Chapter 13

Romance Series 8051

Tidak ada yang bisa Ela katakan selain diam tanpa berkomentar apapun. Mencoba untuk sabar dan menahan rasa cemburu, ketika pria yang ia sukai sejak kecil akan melamar wanita lain.

Di masalalu, ia sudah kagum dengan Danish yang masih seragam putih abu-abu. Saat itu, ia tidak berani mendekati pria itu bahkan hanya mengangguminya dari kejauhan sampai akhirnya, ia terluka ketika Danish yang dewasa menikah dengan Alina. Dan sekarang, hal itu terluka lagi. Didepan matanya secara langsung, pria itu melamar wanita lain.

Ela tak habis pikir, kenapa untuk urusan cinta dan patah hati kembali terlihat didepan matanya langsung? Bahkan dari raut wajah Aminah saja terlihat bahagia. Apakah kebahagiaan beliau saat ini bisa ia rasakan seandainya posisi itu di tukar dan ia yang di lamar Danish?

"

Alhamdulillah, Tante senang akhirnya Diyah bisa kemari. Oh iya, bagaimana keadaan Ibu dan Bapak sekarang?"

Danish menatap Mama Nafisah yang kini menuangkan teh hangat ke dalam cangkir didepannya. Papa Nafisah pun hanya tersenyum tipis sambil meminum secangkir teh pemberian istrinya. Sementara Nafisah memilih berada di ruang tengah bersama Diyah saling melepas rindu dan mengobrol banyak hal.

"Alhamdulillah, kami baik Bu. Kebetulan beberapa hari yang lalu baru pulang dari rumah sakit."

"Alhamdulillah kalau begitu. Maaf belum sempat ke Balikpapan untuk bersilaturahim kerumah Ibu Aminah." ucap Latifah dengan senyuman hangatnya.

"Iya, Ibu tidak apa-apa. Kami mengerti."

Danish menyeruput secangkir teh hangat dan rasa manis yang melegakan memasuki tenggorokannya. Setidaknya mengurangi sedikit rasa gugupnya.

"Oh iya, nak Danish dan sekeluarga ke kota ini, apakah ada urusan pekerjaan atau sedang berkunjung ke rumah neneknya Diyah? Baru saja tadi pagi Tante bertemu dengan Mamanya Alina di pasar, kami mengobrol sejenak."

Danish tersenyum. "Kebetulan saya memang ingin membawa Diyah untuk bertemu dengan neneknya di kota ini. Sekaligus bertemu dengan.."

Danish terdiam, bingung hendak melanjutkan ucapannya. Lebih tepatnya mencari kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan tujuan yang sebenarnya.

"Bertemu dengan Nafisah?"

Danish terkejut, tidak menyangka kalau Lestari mengetahui apa yang ingin ia ucapkan. Lestari sadar, Danish terlihat gugup. Ia pun tersenyum tipis.

"Waktu di masalalu, Tante dan Mama kamu memang berniat menjodohkan kalian. Namun kami tidak bisa berbuat apapun ketika kamu memiliki wanita pilihan lain yang kamu cintai, nak Danish. Tante tentu tahu bagaimana keinginan itu masih tersimpan di dalam hati Aminah hingga sekarang. Sebagai orang tua, kami serahkan semuanya kepada Allah dan kalian. Kamu dan Nafisah lah yang memiliki keputusan tersebut. Tante mengerti, tidak mudah bagimu untuk memulai hidup baru dengan seseorang yang tidak pernah pikiran selama ini. Sebagai orang tua, kami hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk semuanya."

Rasa takut dan gugup pun perlahan sirna. Lestari memang seorang Mama yang pengertian sebagai orang tua. Suara tawa riang dan canda terdengar dari dalam. Bukti bahwa keceriaan Diyah kembali terukir di wajahnya.

Seketika Danish merasa hatinya tenang. Kebahagiaan Diyah adalah kebahagiaannya juga. Keceriaan Diyah adalah rasa syukur yang ia rasakan sebagai sosok Papa. Namun kesedihan dan ketakutan Diyah adalah luka baginya.

"Terima kasih sudah mengerti dengan apa yang saya rasakan saat ini Tante. Saya.."

"Ya?"

Danish merasa dahinya berpeluh. Jantungnya berdebar-debar. Bukan karena gugup, namun berusaha bersiap diri dan meyakini diri kalau ini adalah keputusan yang tidak salah. Tatapan Danish pun beralih ke arah Papa Nafisah

"Saya ingin melamar Nafisah, Om. Saya ingin menikahinya."

Papa Nafisah pun terdiam, raut wajahnya sulit di tebak. Apapun yang terjadi, semua Danish serahkan pada Allah. Sungguh Allah Maha Mengetahui segala sesuatunya, termasuk takdirnya, kisah hidupnya, bahkan bahtera rumah tangganya yang akan terjadi lagi atau tidak.

"Atas dasar apa kamu ingin menikahi putri saya? Karena Diyah?"

"Karena Allah. Allah memberi saya petunjuk melalui sholat istikharah selama beberapa hari ini yang kesekian kalinya untuk menikahi Nafisah."

Papa Nafisah memperhatikan Danish yang berusia 30 tahun dan terlahir dari keluarga yang baik-baik. Memiliki pekerjaan yang tetap bahkan tidak diragukan lagi soal memberi nafkah untuk istrinya suatu saat.

Pria paruh baya itu juga tahu kalau Danish adalah sosok Papa yang bertanggung jawab serta rajin beribadah, semua terlihat ketika dimasalalu Lestari sering menceritakan bagaimana bahagianya Aminah memiliki seorang putra yang aktif dalam kegiatan perkumpulan remaja di Mesjid.

"Terima kasih sudah berniat melamar putri saya." sela Papa Nafisah. "Ketika kamu berucap dengan alasan semua karena Allah, saya yakin, kamu tidak main-main. Namun semua itu di kembalikan lagi kepada Nafisah. Sebagai orang tua, kami hanya bisa mendoakan yang terbaik. Serahkan saja semuanya pada Allah, jika Nafisah jodoh nak Danish, pernikahan itu pasti akan terjadi dan sudah tercatat di Lauhul Mahfudz."

"Alhamdulillah, kami sebagai orang tua Danish juga memberi doa yang terbaik dan kelancaran atas semuanya.. " jawab Papanya Danish yang kini terlihat bahagia.

Ela berusaha untuk tegar, ia sama sekali memang tidak ada peran disini. "Nggak apa-apa.. Cinta memang tidak harus saling memiliki. Melihat dia bahagia dengan pilihan hatinya adalah salah satu mencintai dengan cara mengikhlaskannya.." sela Ela dalam hati.

"Oh iya, nak Danish di sini berapa lama?" sela Lestari tiba-tiba.

"Insya Allah seminggu, Tante."

"Baiklah kalau begitu. Kami akan menyampaikan hal ini pada Nafisah. "

Lalu Danish pun tersenyum ramah. Ia pun bersiap-siap untuk pamit pulang karena tidak ingin berlama-lama, barang kali Nafisah ataupun keluarga tersebut sedang memiliki kesibukan lainnya.

Lestari membawa Danish ke ruang tengah. Danish menatap Diyah yang kini berbaring berbantalan paha Nafisah. Apa yang ia lihat barusan lagi-lagi membuatnya terbayang di masalalu ketika Alina sering melakukan hal tersebut pada Diyah.

"Sayang, ayo kita pulang."

Diyah menoleh kearah Papanya. Dengan kecewa ia pun membangunkan dirinya.

"Kenapa cepat sekali? Diyah masih ingin bersama Tante Nafisah."

"Bukankah Nenek juga sedang menunggumu di rumahnya? Nenek pasti kangen sama Diyah."

Diyah terdiam. Ia beralih menatap Nafisah. Kedua matanya berkaca-kaca, seolah-olah enggan untuk pergi dari sana. Ia merasa kalau Nafisah seperti Mama baginya.

Nafisah menyadari tatapan Diyah. Lalu sebulir air mata menetes di pipi Diyah, Nafisah tak kuasa langsung memeluknya.

"Papa benar. Diyah harus bertemu Nenek dirumah. Mereka pasti merindukan Diyah yang disayangi."

"Diyah juga merindukan Tante. Apakah besok Diyah boleh kemari? Diyah ingin bobo sama Tante." lirih Diyah sambil sesenggukan.

Semua yang ada disitu pun menatap Diyah dengan iba. Danish menundukkan wajahnya, berusaha tidak menatap wajah Nafisah sejak tadi karena harus menundukan pandangannya.

"Iya sayang, besok Diyah boleh bobo sama Tante kok. Apakah Diyah mau Tante jemput dirumah Nenek?"

Diyah mengangguk cepat. Ntah kenapa rasa sedihnya langsung hilang.

"Mau.. Diyah mau."

"Kalau begitu Diyah harus jadi anak yang penurut dan mau pulang agar bisa ketemu sama Nenek."

"Iya Tante. Diyah akan pulang. Diyah juga nggak mau buat Papa lelah. Papa mau istirahat dirumah nenek."

"Masya Allah, Diyah anak pengertian."

Detik berikutnya Nafisah pun memeluk Diyah, tak lupa ia mengecup pipi Diyah lalu segera berdiri. Danish tersenyum ketika Diyah menghampirinya meskipun pergelangan tangannya di genggaman oleh Nafisah.

"Ayo sayang kita pulang. Pamit dulu sama Kakek, Nenek, dan Tante Nafisah."

Diyah pun menurut, mencium punggung tangan mereka satu per satu lalu membalikkan badannya untuk keluar ruangan. Nafisah menatap punggung lebar Danish dengan perasaan tidak menentu.

Dalam hati Nafisah bertanya-tanya, sebenarnya hal apa yang sedang di bicarakan oleh Danish dan kedua orang tuanya di ruang tamu?

Terbesit kata lamaran tiba-tiba terlintas begitu saja. Dengan cepat Nafisah menggelengkan kepalanya. Tidak mungkin Danish melamarnya. Bukankah pria itu kemari hanya bersilahturahmi sambil membawa Diyah?

Seharusnya kata lamaran itu ia harapkan dari Irsyad yang tidak kunjung datang hingga sekarang, meskipun ia tidak menyangka kalau semua hidangan dan makanan yang di siapkan orang tuanya sejak tadi pagi pada akhirnya menjadi rezeki untuk Danish dan Diyah. Bukan untuk keluarga Irsyad.

????

Masya Allah Alhamdulillah sudah up chapter 13.. ??

Jazzakallah khairan sudah pada baca ya.. ??

Ela lagi patah hati, sementara Danish mencoba memulai hubungan baru..
Dan Nafisah, kecewa karena ketidakjelasan dari Irsyad.. ??

With Love ? Lia Reza Vahlefi

Instagram : lia_rezaa_vahlefii

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience