Part 46

Family Series 5583

Wajah pucat pasi, mual dan sering muntah-muntah hingga sampai terkadang tak mampu untuk berdiri, ketika bau asap masakan sampai di hidung Renna.

"Mas antar aku ke dokter sekarang." Pinta Renna dalam telepon. Kemudian ditutupnya. Dengan rasa cemas si Sugeng menghubungi balik. Namun tak diangkatnya.

"Masukan saja ke karung semua, tmbang dan tulis di setiap karungnya. Saya ada urusan penting dan mendadak." Katanya kepada pemilik gabah. Karena truk yang dia bawa hampir terisi setengah. Maka Sugeng tak bisa membawanya. " Boleh saya pinjam sepeda motornya." Tanya si Sugeng rada keburu-buru.

Motor dikendarai dengan kecepatan tinggi, dan Sugeng gak memakai helm. Pas lewat di pertigaan dilihatnya ada rasia operasi gabungan. Menyadari hal itu dia berhenti dan memarkir sepeda motornya pas di depan toko, kemudian dia masuk ke supermarket tempat dia parkir. Surat sepeda motor, serta helm gak dibawanya.

"Ma, keadaanmu gimana?" Tanya dia dalam pembicaraan lewat telepon. Kemudian dia melanjutkan; "Ini papa sedang di dalam supermarket menghindari razia gabungan, karena gak bawa helm serta surat-surat."

"Ya sudah balik saja, gak usah pulang. Ini aku sudah  baikan kok." Kata Renna.

Saat dia bermaksud mau balik, ternyata sudah ada polisi yang menunggui tepat di sekitar sepeda motor yang di parkirnya.

"Celaka 12, ini polisi malah nungguin!" Katanya dalam hati. Terpaksa dia lewat dan menunggu di depan toko yang lain. Sampai operasi gabungan itu selesai. Dengan hati penuh gelisa, dia menunggu, sampai rasia selesai. Sugeng mondar-mandir di sekitaran toko sambil sesekali melihat jam di ponselnya.

Wajah Renna pucat, malas beraktifitas apapun. Bahkan entah sudah berapa hari ini takut terkena air. Saat rebahan di kamar tidur, Sugeng datang dan menyapanya: "Yuk, kita ke dokter sekarang."

"Males banget, pengennya rebahan." Selesai bicara Renna kembali muntah-muntah hingga keringat dingin membasahi tubuhnya. Walaupun Sugeng pernah menghadapi hal seperti ini, saat Atun istrinya dulu ngidam, namun tak segelisah dan sebingung seperti saat ini, ketika Renna mengalami hal yang sama. Dipijatnya pundak Renna, namun muntah itu tak kunjung redah, digendongnya menuju ke mobil dan dibawanya ke UGD rumah sakit di kota itu. setelah sampai ditempat dokter memeriksanya.

“Istri bapak, ain kali kalau mengalami hal seperti ini, cukup dibawa ke klinik ibu dan anak, atau ke dokter kandungan. pasti ini yang pertama ya?”  Sugeng mengangguk 

“Ya sudah, ini resep nanti bisa ditebus di apotik. sekarang bapak bisa membawa istri pulang dan gak harus opname, seperti yang bapak katakan tadi.”

“Terimakasih dokter.”

Saat di lampu merah, tepat di depan Mirna, mobil bapaknya berada tepat di depannya, namun lagi-lagi Mirna hanya mampu menyimpan rahasia itu sendiri.

Sesampainya di rumah, Renna dibaringkan di tempat tidur dan ditunggui nya hingga terlelap.

Sugeng menuju dapur bermaksud menyeduh kopi. telepon bergetar. dilihatnya ponsel dan dibukanya.

“Ya, gimana? sudah beres. kalau sudah langsung saja naikkan truk, jangan sampai lupa mencatat, nanti bapak rugi. kalau selesai dan siap berangkat, telpon lagi.”

………..

“Pa, jangan dekat-dekat, sana..sana…sana… bau kopinya bikin aku pengen muntah.” Sugeng duduk menjauh. Saat nyeruput kopi yang sudah mulai hangat itu. Renna berkata sedikit membentak: “SANA… sudah dibilang aku mual pengen muntah. Baunya kopi bikin mual.” bentaknya lebih keras. Tanpa menoleh, Sugeng langsung keluar. Duduk di  amben bambu belakang rumah di bawah pohon buah kenitu.

Disisi lain dalam waktu yang sama.

Atun mamanya Mirna, Sari dan Imron. Duduk di samping Imron yang asik bermain bongkar pasang, lego yang dibelikan oleh kedua kakaknya. Pikirannya mengembara, ada yang kosong dalam hatinya, namun pikirannya dipenuhi oleh tingkah suaminya, yang dulu sangat perhatian dan sayang kepada keluarga, juga perhatian dan perhatian pada dirinya. Dia mengingat masa itu: “Mak, aku berangkat dulu ya, mencoba untuk kerja jadi kuli, walaupun hasil tak seberapa. karane ini baru selesai musim tanam. mungkin gak bisa sering pulang. tapi begitu dapat uang aku akan langsung pulang. tapi langsung balik lagi.”

Si Sugeng memang rajin, dirumah pun sangat rajin, sebagai buruh tani, karena dia memang tak punya lahan sepetak pun, kalaupun dia kesawah itu hanya mengerjakan milik mertua, selesai itu, baru buruh ke pemilik sawah yang lain. walaupun hidupnya bisa dikatakan kurang dia tetab bekerja keras agar anak istinya tak sampai kekurangan. Dia memilih untuk tidak makan sebelum kedua anak dan istrinya makan, waktu itu Imron belum lahir.

Kemudian pikiran Atun dipenuhi oleh tingkah sang suami saat ini, ketika hidupnya jauh lebih makmur dibandingkan dahulu. Beberapa kali ketahuan perselingkuhannya dengan Admin kepercayaan di pabrik milik Ummi. Perhatiannya kepada Renna sangat mencolok, kala jam istirahat dan belanja di warung yang dikelola Atun dan kedua anaknya. Sebaliknya tak pernah ada waktu untuk dirinya dan juga anak-anaknya. bahkan duduk santai berdua hampir tak pernah, dengan alasan capek, kadang juga bilang sibuk ngurusin kerjaan.

“Pak, makanan kesukaanmu sudah aku siapkan.” Tanpa menoleh, langsung pergi. Jikapun tidur bersama. “Pak sudah siap pakai.” Kata Atun namun, jawabnya: “lagi gak kepengen, mungkin aku terlalu capek kerja, buat kehidupan yang layak buat kalian semua.” Jawaban selalu katos, gak ada mesra-mesranya sedikitpun seperti dulu.

Saat kesedihan itu memancing air matanya tuk merambat dan jatuh ke pangkuannya, Mirna menghampiri dan memeluknya dari belakang. “Mak, badai pasti berlalu. yang sabar ya.” Bisik Mirna Kemudian Atun menghapus air matanya, dan memegang kedua tangan Mirna, menciumnya lalu berkata: “Kamu gak keluar sama teman cowokmu?” Mirna tersenyum dan berkata. “Itu Sari Mak, Aku kan masih gak pengen punya teman. Mirna masih fokus ke karir masa depan, biar gak keganggu dengan hal-hal yang gak penting.” Dimintanya Mirna duduk disamping mamaknya, kemudian dia berkata: “Nduk, kita manusia, itu sudah ditakdirkan punya pasangan, berkeluarga, punya anak, jadi nenek dan kemudian.” Belum selesai Atun bicara, dipotongnya sama Mirna. “Tapi, Mirna harus punya pekerjaan yang mapan dulu, biar nantinya bisa fokus memanjakan suami, kalau perlu gak usah keluar kamar, jadi kalau suami minta tinggal buka, terserah mau berapa kali.” Candanya, agar mamaknya tidak sedih. 

“Hmmm, anak kecil tau apa soal begituan.” Dicium nya pipi Mirna. 

“Mak, Mirna punya usul bagaimana kalau kita libur seminggu, kita berempat pergi ke Bali. nanti kita minta izin sama bu Endah dan juga pelanggan, kalau kita libur. lagian selama ini kita tak pernah libur lho.” Ajak Mirna.

"Aku dan Sari bergantian bawa mobilnya." Tambahnya.

"Asik..asik..asik, adik boleh bawa Lego kan kak?" Saut Imron,walau dia sibuk dengan mainannya,ternyata telinganya mendengar juga apa yang dibicarakan mama dan kakaknya.

“Waduh serius banget, ikutan dong?” Kata Sari saat melihat Mirna dan mamanya.

“Kata kak Mirna kita mau berlibur ke Bali, kak Sari yang nyetir mobilnya sama kak Mira.” Jawab Imron.

“Ah.. ini baru rencana kakamu saja.” Jelas Sang mamak.

“Ide cemerlang. mamak gak perlu keluar dana, biar aku dan kak Irma saja yang nanggung semua. Kapan kita berangkat?”

“Kalau bisa Sabtu depan. jadi kita punya waktu yang panjang.”

“Waduh, lama banget?”

“Ya kita kan harus siap-siap dulu, sekalian menghabiskan dagangan yang gak tahan lama, jadi gak kebuang sia-sia, lagian kita harus pamit dulu sama mama Indah. walau bagaimana kita juga gak boleh libur seenaknya.”

“Oke, siap.” Jawab Sari.

……………………………

Malam itu, saat Sari, tertidur lelap dengan si Imron di kamar Sari.

Mirna dan mamaknya, duduk di teras rumah. Mirna masuk mengambil jaket dan dikenakan pada ibunya, karena angin malam itu, cukup dingin.

“Sudah malam, gak bobok mak?” Tanya Mirna.

“Hmmm … temani mamak malam ini. tumben hati mamak terasah perih, tapi gak tau penyebabnya. Yang jelas rasanya kayak diiris-iris.” Dirangkulnya sang mamak.

“Mungkin Mirna belum merasakan, seperti yang mamak alami saat ini, tapi percayalah mak, ada saatnya rasa itu bakal berlalu, seperti saat datangnya rasa itu, tanpa tau kapan, begitu pula kita juga gak tau kapan perginya. yang pasti bakal pergi. hanya saja kita yang mengalami cobaan ini, mampukah kita bertahan, atau kita menyerah begitu saja. dan itu sebuah pilihan yang berat. tapi disadari atau tidak memang kita harus memilih.” Mendengar Mirna memberi nasehat, seakan dia tak percaya, ternyata anakku telah dewasa dalam pemikirannya. Si Atun berusaha untuk tersenyum, walau itu terasa berat. “Trimakasih sudah menemani mamak, dan terimakasih buat nasehatmu, yang terdengar lebih dewasa dari pemikiran mamak selama ini.” Katanya lirih.

Mirna tau, mamaknya akan menceritakan perihal sikap bapaknya yang berubah akhir-akhir ini.

“Mak, kita hadapi saja apa yang terjadi, karena ketika kita melawannya. maka kita bakal mendapatkan perlawanan lebih keras, jadi cukup kita lihat. dengan ketulusan cinta dan perhatian, jika memang tak punya jalan keluar.” Atun hanya mendengar apa yang dikatakan anak bidoknya, yang kini telah tumbuh dewasa. “Jika mamak merasa gak kuat menghadapi, ya menangislah sepuasnya, tapi jangan sampai terbawa oleh kesedihan itu, sehingga orang lain sampai ikut merasakan kesedihan yang kita alami. tapi sebaliknya, jika kita bahagia, kita wajib berbagi kebahagiaan itu kepada orang lain. itulah hidup yang berarti. Lho kok jadi Mirna yang banyak omong ya. Mirna jadi malu.” sang mamak tersenyum.

“Mirna jadi kagum sama keluarga mama Indah. pernahkah kita mendengarkan, kesedihannya? apa memang mama indah gak pernah sedih menghadapi hidupnya selama ini. Semua orang pasti pernah mengalami masalah yang berat, dan Mama indah berhasil menyimpannya sendiri. tapi ketika dia bahagia dan sukses. orang disekitarnya ikut merasakannya, dan itulah hidup yang memberikan arti, memberikan warna bagi banyak orang. Dan dia merupakan panutan buat Mirna, walau dia bukanlah sosok yang sempurna.” Direbahkan kepala Mirna, ke pundak Atun mamaknya. 

Malam kian pasti menunjukkan dedikasinya, tanpa pemberitahuan, atau memberikan pengumuman kalau dia bakal datang. namun secara konsisten dia hadir memberi warna hari. hembusan angin tampaknya menyapa sedikit jalang. hingga sapaannya membuat geli rerimbunan dan dahan-dahan, tak elak membuat tarian tanpa irama semua dedaunan yang disapanya. Binatang malam terdengar  hanya suara jangkrik mengerik. Sesekali suara katak terdengar.

“Mak, belum ngantuk?” Tanya Mirna perlahan.

“Ngantuk sedikit, tapi mamak pengin duduk disini, sambil menunggu keajaiban.”

“Kalau semua orang tau, kapan datangnya pencuri, mungkin mereka bakal siap. begitu juga keajaiban. Kita gak akan pernah tau kapan datangnya.” “Bener juga katamu nak.” Jawab Atun dalam hati.

……………………….Bersambung

 

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience