Episode. 1

Family Series 5583

Musim panen baru saja usai, terkhusus di Desa itu.

Penduduk setempat sepertinya bergembira ria, karena hasil panen mereka cukup melimpah ruah.

Setiap kali panen melimpah, Mak Ijah selalu teringat akan almarhum suami tercinta.

Tak kuasa ia menahan air matanya.

Rasanya baru kemarin pak Darmo sang Suami sibuk mengurusi rakyat desa itu.

Ia tergolong orang yang paling peduli tarhadap kesejahteraan masyarakat desa tersebut.
Bukan saja saat menjelang pemilihan kepala Desa, namun dalam kesehariannya juga terlebih bila musim paceklik dan saat masyarakat desa itu terkena wabah penyakit.

Memberikan penyuluhan kepada warga tentang bagaimana cara menanam yang baik dan hasil melimpah, mengatasi hama dan semua yang berhubungan dengan pertanian.

Teringat pula Rinno anak pertamanya yang meninggal akibat tersambar petir saat mencarikan rumput buat makan ternak sapi dan kambingnya.

Kebayang bagaimana saat dia akan melahirkan si Joko anak keduanya.

Malam itu hujan tiada henti, entah sudah berapa hari lamanya, Mak Ijah merasakan bahwa anak keduanya bakal lahir.

Tidak seperti saat mengandung Rinno anak pertamanya yang cukup lancar.

Sebaliknya sejak hamil muda hingga menjelang kelahirannya si Jo memang agak manja dan rewel.

Merasa bahwa anak keduanya akan lahir, maka pak Darmo bergegas menuju desa untuk memanggil dukun bayi.

Gelap, licin, becek dan berlumpur demikian kondisi jalan dr rumah menuju desa dan harus ditempuh beberapa jam bila kondisi seperti ini.

Sepulangnya memanggil mbok Sarmu sang Dukun bayi, kira-kira sepuluh menit lagi sampai di rumah tapi pak Darmo terosok lubang yang tertutup semak, dan disitu ia digigit ular berbisa.

Mengingat anak kedua yang ia harapkan bakal lahir, pak Darmo tak menghiraukan gigitan ular berbisa tersebut dan berlari.

Namun malang tak dapat dielakkan ia terkapar dan tak sadarkan diri ditengah guyuran hujan yang cukup deras.

Jagong bayi adalah salah satu adat kebiasaan penduduk desa, begitu mendengar ada tetangganya yang melahirkan penduduk langsung berdatangan.

Mereka para tua berjagong menikmati kopi dan apa saja yang dihidangankan oleh ibu-ibu dan para gadis remaja, sedangkan pemudanya sibuk menyiapkan apa saja yang dibutuhkan.

Tapi tidak untuk malam itu. Penduduk desa yang berdatangan lebih awal mendapati pak Darmo tidak lagi bernafas dan terbujur membiru.

Suasana malam itu sungguh memilukan, senyap tanpa kata walau rumah itu telah dipenuhi oleh penduduk kampung.

bu Ijah baru diberi tau kalau suaminya telah dipanggil Tuhan setelah matahari mulai terbit.

Jerit tangis memilukan tiada henti dari mulut bu Ijah.
"Kenapa bapak tega meninggalkan aku, mengapa... mengapaaaa,..... mengapaaaa...bukankah engkau berjanji untuk membesarkan anak yang kita inginkan, mengapa engkau.......". Sesekali ia tak sadarkan diri, dan ketika sadar tangis pilu kembali menyayat mereka yang mendengar.

Menurut sang dukun bayi, bila habis melahirkan ia harus berbaring ditempat tidur gak boleh bergerak sedikitpun sampai benar-benar kering dan pulih.

Mak Ijah bersikeras untuk mengikuti upacara pemakaman.
______

Bayi mungil yang lahir bersamaan dengan ditinggalkannya sang bapak, seakan ikut merasakan derita yang dialami oleh orang tuanya, air mata menetes mengalir dipipi yang merah merona, tak ada suara, tak ada tangis dari si jabang bayi mungil itu.

Kisah memilukan ini tak pernah hilang dan selalu berulang muncul saat-saat tertentu.

"Maaaaaak, emak inget sama bapak ea..?!" sambil merangkul denga penuh kasih sayang si Joko bertanya kepada mak Ijah, walaupun ia tau pasti jawabnya.

"sudalah mak relakan bapak. dia pasti sudah bahagia kok disisi Tuhan. adikkan sudah gede dan bisa merawat emak, merawat sawah, kebun dan semua peninggalan bapak. Adik juga sudah bisa seperti org desa lainnya". Hibur si Jo kepada emaknya, walau usia sudah 25 thn, namun cara berfikirnya seperti anak-anak.

Sewaktu usia 10 tahun ia pernah terserang penyakit demam yg cukup tinggi hingga berbulan bulan lamanya, hal itulah yang menyebabkan dia seperti sekarang ini.

Sebelum mengalami sakit dia tergolong paling cerdas disekolah, sebaliknya setelah mengalami itu si Jo jadi lamban berfikir bahkan tidak naik kelas empat kali, hingga mendapat julukan si Joko Bodho.

karena bu Ijah gak tega, maka ia memutuskan agar Joko berhenti sekolah.

______

Berjajar pohon kelapa disepanjang jalan menuju rumah mak Ijah yg ditanam bersama almarhum suaminya beberapa puluh tahun yang lalu kini telah menjulang tinggi dan tak pernah berhenti berbuah.

di sekiling pohon kelapa ditanami pohon kemuning dan jenis bunga lainnya.

Rumput sepanjang jalan itu jg rapi terawat oleh tangan terampil si Joko Bodho.

Diakerjakan setiap kali selesai kesawah, ladang maupun saat-saat santai, menambah asri suasana dan seakan berada disebuah tempat rekreasi bagi setiap mereka yang lewat disitu.

Tak jauh dr situ ada hamparan kebun yang ditanami pohon randu.

Ratusan pohon inilah dulu pernah memberikan penghasilan yang cukup lumayan.

Seiring kemajuan jaman kini masyarakat tidak lagi memakai kapuk randu sebagai bahan kasur.

Semenjak pak Dharmo dua kali kalah dalam pemilihan lurah di desa tersebut, keluarga ini memutuskan untuk membangun sebuah rumah, tinggal jauh dari keramaian desa yang berdekatan dengan hutan lindung.
______

"mak, adik mau mancing ea. kangen nich, mungkin adik pulang agak sore" sambil mencium kening mak Ijah. "kapan kamu dapet istri ?!, emak ini sudah tua dan kepingin momong cucu.

nanti emak keburu nyusul bapakmu lho kalau adik gak kawin- kawin..!!!" kata mak Ijah sambil memegang pundak si Joko Bodho.

si Jo bergegas keluar sambil berkata " sabar maaak, nanti tak carikan menantu kembang desa mau..?!!!".

Gemericik air sungai disela bebatuan, kicau burung, desah dedaunan terterpa angin serta aroma bunga liar mengokohkan ciri pedesaan yg tak tercemar polusi.

si Jo nangkring di atas batu sambil memegang palesan pancing, sesekali ada yang nyangkut pada umpan yang dipasangnya.

Kali ini nampaknya keberuntungan berpihak kepadanya, terbukti hasil pancingan hari ini, bukan saja ikan-ikan besar tapi banyak sejali hingga ..... penuh.

si Jo bergegas pulang dan gak lupa mampir ke kebun memetik daun singkong muda, daun kenikir, lombok serta serai dan lain yang ia perlukan.

si Jo memang mewarisi ketekunan, ketrampikan yg dimiliki oleh bapaknya.

Apa saja yang diperlukan bisa ia tanam, tak luput dr kegigihannya. Sayuran, bumbu palawija, buah-buahan tertentu ia tanam, sehingga pada musim sulitpun keluarga ini gak pernah kehabisan.

Malah banyak bisa membantu penduduk desa yg kelaparan dan kekurangan dimusim paceklik.

Sementara itu mak Ijah berpanas panasan mengejar matahari, agar gabah yang ia jemur dpt kering sempurna.

Mak Ijah sebenarnya bukanlah orang yang tak berpendidikan, ia berasal dr kota, lulusan insinyur pertanian.

Bertemu dengan almarhum pak Darmo saat itu, ketika ia ditugaskan menjadi ketua tim penyuluhan pertanian di desa itu.

Pertemuan dengan almarhum membuat ia jatuh cinta dan mrk berdua memutuskan untuk menikah.

seperti biasa si Jo membuat mak Ijah kaget. " mak ayo maem, adik sudah masak special kesukaan emak" sembari ia mencium pipi mak Ijah, kemudian menuntunnya tanpa menunggu persetujuan dari mak Ijah.

Hidangan yang disuguhkan si Jo membuat ingatan mak Ijah kepada almarhum.

Ikan Nila goreng, sambal bajak dan kulupan daun singkong muda yg dicampur daun kenikir adalah makanan kesukaan mereka, setiap kali almarhum pulang mancing dan memasaknya sendiri, persis yg dilakukan oleh si Jo.

"kamu persis bapakmu lhe ( panggilan mesra kepada seorang anak ) tau apa yang emak suka. o.. iya.. emak tadi buat kolak pisang sama singkong....pak Surip yang emak suruh manen pisang di pekarangan sebelah.
besok kalau ada tengkulak dateng biar diborong, adik gak usah ke pasar. Tolong besok pagi anter emak ke rumah Mak Tarmi, ia mantu anaknya yang bungsu".

Sambil mengangguk si Jo melahap kulupan yang dioleskan ke sambal.

**************

Kicau burung liar saling bersautan, kok ayampun aktif terdengar diselah-selahnya.

Jam seperti ini si Jo sudah ngopi ditemani singkong rebus olahan Mak Ijah.

Walau mentari masih malu menunjukkan sinarnya, namun si Jo sudah bergegas ke kebun belakang rumah, memanin sayuran yg siap dijual ke tengkulak.

Entah kenapa beberapa pekan ini Mak Ijah lebih memilih menjual hasil panennya ke tengkulak.

Usai panin si Jo mengeluarkan gabah untuk dijemur, kemudian menggiring sapi-sapinya ke sungai untuk dimandikan, sambil bersiul entah lagu apa, yang jelas si Jo sangat menikmatinya.

Disisi lain, senyum manis tersungging dibibir Mak Ijah teringat kenangan lucu saat menjadi ketua tim Penyuluhan.

Hari pertama datang ke Desa itu adalah yang paling terkesan dibenaknya.

Betapa tidak !. Seharian setelah bertemu warga rasanya gerah, debu dan mungkin juga kepengen pipis, mandi dan tentunya rawatan. Maklum cewek kota.

Hal itu ia tahan dan malu mau tanya kepada siapa, akhirnya ia memberanikan diri untuk bertanya kepada Darmo Ganteng yg sejak awal memang menemaninya.

"Mas, boleh tanya, kalau numpang mandi boleh gak..?!" Tanya Ijah gadis cantik lugu dan polos itu.

"Maaf mbak, di desa ini semua penduduk kalau mandi di sungai, lima puluh meter dr sini. ada sih sumur tapi hanya untuk masak dan minum saja". Jawab Darmo denganramah.

"Heeeeeeeeeeem" jawab Ijah sambil meremas jarinya sendiri

"Dengan senang hati, saya siap mengantarkan kalau mbak kepingin mandi". Kata Darmo menawarkan diri.

"????????????????????..." si Cantik Ijah mingkem menggigit bibirnya.

"Gak perlu kuatir mbak, saya gak bakalan ngintip kok, sweeeeer deh, dari pada gak mandi, hayooo, acem kan..?!". Canda Darmo sambil ketawa renyah. suasana menjadi cair dan ada percakapan hangat.

Hari kedua sore itu Darmo Ganteng mengantarkan Ijah Imut ke sungai.
Melintasi rimbunannya dedaunan yang menari diterpa semilir angin. Lewat pematang sawah yang baru saja ditanami padi.
Bebatuan terserak alami tanda sungai yang dituju hampir sampai.

Darmo duduk membelakangi Ijah Cantik yang sedang mandi, walau ia memakai kain.

Hening tanpa sepatah kata, mungkin si Ijah masih canggung dan Darmo kehabisan kata.
Hal ini berulang hingga beberapa bulan lamanya.

Sebenarnya nama Mak Ijah bukanlah nama dia. nama itu adalah nama seorang pembantu rumah tangga yang merawatnya sejak lahir.

Nama dia sebenarnya adalah Rinanti Endah Sayekti.
Mak Ijahlah yang mengasuh Rinanti sejak lahir. Karena ibunya meninggal saat melahirkannya.

Ayah Rinanti memutuskan untuk tidak menikah lagi dan mempercayakan anaknya kepada Mak Ijah pembantunya yg kini namanya ia pakai Rinanti hingga sekarang.

"Maaaaaak, gabah sudah siap dijemur". Kata si Joko memecahkan lamunan mak Ijah.

"iya lhe... trimakasih " kata mak Ijah dg senyum manisnya.

Saat-saat seperti inilah biasanya mak Ijah dan alm suaminya bersama mengeler gabah, kapuk randu, cengkeh, atau bawang merah dan bawang putih, sambil bercerita tentang banyak hal.

"Sebulan lebih, makam bapakmu gak kau jenguk lhe, mungkin rumputnya sudah tinggi, apalagi musim hujan seperti ini. Kalau punya waktu coba adik kesana, tapi kalau gak sempat biar pak Marso yang kesana". Kata mak Ijah.

"Adik juga berencana kesana hari sehabis nyabut lengkuas dan serai ". Bales si Jo.

"Besok saja panennya, nanti biar dibantu sama pak Marso, sekalian ditanemi lagi ". Saut mak Ijah.

"kalau gitu adik berangkat sekarang aza mak, biar selesainya gak terlalu sore". Sela si Jo.

"sarapan dulu lah lhe, emak dah masak. yuk kita sarapan bareng"

Usai sarapan si Jo mengambil peralatan dan segera berangkat. perjalanan dari rumah menuju makam ditempuhnya setengah jam.

Tak jauh dari makam ayahnya, ada seorang gadis yang terlihat sedih banget, tangisnya lirih namun terdengar sampai ditekinga si Jo, sebenarnya ia ingin mendekatinya tapi si Jo nampaknya agak canggung.

Entah kenapa si Jo merasa ingin sekali mendekati gadis yg meratapi pusara itu.

si Jo terkejut saat melihat gadis itu tak sadarkan diri, ia bergegas menghampiri dan berusaha untuk membangunkannya.

Ada kepanikan diraut si Jo, ia tak tau apa yang harus dilakukan, dlm benaknya hanya ada satu solusi yang dia punya, yaitu " emak pasti dapat menolongnya ". karena tak juga bangun ia menggendong dan membawanya pulang.

Sesekali si Jo berhenti dan memandangi gadis malang itu. "inikah yang dinamakan Jodoh ?". Pertanyaan itu terus mengiang sepanjang perjalanan pulang.

Jalan pintas adalah cara agar dia sampai rumahpikirnya.

Karena mulai kuwalahan, maka cangkul dan perlengkapan yang dia bawa ditinggalkannya dan fokus menggendong si gadis malang itu.

sesampainya dirumah diapun membaringkan gadis itu dibalai ruang tamu.

*******************

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience