo minum. Kita harus segera berangkat sekolah."

"Tapi boneka aku gimana?"

Nafisah tersenyum tipis. Berusaha membujuk putrinya penuh kasih sayang.

"Nanti Papa kembalikan setelah Diyah pulang sekolah."

"Beneran, Ma?"

"Hm, iya sayang. Siapa yang ingin bertemu teman baru di sekolah?"

"Aku.. Aku.. Aku.. Mau!"

Nafisah tertawa kecil bersama Diyah meskipun sebenarnya hatinya lagi-lagi terluka akibat masalalu itu. Kenapa sih, Randi masih ada disekitar kehidupan keluarganya?

****

Bersambung...

WithLove?LiaRezaVahlefi

Instagram : lia_rezaa_vahlefii

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience